HomeBelajar PolitikPro Kontra Studi Banding

Pro Kontra Studi Banding

Apa sesungguhnya yang dicari di Jerman dan Meksiko? Menurut Lukman Edy, Sistem Pemilu Indonesia mencontoh banyak dari Jerman. Negara itu tengah mengevaluasi sistem pemilu, termasuk evaluasi penerapan e-voting.

PinterPolitik.com

JAKARTA – Rencana Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu DPR studi banding ke Jerman dan Meksiko dikritik oleh beberapa kalangan. Tetapi, Pansus  tetap akan berangkat. Seperti dikemukakan anggota Komisi II DPR, Yandri Susanto, kritik itu menjadi masukan bagi timnya. Pansus direncanakan studi banding, pada 11-16 Maret yang lalu.

Berbicara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Yandri menyebutkan, dalam kunjungan nanti timnya akan menimba ilmu langsung dari Pemerintah Meksiko dan Jerman soal pelaksanaan e-voting, yang sedang disiapkan untuk dilaksanakan pada Pilkada Serentak 2018.

Ia mengemukakan, jika belajar dari literatur akan menghasilkan interpretasi yang kurang tepat. Yandri menganalogikan studi banding itu dengan menonton bola langsung dari pinggir lapangan dengan menonton melalui televisi.

Sebelumnya, Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, akan memimpin tim ke Jerman sedangkan tim ke Meksiko dipimpin Wakil Ketua Pansus, Benny K Harman. Pansus didampingi tim dari Kementerian Dalam Negeri.

Dalam draft RUU, ada norma yang mengatur tentang penerapan e-voting. Meski secara selintas dalam masalah ini pemerintah dinilai masih ragu-ragu. Soal ini menjadi penting mendapat masukan yang komprehensif, sehingga ketika Indonesia memutuskan penggunaan e-vote, potensi kegagalan bisa diperkirakan.

Ia mengatakan, Indonesia tengah mengevaluasi sistem pemilu yang selama ini berjalan, terutama berkaitan dengan upaya memperkecil kesenjangan proporsionalitas, daerah pemilihan, dan formula konversi suara ke kursi.

Mengenai Meksiko, disebutkan, pemilu di negara itu dianggap contoh lengkap untuk memperbandingkan sejumlah poin yang akan diatur dalam RUU Pemilu, seperti pelaksanaan sistem presidensial, multipartai, pemilu serentak, penerapan ambang batas, termasuk mendalami implikasi sistem yang dipakai terhadap potensi devided government (pemerintahan yang terbelah).

“Secara spesifik, di Meksiko Pansus ingin mendapatkan gambaran yang lengkap tentang peradilan pemilu, mulai dari aspek filosofis, kelembagaan, sampai pada aspek teknis acara peradilannya,” ujar Lukman.

Pendapat Pro-Kontra

Rencana studi banding ini menuai pro-kontra. Pengamat pemilu, Ramlan Surbakti, menilai kunjungan kerja tersebut tidak relevan dikaitkan dengan substansi RUU Pemilu.

Baca juga :  For The Needs of Menko

Dalam diskusi bertema “Merespons Pembahasan RUU Pemilu: Mewujudkan RUU Pemilu yang Adil dan Proporsional” di kantor Wahid Institute, Matraman, Jakarta Pusat, Kamis, Ramlan mengemukakan, waktu tiga hari yang dijadwalkan dalam kunjungan kerja tidak akan mampu untuk mempelajari sistem pemilu yang diterapkan Jerman dan Meksiko.

Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari sistem pemilu di Jerman dan Meksiko untuk diterapkan di Indonesia. Sedang  pembahasan RUU Pemilu ditargetkan selesai April 2017.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan, keinginan anggota DPR melaksanakan kunjungan kerja telah melecehkan akal sehat jika melihat sisa waktu yang semakin sedikit untuk membahas RUU Pemilu.

Pro Kontra Studi Banding
Foto: Y14 & G18

Ia berpendapat, kunjungan kerja tersebut tidak perlu. Sebagai gantinya, anggota DPR diusulkan  mempelajari kajian-kajian yang sudah pernah dibuat oleh organisasi masyarakat sipil pemerhati pemilu.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, pimpinan DPR kurang memahami perbedaan sistem pemilu yang diterapkan di Jerman dan Meksiko.

“Restu dari pimpinan sebenarnya tak bisa diberikan jika pimpinan DPR paham bahwa sistem pemilu Indonesia dan Jerman berbeda”

Lucius menerangkan, Jerman menganut sistem pemilu campuran. Dari 598 kursi parlemen, separuh  dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung ke kandidat dan separuhnya dipilih dengan memilih partai. Sistem pemilu yang dianut Indonesia adalah proporsional terbuka dengan memilih langsung kandidat.

Komentar berbeda disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang tidak  mempersoalkan rencana kunjungan itu. Alasannya, pembahasan RUU Pemilu cukup kompleks, sehingga DPR perlu mendapat masukan dari banyak pihak.

Dalam pesan singkat kepada wartawan, Rabu, Mendagri mengatakan, terkait dengan persiapan pemilu dan pilpres serentak, DPR perlu menyerap berbagai pengalaman berbagai negara dalam melaksanakan sistem pemilu yang lebih efektif dan demokratis.

Sebelumnya, Pansus telah mendapat masukan dari sejumlah perguruan tinggi, Komisi Pemilihan Umum, hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam menyusun RUU tersebut. Masukan juga diberikan oleh TNI serta  pimpinan partai politik.

Pimpinan DPR RI mengizinkan Pansus RUU Pemilu melaksanakan kunjungan kerja ke Jerman dan Meksiko. Sebelum memberikan persetujuan, Ketua DPR  Setya Novanto sempat mengevaluasi rencana Pansus. Pasalnya, waktu pembahasan RUU Pemilu sangat sedikit, sehingga dibutuhkan anggota Pansus yang tetap di dalam negeri untuk membahas RUU tersebut.

Baca juga :  For The Needs of Menko

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di Jakarta, Rabu, mengatakan, prinsipnya diizinkan, tidak ada masalah, karena DPR punya nomenklatur diplomasi parlemen. Kunjungan itu pun tidak akan mengganggu kerja Pansus, karena hanya beberapa hari dan anggota yang pergi dibatasi.

Fadli juga berpendapat, negara tujuan kunjungan sudah tepat. Misalnya,  Meksiko adalah negara yang tepat untuk dijadikan tujuan mempelajari proses pemilu. KPU-nya sangat ketat, termasuk dalam political financing. Kemudian penyelenggaraan pemilunya tertib dan pengiklanan di media massa sangat rigid. Bahkan, kalau ada televisi yang tidak menyiarkan sesuai jadwal, kena penalti.

Bukan Syarat Utama

Bukan kali ini saja kunjungan DPR ke luar negeri dikritik oleh beberapa kalangan dan kemudian disambut oleh sasaran kritik dan pihak lain. Masing-masing pihak mengajukan argumentasi.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Ronald Rofiandi pernah mengingatkan, studi banding bukan merupakan syarat utama dalam menyusun sebuah undang-undang, melainkan hanya salah satu metode agar pembahasan undang-undang lebih efektif.

Ia menegaskan, dasar hukum studi banding tak diatur secara spesifik, baik di UUD 1945 maupun UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Studi banding hanya diatur dalam Tata Tertib DPR dengan nomenklatur “kunjungan ke luar negeri”.

Pasal 143 ayat (3) Tatib DPR menyatakan, komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau badan anggaran, dapat mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan anggaran DPR dan persetujuan pimpinan DPR.

Bertitik tolak dari itu, sebenarnya terbuka ruang bagi anggota DPR untuk berkunjung ke luar negeri dalam upaya mencari perbandingan. Hanya yang perlu disikapi, antara lain, pemilihan mata acara, destinasi kunjungan, dan jumlah rombongan agar sesuai dengan apa yang hendak dipelajari.

Kalau untuk maksud studi banding tentu perlu lebih banyak waktu, katakanlah seminggu atau lebih, tapi jumlah peserta cukup 2 atau 3 orang. Sepulang dari perjalanan peserta studi banding diwajibkan membagikan ilmunya kepada rekan-rekan sejawat. Dengan demikian kunjungan benar-benar bermanfaat. (dtk/Kps/hukumonline/E19)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Infrastruktur Ala Jokowi

Presiden juga menjelaskan mengenai pembangunan tol. Mengapa dibangun?. Supaya nanti logistic cost, transportation cost bisa turun, karena lalu lintas sudah  bebas hambatan. Pada akhirnya,...

Banjir, Bencana Laten Ibukota

Menurut pengamat tata ruang, Yayat Supriatna, banjir di Jakarta disebabkan  semakin berkurangnya wilayah resapan air. Banyak bangunan yang menutup tempat resapan air, sehingga memaksa...

E-KTP, Dampaknya pada Politik

Wiranto mengatakan, kegaduhan pasti ada, hanya skalanya jangan sampai berlebihan, sehingga mengganggu aktivitas kita sebagai bangsa. Jangan juga mengganggu mekanisme kerja yang  sudah terjalin...