HomeHeadlineInpres Jokowi Hanya Gaya-gayaan?

Inpres Jokowi Hanya Gaya-gayaan?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 untuk mengganti kendaraan dinas instansi pemerintah pusat dan daerah dengan kendaraan listrik. Menariknya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru menyebutkan belum ada anggaran khusus untuk kendaraan dinas listrik di APBN 2023. Apakah Inpres tersebut hanya pemanis semata alias gaya-gayaan? 


PinterPolitik.com

“The rationality of the ruled is always the weapon of the rulers.” – Zygmunt Bauman

Isu iklim merupakan salah satu isu terbesar dan terhangat dalam beberapa dekade terakhir. Revolusi industri tidak hanya membanjiri peradaban manusia dengan putaran kapital, melainkan juga memiliki dampak besar terhadap masa depan lingkungan. 

Industri transportasi, misalnya, telah membuat kendaraan menjadi kebutuhan primer manusia saat ini. Mengutip penelitian Jesse H. Ausubel yang berjudul Cars and Civilization, lahirnya transportasi seperti mobil berakar dari insting purba manusia untuk melakukan perjalanan (travel instincts).

Sebelum tinggal menetap seperti sekarang, selama ribuan tahun manusia hidup secara berpindah atau nomaden. Ini tidak hanya untuk mencari makanan, melainkan juga untuk menghindari predator yang mengancam kehidupan.

Insting purba itu mendorong manusia membuat dan mengembangkan teknologi transportasi agar bisa melakukan perjalanan jauh dan lebih cepat.

Mengacu pada temuan Ausubel, kendati teknologi transportasi berdampak destruktif terhadap lingkungan, meninggalkan teknologi tersebut menjadi pilihan yang tidak masuk akal bagi manusia. Oleh karenanya, pilihan yang tersedia adalah meminimalisir dampak lingkungan yang tercipta. 

Itulah akar penalaran filosofis dari masifnya dukungan terhadap kendaraan listrik (electric vehicle/EV). 

Terjebak Politik FOMO?

Di Indonesia sendiri, bukti dukungan atas EV terlihat jelas dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Listrik (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Namun, Inpres yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu justru memantik sejumlah tanda tanya, khususnya setelah Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Made Arya Wijaya mengungkap belum ada alokasi anggaran khusus pada APBN 2023.

“Anggaran (pengadaan kendaraan listrik) ada? Tidak pernah alokasikan khusus kita. Tapi dari alokasi kementerian/lembaga memang didorong kalau ada pengadaan kendaraan agar mengadakan kendaraan listrik,” ungkap Made Arya pada 5 November 2022.

Baca juga :  Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?
infografis jokowi harus mobil listrik

Menariknya, pada 15 September 2022, dalam rangka merespons Inpres Jokowi, Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengungkap pihaknya tengah mempersiapkan anggaran pengadaan kendaraan dinas listrik.

Pertanyaan pertama, kenapa terjadi perubahan pernyataan dari pejabat Kemenkeu? Atau mungkin bukan perubahan, melainkan pemerintah memang belum akan menganggarkan dalam waktu dekat?

Kemudian, putra sulung Jokowi yang kini menjadi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, secara tegas menolak Inpres tersebut dengan dihapusnya anggaran kendaraan listrik di APBD Kota Solo 2023. 

Menurutnya, dengan harga mobil listrik yang mahal, sekitar Rp800 juta, anggaran pengadaan yang besar lebih baik digunakan untuk membangun pasar tradisional dan taman cerdas, serta mengembangkan UMKM. Gibran bahkan siap disanksi atas penolakannya.

Bertolak dari pernyataan Gibran, dengan jumlah mobil dinas sebanyak 189.803 unit, maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp151.842.400.000.000 (Rp151,8 triliun). Ini jelas anggaran yang besar. 

Pertanyaan kedua, bertolak pada alasan pemerintah menaikkan harga BBM Pertalite pada 3 September 2022, yakni mengalami kekurangan anggaran, bukankah aneh jika pengadaan mobil listrik justru ingin digalakkan?

Dua pertanyaan itu melahirkan satu hipotesis vital. Mungkinkah kebijakan pengadaan mobil listrik hanya merupakan kebijakan populis Jokowi?

Dengan besarnya hype terhadap mobil listrik, bukan tidak mungkin Jokowi tengah terjebak politik FOMO (Fear of Missing Out). FOMO sendiri adalah rasa takut yang timbul jika merasa tertinggal mengikuti tren atau sesuatu yang sedang hype.

Dalam publikasi Bloomberg bertajuk China’s Consumers Risk FOMO as Electric Cars’ Popularity Soars pada 10 Januari 2022, FOMO menggunakan kendaraan listrik disebut tengah terjadi di Tiongkok. Diperkirakan, penjualan mobil listrik akan menyumbang sekitar satu dari lima penjualan mobil baru pada 2022. 

Lonjakan itu terjadi karena subsidi pemerintah untuk pembelian mobil listrik akan berakhir pada 2023. Selain itu, meningkatnya penjualan juga didorong oleh preferensi konsumen atas kendaraan yang lebih ramah lingkungan. 

Yang menjadi masalah adalah, FOMO atas kendaraan listrik di Tiongkok didukung oleh subsidi pemerintah dan adanya industri mobil listrik. Sementara di Indonesia, FOMO atas itu tidak diikuti dengan kebijakan pendukung seperti di Tiongkok. 

Kemudian, infrastruktur vital seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) juga masih terbatas. Tercatat, hingga akhir Agustus 2022 jumlah SPKLU hanya sebanyak 346 unit yang tersebar di 295 lokasi seluruh Indonesia. 

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?

Itu berbanding jauh dari jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina yang mencapai 6.554 unit di 34 provinsi Indonesia (per 20 April 2022).

Kenapa Gunakan Inpres?

Bukti lain yang memperkuat pengadaan mobil listrik hanya politik FOMO adalah didukungnya kebijakan menggunakan Inpres. Mengutip Hukum Online, dalam pandangan Guru Besar Hukum Tata Negara Profesor Jimly Asshiddiqie, Inpres merupakan bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. 

Inpres secara formal tidak dapat disebut sebagai peraturan yang resmi. Ini seperti surat edaran dari Menteri atau Direktur Jenderal yang ditujukan kepada jajaran pegawai negeri sipil yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya. 

Rina Lestari dalam tulisannya Kekuatan Hukum Mengikat Instruksi Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, menyebutkan, karena Inpres tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, kekuatan hukum atau daya ikatnya menimbulkan pertanyaan tersendiri.

Menurut Lestari, untuk menghindari kaburnya tujuan pengeluaran Inpres, maka daya ikatnya harus diperjelas dan dipertegas. Selain itu, ini juga untuk menghindari agar Presiden tidak dianggap sewenang-wenang dalam mengeluarkan Inpres. 

Bertolak pada penekanan Prof Jimly dan Lestari, dengan daya ikat Inpres yang menjadi pertanyaan dan lebih berupa arahan, dapat disimpulkan bahwa Jokowi tidak begitu serius atas dukungannya untuk mempercepat perpindahan ke kendaraan listrik.

Digunakannya Inpres juga sekiranya menjawab kenapa Gibran begitu berani menolak kebijakan tersebut secara terbuka. Selain karena anggaran yang dibutuhkan sangat besar, kebijakan Jokowi melalui Inpres juga bersifat hanya sebagai arahan. 

Kesimpulan ini semakin diperkuat dengan respons Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo yang tidak mempermasalahkan penolakan Gibran. “Ya kalau masih ada prioritas lain, ya nggak apa-apa daerah menentukan itu,” ungkap Ganjar pada 9 November 2022.

Well, sebagai penutup, secara cukup meyakinkan kita mungkin dapat mengatakan bahwa Inpres Jokowi soal pengadaan kendaraan listrik hanya “gaya-gayaan” semata. 

Ini mungkin hanya Inpres pemanis untuk menyenangkan industri kendaraan listrik. Jika Jokowi benar-benar serius mendorong percepatan kendaraan listrik, berbagai kebijakan pendukung seperti di Tiongkok tentu akan dikeluarkan. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...