HomePolitikCovid-19 dan Propaganda Media

Covid-19 dan Propaganda Media

Oleh Bapthista Mario Y. Sara, mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, dan aktivis PMKRI Cabang Kupang

Publik kini tengah diramaikan oleh berita-berita mengenai virus Corona (Covid-19). Kepanikan ini bisa saja diperburuk melalui propaganda di media.


PinterPolitik.com

Dalam dua bulan belakangan ini, jagat Nusantara diguncang dengan kehadiran “tamu tak diundang” yang merebak menghapus jejak pelataran diskusi terkait hilangnya eks-kader PDIP Harun Masiku, omnibus law, dan konflik intoleransi yang menjadi trending topic di berbagai media massa hingga layar televisi.

Ketiga kasus tersebut nampak ikut “terjangkit” oleh virus Corona jenis baru (Covid-19) sehingga lenyap ditelan waktu. Ibarat senja, kehadirannya selalu manjakan mata sembari tenangkan batin. Namun, selepas pergi sebelum malam, rupanya ada seutas kerinduan bahkan lara yang ditinggalkan. Kira-kira, analoginya seperti itu.

Kian hari, pemerintah sibuk wartakan sabda kewaspadaan kepada segenap elemen masyarakat terkait penularan Covid-19 yang bagi mereka sangat membahayakan. Bahkan, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat menganjurkan solusi alternatif yakni, memperbanyak konsumsi daun kelor demi meningkatkan stimulus antibodi.

Pernyataan Gubernur memang terkesan humor – selalu mencari kesempatan di balik kesempitan demi kelancaran brand yang sedang dikelola oleh pemerintah provinsi NTT walau hingga sekarang masalah stunting di NTT belum bisa teratasi. Ini menunjukkan bahwa produk daun kelor dikapitalisasi sehingga dampak bagi kesehatan dan juga perekonomian masyarakat tidak efektif.

Hingga kini, sejumlah daerah di Indonesia semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap Covid-19 yang, menurut informasi dari media, penyebarannya telah meluas. Sosialisasi pencegahan penularan Covid-19 terus digalakan di kalangan masyarakat meski melalui media massa dan online sebagai perantara.

Sebanyak 19 daerah teindikasi risiko penularan Covid-19 karena memiliki akses langsung dari dan menuju Tiongkok. Daerah itu antara lain adalah Jakarta, Tangerang, Bandar Lampung, Denpasar, Surabaya, Padang, Tarakan, Manokwari, Bandung, dan Manado.

Namun, bisa jadi, sangat sulit untuk mendapatkan bukti yang bisa membantu melacak dan mengidentifikasi virus ini. Sebab, keadaan di pasar Huanan, Wuhan, yang katanya menjadi pusat Covid-19 keadaannya tak jauh berbeda dengan situasi beberapa pasar di Indonesia.

Belakangan ini, juga ada isu yang beredar bahwa ada beberapa warga negara Indonesia telah terjangkit virus korona. Tentu hal ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, mengapa kecemasan ini dapat terjadi?

Propaganda Media

Informasi mengenai hal-hal kecil, hal yang tak semua orang tahu, yang dianggap tak penting, atau informasi yang sebenarnya tak dibutuhkan masyarakat bisa berubah menjadi besar, diketahui banyak orang, penting, dan dibutuhkan masyarakat. Peran media massa menjadi semakin penting karena kesadaran massa pada umumnya adalah kesadaran simbolis, yakni kesadaran di permukaan.

Kesadaran massa tak akan pernah menjangkau penjelasan-penjelasan detail dan rasional dari sebuah narasi yang diciptakan produsen informasi (Aditya, 2014). Jadi, tak ada yang bisa disangkal jika efektivitas media massa dan daring dalam membangun opini, hingga mempengaruhi sikap dan tindakan publik.

Soal pemberitaan mengenai virus Corona yang kian menjadi momok menakutkan misalnya, terlihat media massa ikut berperan mempropagandakan isu. Hal ini sangat tampak, seketika ada postingan yang beredar terkait meninggal maupun sementara dirawatnya beberapa pasien yang diduga atau terindikasi positif Corona.

Namun, selang 3-5 jam kemudian, beredar infomasi di grup percakapan WhatsApp dan Facebook terkait klarifikasi dari pasien yang tadinya diduga terinfeksi Covid-19. Tentu, hal ini sangat membingungkan publik.

Kemudian, seminggu terakhir ini media digerogoti dengan mahalnya harga masker yang melonjak drastis. Harga normal masker naik menjadi Rp 400 ribu/boks dari Rp 30 ribu/boks.

Hal inilah yang membuat media berbalik lebih meng-update masalah tersebut ketimbang penularan Covid-19 yang sedang merongrong masyarakat dan pemerintah. Terlihat saat ini, debat kusir di media sosial lebih fokus membahas harga masker ketimbang mengantisipasi diri dari penularan virus menakutkan.

Propaganda media inilah yang akhirnya membuat banyak orang cemas, dan berbagai kasus yang semestinya menjadi sorotan dalam ruang diskusi seperti halnya korupsi, rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja, intoleransi, serta merebaknya demam berdarah di Kabupaten Sikka yang telah merenggut puluhan jiwa seketika hilang begitu saja dari ruang diakletika.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa ketakutan kita saat ini adalah, bukan virus itu sendiri, melainkan rasa cemas, rasa panik, ketakutan, dan berita-berita hoaks.  Oleh karena itu, media semestinya tidak turut serta menimbulkan sindrom yang berlebihan ditengah geliat perang melawan Covid-19. Media konvensional harus mampu menetralisir keadaan agar masyarakat menghadapi situasi saat sekarang tanpa ada ketakutan.

Menurut data media komunikasi dari Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IPK), jumlah media daring pada tahun 2019 ada 2.011. Sementara itu, terdapat media konvensinal dan majalah sebanyak 567 penerbit.

Yang menarik, jumlah telepon seluler yang beredar 374 juta dari 262 juta penduduk Indonesia.  Pengguna medsos yang aktif sebanyak 106 juta. Dalam pembentukan opini publik di Indonesia, angka 106 juta pengguna medsos memiliki peran yang berbeda.

Boleh jadi, ini sangat rentan mengingat media memiliki andil yang sangat besar untuk menentukan kuasa kebenaran dan realita sosial. Tak aneh jika media massa, dari, hingga media sosial menjadi ikon pembentuk kontruksi sosial.

Seperti halnya kemenangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di tahun 2016, disinyalir didapat dengan memanfaatkan efek media untuk menyebarkan informasi baik berupa hoax atau lainnya demi memenangkan kompetisi tersebut.

Tak hanya di AS, hal serupa pun bisa saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus ini, media massa memiliki peran besar dalam membangun opini publik terkait pencitraan, hingga dapat mendiskualifikasi kebenaran, dan membuat publik tidak lagi mampu membedakan secara jernih antara realitas, representasi, simulasi, atau hiperrealitas.

Tugas Media

Mengutip percakapan antara wabah dan seorang kafilah dari refleksi Anthony de Mello, kepada kafilah itu wabah berkata aku benar hanya mengambil 1000 nyawa, sisanya mati karena ketakutan.”

Refleksi seorang Anthony sungguh relevan dengan situasi saat ini. Media terkesan lebih berbahaya ketimbang virus Corona. Semoga saja pesan dari Anthony, tidak menjadi realita yang bersarang.

Media mestinya berperan meredam ketakutan masyarakat. Per tanggal 3 Maret 2020, jumlah orang yang sembuh dari Corona 45.58. Sementara, korban yang meninggal mencapai 3.085 orang. Tentu saja, presentasi orang yang meninggal sangat rendah jika dibandingkan dengan orang yang terinfeksi.

Bertolak dari hal diatas, media diharapkan dapat bersikap independen, tidak beritikad buruk, menempuh cara yang profesional dalam memberi informasi, menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, tidak menyiarkan berita berdasarkan prasangka. Jika ada informasi yang keliru, harus segera diralat karena pada dasarnya pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makluk rasional, moral dan sosial.

Seperti yang dikatakan Charles Linberg, bahaya terbesar bagi sebuah negara terletak pada kepemilikan dan pengaruhnya yang besar dalam film, pers, radio dan pemerintah. Oleh karena itu, pers harus menjadi garam dan juga terang dalam menyebarluaskan informasi kepada publik.

Tulisan milik Bapthista Mario Y. Sara, mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, dan aktivis PMKRI Cabang Kupang.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

View this post on Instagram

Angka kekerasan terhadap #perempuan terus meningkat setiap tahun, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Saat ini Indonesia bahkan telah ada dalam kondisi darurat kekerasan seksual menurut laporan dari #KomnasPerempuan. Nyatanya, ada persoalan ketidakseimbangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki di #Indonesia yang menjadi salah satu akar persoalan ini. Ini juga terjadi akibat budaya dominasi laki-laki yang sangat kuat. ⠀ ⠀ Temukan selengkapnya di Talk Show: “Dominasi dan Legacy Male Power terhadap Wanita Indonesia, Kenapa? Dari Mana? Masih Perlu?”⠀ ⠀ Tiket dapat dibeli di: http://bit.ly/TalkShowPinterPolitik ⠀ #infografik #infografis #politik #politikindonesia #pinterpolitik #EventPinterPolitik #TalkShowPinterPolitik #komnasperempuan #rockygerung

A post shared by PinterPolitik.com (@pinterpolitik) on

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...