HomePolitikTikTok: Antara Eufroia (Senang) dan Injuria (Duka)

TikTok: Antara Eufroia (Senang) dan Injuria (Duka)

Masyarakat – khususnya kelompok muda – kini tengah berada dalam euforia (senang) dalam dunia TikTok. Namun, bisa jadi, media sosial ini juga memunculkan injuria (duka).


PinterPolitik.com

Belakangan, tidak sedikit terjadi duka mendalam sebagian orang bahkan membuat trauma bagi sebagian yang lain. Duka dan trauma tidak selalu diakibatkan oleh kecelakaan yang tragis maupun perkara teror lainnya, melainkan yang menyebabkan hal yang sederhana akibat hiporia bermain dengan aplikasi gadget. Salah satunya adalah bermain TikTok.

Sebagaimana kita ketahui, aplikasi TikTok beberapa tahun terakhir sangat popular di Indonesia bahkan sebagian besar disukai dan dimainkan/digunakan oleh kalangan muda bahkan tidak sedikit masih tergolong anak di bawah umur. Aplikasi ini dalam beberapa tulisan disebut sebagai aplikasi fingerprinting – dapat menandai perangkat berbasis audio dan browser serta mengetahui pengguna yang menonton dan yang meng-share video aplikasi tersebut.

Karya dari perusahaan elektronik dan komunikasi asal Tiongkok tersebut berhasil menjadi tren hampir seluruh dunia. Bayangkan saja itu telah diunduh kurang lebih 700 juta kali sepanjang tahun 2019. Capaian ini membuat TikTok berhasil mengungguli sebagian besar aplikasi yang berada di bawah naungan Facebook maupun aplikasi lainnya, seperti Instagram.

Hemat penulis dengan jumlah pengguna TikTok di Indonesia yang sangat signifikan sebetulnya lebih banyak manfaat yang diterima oleh pemilik perusahaan dibandingkan dengan pengguna belakangan ini, bahkan bukan kebahagiaan, atau kesenangan yang diperoleh seperti yang diberitakan oleh media massa (televisi, koran, dan media lainnya) tetapi kenyataannya duka yang diraih akibat bermain lepas kontrol dan berlebihan.

Baru-baru ini ada pelajar yang sedang asyik dan tidak terkontrol bermain TikTok terbakar oleh sengatan listrik. Mestinya, dengan adanya kasus-kasus demikian sebagai warga Negara, para pemuda, para orang tua lebih bijak dan berhati-hati dengan perkembangan teknologi dan informatika yang ada, sebab itu kontrol terhadap anak yang masih di bawah umur – bahkan belum layak untuk menekuni media komunikasi yang kian canggih saat ini. Barangkali sebagian berpendapat bahwa bermain TikTok adalah media kebebasan berekspresi dan tidak ada larangan hukum karena hal tersebut adalah bagian dari hak asasi manusia.

Sah-sah saja berekspresi dalam konteks dan koridor yang benar. Faktanya bermain TikTok selain materi, konten, dan etika sebagian besar tidak mendidik dan tidak penting-penting amat. Justru, seharusnya berpikir lebih bijak disebabkan bagi orang yang menonton akan terkontaminasi secara bersamaan dengan konten-konten atas postingan tersebut (sekalipun banyak pihak yang senang, terhibur namun lebih banyak mengandung hal unvalue dan tidak ada edukatif yang positif bagi masyarakat lebih-lebih untuk generasi pelajar).

Tidak cukupkah contoh kasus yang terjadi berujung duka, dan luka sebagai bagian pembelajaran untuk lebih arif mengikuti arus perkembangan zaman yang ada. Penulis berpandangan selain para orang tua dan masyarakat umumnya, dalam hal ini, Pemerintah juga demikian harus benar-benar memperhatikan perkembangan yang ada jangan sampai mengeluarkan kebijakan setengah pro.

Misalkan, Kominfo beberapa waktu lalu telah memblokir akses TikTok di Indonesia namun belakangan ini entah dengan pertimbangan apa akses tersebut terbuka lebar kembali bahkan Indonesia menjadi penyumbang besar pengguna TikTok. Hemat penulis, demi nasib dan masa depan anak bangsa sebaiknya lebih banyak membangun kualitas anak bangsa dibandingkan dengan membiarkan kebijakan-kebijakan yang tidak produktif.

Baca juga :  Mengurangi Polarisasi Agama, Berkaca dari Pemilu 2024

Tidak luput pula perhatian dari pemerintah terkait terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). anak bangsa yang berkualitas merupakan masa depan bangsa yang jaya dan beradab.

Hemat penulis, sisi lain yang lebih bermanfaat harus mengesampingkan alasan untuk berperilaku hanya sekedar untuk kesenangan dan hiporia individualis. Jika TikTok mayoritas digunakan oleh anak di bawah umur, tidak hanya membawa kerugian bagi anak tersebut tetapi akan menjadi catatan bangsa bahwa generasi menjadi stagnasi berkesinambungan penghalang kemajuan.

Demikian pula suatu upaya/tindakan pembiaran atau tanpa kontrol dan kesadaran kolektif dari berbagai pihak hal ini jelas selain menjadi problem bersama lebih mengerikan lagi bahwa hal demikian merupakan tindakan pelanggaran hukum (karena ada hak-hak hukum melekat pada mereka generasi muda yang mesti dilindungi). Lebih mirisnya lagi, dilakukan oleh orang tua ditonton oleh anaknya, mertua, tetangga bahkan sejagat raya karena di-upload atau ditayangkan dengan sengaja tanpa ada rasa bersalah, malu – alih-alih merasa berdosa melalui ponsel mereka ini tentu sangat disayangkan bahkan sangat menyedihkan.

Seharusnya, sebagai orang tua, memberikan contoh, perilaku, dan pendidikan yang mendidik moral anak-anaknya bukan memberikan uswah/contoh yang kurang baik. Perkara yang besar akan menjadi lebih besar dan masif bila mulai dilakukan oleh elemen-elemen kecil dalam hal ini dilakukan oleh sekelompok keluarga dalam lingkungan rumah tangga.

Rumah tangga runtuh kerap terjadi karena selain fondasi rumah tangga tidak kuat melainkan pula disebabkan dengan kurangnya pola bahkan ilmu membangun rumah tangga itu sendiri. Sangat relevan membangun rumah tangga harus dengan dasar yang kuat atau tujuan yang bahagia (tentu bahagia untuk semua) dengan salah satu argumen bahwa rumah (rumah tangga) cerminan dari salah satu makna surga (baiti jannati), karena bahagia, ketenteraman, keamanan, dan kesuksesan dalam rumah tangga itu tidak mengenal kebahagian tunggal (I’m happy but we are happy).

Ingat bahwa orang tua (dalam perkawinan) wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sesuai (perintah dan pesan UU dalam pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Negara RI No. 1 Tahun 1974 sebagaimana yang diubah UU Negara RI No. 16 Tahun 2019 tentang perkawinan).

Masa depan generasi bisa saja suram dan terganggu dengan bermain berlebihan (begitu pula gamegame yang sedang populer seperti Mobile Legend dan sebagainya). Bahkan, bilamana bermain di waktu belum pantas, dan pantasnya menyeriuskan hak dasar, pendidikan, kesehatan dan perlindungn lainnya, karena dimasa mereka adalah masa emas untuk dioptimalkan oleh orang tua, dan butuh perhatian pemerintah tentunya hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang “bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28 ayat 2 UU Dsar Negara RI Tahun 1945)”.

Bagi penulis “like” dari masyarakat karena keberhasilan, prestasi, dan reputasi baik jauh lebih berguna dibandingkan mendapat hanya “tanda like” dari viewer atas video TikTok yang kurang bermanfaat. Dalam berbagai video TikTok tidak sedikit dimainkan remaja bawah umur dengan cara berlebihan hal ini bisa saja memicu pihak lain melakukan perbuatan tak terpuji atau pelanggaran-pelanggaran hukum, etika, dan menodai budaya masyarakat yang ada bahkan kerap kali muncul hal perbuatan tak bijak seperti melakukan cyber bullying terhadap anak.

Baca juga :  Menavigasi Inklusivitas Politik Indonesia: Prabowo Subianto dan Perwujudan Consociational Democracy

Tak menutup kemungkinan, pengguna Tik Tok yang kebanyakan anak di bawah umur bisa menjadi surga konten bagi para pengidap kasus pedofilia maupun bentuk lain dari perbuatan eksploitasi anak dan jelas ini melanggar ketentuan UU RI tentang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam pasa 13 ayat (1) jo. Pasal 26 UU RI No. 35 Tahun 2014.

Kebebasan ber-TikTok tidak pas dan tidak relevan dikaitkan dengan alibi hukum suatu kebebasan berekspresi di era demokrasi saat ini. Apalagi, ada argumen kebebasan harusnya tidak seperti masa-masa orde baru dengan dalil dijamin oleh UU Negara RI No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, dengan anggapan sebagai aturan  yang ditujukan membuka ruang bagi masyarakat untuk mengeksplorasikan hak kemerdekaan mereka secara definitif dan bebas tanpa batas anggapan demikian sangatlah keliru, tidak tepat, bahkan dapat menyesatkan pemahaman publik.

Sebagai catatan akhir dari penulis pada tulisan kali ini tentang TikTok, di era demokratis diharapakan lebih selektif menghadapi arus perkembangan informasi, dan teknologi masa kini, setidaknya bila hasil perkembangan kemajuan teknologi informasi adalah ciptaan manusia maka jangan sebaliknya diperbudak oleh hasil teknologi tersebut, tetapi tidak pula skeptis atau apatis dengan kemajuan yang ada melainkan harus mampu memanfaatkannya pada hal-hal yang positif dan berguna bagi orang lain lebih-lebih untuk meraih masa depan yang gemilang.

Bila TikTok disalahgunakan oleh, pada, dan untuk orang yang salah maka, duka menjadi satu-satunya hadiah terbaik bagi penggunanya. TikTok sebagai bagian media komunikasi sosial dunia maya tidak luput sebagai pilihan bagi yang tak berpikir panjang untuk menjadikannya sebagai media hasut-menghasut antara satu dengan yang lain, praktik demikian jelas keliru bila dalam media tersebut ada konten yang melanggar kode etik bahkan melanggar nilai kesusilaan.

Untuk itu mesti mengingat ada pesan dari pihak berwajib (Surat Edaran Kepala Kepolosian Negara RI Nomor SE/6/X/2015) karena bila ada yang tersinggung dan merasa dirinya tercemar, maka tidak sedikit penggiat/ pengguna medsos sejenis yang bersangkutan diberitakan di televisi dan menghiasi media massa (koran dan media online lainnya) sebagai tersangka, terdakwa bahkan berakhir menjadi terpidana.

Untuk diingat kembali, ada pesan lebih penting dalam pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) UU Negara RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.

Tulisan milik Sumerah, S.HI., MH., Advokat.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Menavigasi Inklusivitas Politik Indonesia: Prabowo Subianto dan Perwujudan Consociational Democracy

Oleh: Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom. Perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah berlalu dan sebagian besar rakyat Indonesia telah berkontribusi dalam terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden...

Mengurangi Polarisasi Agama, Berkaca dari Pemilu 2024

Oleh: Muhammad Iqbal Saputra Pada Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), isu politisasi agama kembali mengemuka. Politisasi agama merupakan penggunaan simbol dan retorika agama untuk meraih...

Di Balik Pelik RUU Penyiaran vs Digitalisasi

Oleh: Muhammad Azhar Zidane PinterPolitik.com Konteks penyiaran saat ini menjadi salah satu topik isu menarik untuk dibahas, terlebih saat perumusan RUU Penyiaran mulai ramai kembali di...