Dalam masa pandemi (2020-2022), Indonesia mengalami peningkatan yang luar biasa dalam perdagangan barang-barang melalui proliferasi transaksi elektronik (e-commerce). Menurut KBBI, proliferasi adalah “pertumbuhan dan pertambahan sel yang sangat cepat (dalam keadaan abnormal)” atau rapid increase in number (Oxford Dictionary Online).
Pengaturan transaksi elektronik telah lama ada dalam Pasal 65-66 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (”UU 7/2014”) yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PP 80/2019”) yang terbit tepat sebelum wabah COVID-19 melanda dunia di mana hampir seluruh transaksi jual beli dilakukan secara online guna memutus mata rantai penularannya.
Menurut Pasal 1 Butir 6 PP 80/2019, Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah “setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa Pelaku Usaha Dalam Negeri dan Pelaku Usaha Luar Negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Ini berarti setiap orang atau badan usaha apapun dapat menjadi Pelaku Usaha PMSE sepanjang mereka menyelenggarakan kegiatan di bidang PMSE.
Definisi Pelaku Usaha dalam PP 80/2019 dalam Perspektif Pelaksanaan Kerja Sama Distribusi
Masa pandemi menjadi blessing in disguise bagi PMSE di Indonesia karena terjadi peningkatan eksponensial dalam transaksi barang. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut telah menggoda dan mendorong para pelaku usaha mengambil bagian demi kelangsungan usahanya.
Definisi Pelaku Usaha PMSE dalam PP 80/2019 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi perorangan atau badan hukum untuk melakukan usaha melalui PMSE, implicitly termasuk Pelaku Usaha Distribusi.
Regulasi terhadap distribusi barang dan jasa sebenarnya telah diatur oleh Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1977 melalui PP 36/1977, 19/1988, 35/1996 dan 41/1977, terkait dengan Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing di Bidang Perdagangan, dan Permendag 11/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa (dicabut berdasarkan Permendag 24/2021). Sejak diterbitkannya UU 7/2014 tentang Perdagangan, regulasi tentang distribusi barang terus diperbaharui melalui Permendag 22/2016, Permendag 66/2019 serta Permendag 24/2021 tentang Perikatan untuk Pendistribusian Barang oleh Distributor atau Agen.
Berdasarkan regulasi distribusi barang dan jasa, Pelaku Usaha Distribusi tidak langsung (market intermediaries) dilarang melakukan direct-selling tanpa melalui saluran distribusinya. Namun, pemerintah juga menyadari bahwa tidak semua penjualan wajib menggunakan pedagang perantara karena dapat meningkatkan harga jual dan waktu pengiriman. Beberapa pengecualiannya adalah (i) produsen dalam negeri; (ii) importir lokal yang juga distributor; (iii) bahan baku, bahan modal dan bahan penolong; (iv) pengadaan barang pemerintah, dan (v) alat-alat kesehatan dan obat-obatan.
Harga yang relatif jauh lebih murah, proses transaksi yang cepat dan pengiriman dalam waktu relatif singkat membuat jual beli barang secara PMSE (e-commerce) sangat diminati daripada pembelian konvensional. Perubahan perilaku konsumen ini telah mempengaruhi trend perdagangan dari pembelian onsite retailing menjadi online retailing. Lalu, apakah dampaknya bagi para pelaku usaha distribusi?
Membanjirnya barang-barang melalui e-commerce (khususnya consumable dan storable goods) membuat barang-barang sejenis yang diperoleh berdasarkan perjanjian/kerja sama distribusi kehilangan daya tarik penjualannya. Competitive advantage berupa harga terendah, kebaharuan model dan teknologi, jaminan suku cadang, servis purna jual, bahkan keaslian asal usul barang (certificate of origin) tidak lagi menjadi keunggulan dalam melakukan penjualan. Belum lagi kewajiban pembelian jumlah minimum, dan target penjualan yang ditetapkan oleh prinsipal asing semakin membebani distributor/agen sehingga cepat atau lambat akan menyeret mereka ke zona default (wanprestasi).
Disharmoni PP 80/2019 dengan PP 29/2021
Definisi Pelaku Usaha PMSE Pasal 1 Butir 6 PP 80/2019 yang terbuka bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan kegiatan PMSE ternyata juga memiliki esensi keterpautan antara Pelaku Usaha PMSE dengan Pelaku Usaha Distribusi dalam melakukan kegiatan usaha. Setiap Pelaku Usaha PMSE pasti melakukan distribusi barang namun tidak semua Pelaku Usaha Distribusi melakukan kegiatan PMSE. Ini berarti setiap Pelaku Usaha PMSE seyogyanya adalah pelaku usaha distribusi informal karena setiap transaksi e-commerce selalu diikuti dengan distribusi barang.
Sejatinya Pelaku Usaha Distribusi di Indonesia dilarang melakukan penjualan/distribusi langsung kepada end-user tanpa melalui saluran distribusinya (Lih. Pasal 33 PP 29/2021, Pasal 1 Angka 3 Permendag 66/2019, Pasal 1 Angka 1 Permendag 66/2019 juncto Pasal 19 ayat 1 Permendag 22/2016). Namun, penggunaan saluran distribusi dapat meningkatkan harga jual walaupun berpotensi memberikan pendapatan perpajakan. Akibatnya, Pelaku Usaha Distribusi (distributor-agen dan jaringannya) tidak mampu bersaing memberikan harga terendah hingga sampai kepada end-user karena banyaknya barang sejenis di pasar elektronik dengan harga jual yang sulit dijangkau dibandingkan harga minimum prinsipal. Bagaimana ini bisa terjadi?
Kemajuan teknologi mendorong transaksi e-commerce meniadakan batas geografi pemasaran. Banyak barang ditawarkan di pasar elektronik adalah barang-barang yang terjamin keasliannya sekalipun sebenarnya tidak diperuntukkan penjualannya ke Indonesia melainkan ditujukan ke negara-negara dengan angka Gross Domestic Product (GDP) dan income per kapita rendah. Ini lumrah terjadi bagi negara-negara yang mengakui dan terikat dalam suatu kesepakatan parallel import (seperti Uni Eropa, Hong Kong, USA, Australia). Sedangkan Indonesia belum mengatur hal tersebut sehingga Pelaku Usaha Distribusi saat ini seolah mengalami “pembiaran” berhadapan dengan giant e-commerce dalam area pemasarannya. Contoh barang yang paling umum dijual adalah software, vitamin, alat-alat elektronik dan barang-barang peralatan rumah tangga.
Pedagang luar negeri menawarkan/menjual barang- barang original dengan harga murah di Indonesia melalui portal Penyelenggara PMSE (Shopee, JD id, Lazada, Tokopedia, dan sebagainya) lalu dikirimkan langsung ke pembeli. Patut diduga bahwa para pedagang luar negeri tersebut adalah rantai distribusi prinsipal yang sama dengan distributor/agen di Indonesia.
Diperlukan Peranan Pemerintah untuk Mengharmonisasi ketentuan PMSE dan Distribusi Barang
Tidak dapat dicegah/dihentikan, PMSE (e-commerce) akan terus berkembang pesat bahkan menggantikan usaha penjualan barang konvensional. Tanpa pengaturan solutif terhadap harmonisasi PMSE dengan distribusi barang di Indonesia, cepat atau lambat ini akan menyeret Pelaku Usaha Distribusi kepada keadaan wanprestasi.
Semoga pemerintah (legislatif) segera memberikan solusi terbaik dengan menerbitkan instrumen peraturan untuk harmonisasi pengaturan PMSE dan distribusi barang di Indonesia.
Sebagai penutup, bertolak dari buku Change or Die (Allan Deuthsman, 2006), tiga prinsip utama perlu dilakukan untuk melakukan perubahan. Pelaku Usaha Distribusi perlu terhubung dengan entitas distribusi barang yang berhasil dalam e-commerce (relate), mempelajari, melatih dan menguasai hal-hal penting dari perubahan yang diperlukan (repeat), dan terakhir menginovasi (reframe) agar dapat menciptakan metode distribusi barang yang sesuai dengan proliferasi e-commerce.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
