HomeRuang PublikNalar Pemerintah dalam Melihat Relasi Alam dan Manusia Melalui Kebijakan Pemindahan Ibu...

Nalar Pemerintah dalam Melihat Relasi Alam dan Manusia Melalui Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara


Oleh Naomy Ayu Nugraheni

Pembangunan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dikebut oleh Pemerintah telah menimbulkan serangkaian persoalan, khususnya bagi masyarakat adat di sekitar area lokasi pembangunan IKN.

Salah satunya, pada 4 Maret 2024 terjadi penggusuran lahan secara paksa oleh pemerintah terhadap warga Pemaluan, Kabupaten Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur. Hal ini dilatarbelakangi karena rumah-rumah warga dianggap sebagai pelanggaran pembangunan tidak berizin dan tidak sesuai dengan tata ruang IKN.

Warga pun diharuskan meninggalkan lahan yang tengah ditempati selama 7 (tujuh) hari (Sumedi, 2024). Pemerintah merespon dengan membenarkan mengenai surat tersebut dan mengeklaim telah mengadakan pertemuan secara damai dengan masyarakat  (Khoirunikmah, 2024).

Kejadian tersebut seolah memberikan gambaran mengenai pola marjinalisasi masyarakat adat dan perseteruan lahan tidak bisa dipisahkan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak hanya di mega proyek IKN, kejadian konflik lahan yang melibatkan pemerintah dan masyarakat juga telah marak terjadi di beberapa proyek PSN sebelumnya, seperti di Pulau Rempang, Batam untuk pendirian Rempang Eco-City; Desa Wadas, Jawa Tengah untuk pembangunan Waduk Bener; dan di Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur untuk pengembangan Geothermal Energi Panas (CNN Indonesia, 2023; Widyana, et al, 2023; Wicaksono, 2023).

Diskursus ‘pembangunan berkelanjutan’ seolah menjadi alat pembenaran atas pendisplinan praktik-praktik lingkungan (Kurniawan, 2012), termasuk perampasan lahan milik masyarakat yang masih ditempati. Hal ini membuktikan peran dan kontrol besar negara tidak hanya dalam pembebasan dan pengelolaan lahan, tetapi juga mendorong penciptaan konflik lahan dengan masyarakat (Kurniawan, et al, 2023).

Tulisan ini berupaya melihat konflik antara negara dan masyarakat menggunakan studi kasus pemindahan IKN dalam pendekatan politik ekologi. Negara sebagai pemegang kontrol tertinggi tengah melakukan komodifikasi alam dibarengi dengan produksi wacana nasional dan memanfaatkan wacana global sebagai pembenaran tindakan.

Dalam melihat relasi alam dan manusia, pelaksanaan mega proyek nasional seringkali menekankan dorongan profit dan menghilangkan keseimbangan antara aspek ekonomi, ekologi, dan budaya. 

Komodifikasi Alam sebagai Pemenuhan Ambisi Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN)

Sejatinya, gagasan mengenai pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur telah bergulir sejak masa Orde Lama. Ide ini mencuat kembali di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mengumumkan agenda pemindahan ibukota yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Baca juga :  Nadiem, PHK Gen Z, & Generasi Cemas?

Secara umum, pemindahan IKN dicanangkan sebagai identitas dan pembangunan nasional serta berorientasi kepada percepatan transformasi Indonesia (ikn.go.id, 2023). Pemerintah secara aktif tengah melakukan komodifikasi alam atau proses perubahan nilai atas sumber daya alam melalui wacana atau pengetahuan, modal, tenaga kerja, dan lain sebagainya (Castree, 2003).

Sebagai pemegang kontrol tertinggi, pemerintah berperan penting dalam proses komodifikasi alam, termasuk pembebasan lahan secara paksa. Hal tersebut semakin kentara ketika pemerintah melakukan penjajakan lahan-lahan peluang di penjuru tanah air memfasilitasi pemindahan IKN (Djayanti, et al, 2022).  

Dalam kasus pemindahan IKN, pencarian lahan-lahan tersebut berhenti di tanah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan lahan sebesar 68.000 hektare. Jumlah tersebut bisa diprediksikan meningkat mencapai 200.000 hektare. Status dan kepemilikkan tanah pun diklaim tidak ada persoalan. Sementara kondisi alam dan geografis di lahan tersebut tidak jauh dari danau Mahakam yang menjadi habitat dari satwa langka (Aida & Hadiyanto, 2022; Muharom, 2019).

Tanah adat menjadi lahan yang berpotensi memenuhi persyaratan tersebut dan akibatnya, Suku Balik dan Paser, dua suku adat penghuni wilayah IKN, mengalami imbas dari keberadaan agenda nasional ini. Kelompok adat tersebut harus angkat kaki dari tanah yang sudah dihuninya sejak lama bahkan sebelum terciptanya ide proyek tersebut (Widadio & Budhi, 2024).

Ciri-ciri lahan tersebut senada dengan pola karakteristik tanah yang biasa dilakukan negara untuk ekspansi lahan menjadi komoditas bernilai ekonomi, yakni tanah milik negara, kawasan hutan, terpencil, tidak menjadi pusat ekonomi, dan statusnya sebagai tanah negara yang tidak dilindungi undang-undang kepemilikkan (Mc Carthy & Cramb, 2009; Jong 2017). Pola karakteristik tanah untuk ekpansi lahan keperluan agenda mega proyek ditemukan  salah satunya di proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Provinsi Papua Selatan yang berujung menghasilkan konflik dengan masyarakat adat setempat (Kurniawan, et, al, 2023).

Dalam proses pembebasan lahan, wacana global dan nasional pun turut dimainkan sebagia justifikasi di depan publik. Dalam kasus pemindahan IKN, pemerintah mengklaim bahwa prosesnya sangat menjunjung Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan wacana IKN sebagai Forest City yang mengutamakan inklusif dan kelestarian ekosistem alam untuk geliat ekonomi nasional (Budhiwibowo, 2024: Sembiring, 2022).

Baca juga :  Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Hal ini diiringi dengan gagasan penerapan nilai keberlanjutan (sustainability) yang tercatut dalam dokumen Nusantara Sustainable Development Goals (SDGs) voluntary Local Review (VLR) (ikn.go.id, 2024; Budhiwibowo, 2024). Pemerintah pun getol mempromosikan peluang investasi di IKN baik kepada investor lokal maupun investor asing dengan menjual wacana-wacana tersebut (Sandi, 2024).

Serangkaian tindakan yang dilakukan pemerintah dalam mega proyek pemindahan IKN seolah mencerminkan penjelasan Smith (1984) bahwa perubahan nilai sumber daya alam karena adanya proses produksi, distribusi, dan pertukaran keuntungan. Sementara itu, Kloppenburg (1988) dan Boyd (2001) menuliskan komodifikasi benih dan ayam untuk menggambarkan proses perusahaan mengubah entitas ‘alami’  dari suatu sumber daya alam secara fisik ‘sepenuhnya’ untuk kepentingan profit.

Melihat Kembali Hubungan Manusia dan Alam Secara Ideal

Escobar (2006) menyatakan urgensi keseimbangan antara aspek ekonomi, ekologi, dan budaya dalam memahami relasi manusia dan alam. Dewasa ini, alam sekadar dilihat sebagai objek untuk kepentingan ekonomi. Padahal, ada kebutuhan meluaskan pandangan bahwa terdapat proses ekologis-budaya yang turut menentukan nilai sumber daya alam sebagai sesuatu sakral dan tidak dapat dikomodifikasi.

Namun, praktik di lapangan seringkali luput dengan memisahkan ketiganya dalam melihat hubungan alam dengan manusia.

Kasus yang terjadi di IKN merupakan salah satu gambaran negara lebih condong menekankan nilai ekonomi-ekologi tanpa melihat ekologi-budaya. Hal ini tampak dari penggunaan wacana yang digunakan seperti forest city, penguatan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan inklusivitas  yang memperlihatkan alam didefinisikan sebagai komoditas semata atau Nygreen (1998) menyebutnya sebagai enviromentalisme untuk profit.

Pemerintah tampaknya luput dalam menempatkan aspek ekologi-budaya yang tercermin dari masih terjadinya peminggiran masyarakat adat. Bagi masyarakat adat, lahan yang dijadikan area pemindahan IKN memiliki nilai-nilai luhur dan pembentuk identitasnya.

Berkaca dari studi kasus pemindahan IKN, seiring waktu perubahan lanskap sosial dan lingkungan menuntut untuk penciptaan pendekatan lebih pluralis dan nyata serta mengenali mobilitas dan heterogenitas terhadap interaksi manusia dengan alam, dan dengan satu sama lain (Nygren, 2004).


Artikel ini ditulis oleh Oleh Naomy Ayu Nugraheni.

Oleh Naomy Ayu Nugraheni adalah Assistant Manager di Citizens Participation in Resources Governance and Sustainable Transition (SUSTAIN). 

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com. 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

Inayah Wahid, “Rhaenyra” of Trah Gus Dur?

Bukan Alissa, Yenny, maupun Anita, sosok Inayah Wahid justru yang paling mirip Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Mengapa demikian?

Ambang Batas MK: Anies “Ancam” Jokowi?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hilangkan kewajiban ambang batas presiden (PT). kesempatan Anies untuk “ancam” pengaruh Jokowi?

Semakin Sulit Megawati Percaya Puan?

Kongres 2025 PDIP sudah di depan mata. Akankah ada pergantian pucuk kepemimpinan, atau terlalu dini bagi Megawati Soekarnoputri untuk mencari pengganti dirinya?  

More Stories

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo – Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.