HomeRuang PublikKeberadaan FPI dalam Konstitusi

Keberadaan FPI dalam Konstitusi

Oleh Sayyid Nurahaqis

Pemerintah memutuskan untuk membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB). Lantas, bagaimanakah aspek legalitas FPI menurut konstitusi?


PinterPolitik.com

Mulai Rabu 30 Desember 2020, pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud Md  dengan kementerian dan lembaga negara lainnya, yakni Mendagri, MenkumHAM, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri serta BNPT menetapkan organisasi kemasyarakatan (Ormas) pimpinan  Muhammad Rizieq Shihab, yakni Front Pembela Islam (FPI) sebagai Ormas terlarang. Penetapan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) kementerian dan lembaga negara. Dalam SKB tersebut keberadaan FPI dibubarkan dan semua kegiatan aktivitas FPI dilarang.

Adapun isi dalam SKB sebagai berikut:

  1. Menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga secara de jure telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan.
  2. Front Pembela Islam sebagai organisasi yang secara de jure telah bubar pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman-ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum.
  3. Melarang dilakukannya kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum ketiga di atas, aparat hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam
  5. Meminta kepada masyarakat;
    • Untuk tidak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam
    • Untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum sebagai kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam
  6. Kementerian/lembaga yang menandatangani surat keputusan bersama ini agar melakukan koordinasi dan mengambil langkah-langkah penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  7. Keputusan bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (UU Ormas), selaku payung hukum keberadaan dan kegiatan Ormas memang membenarkan pemerintah dapat membubarkan Ormas tanpa proses peradilan hukum. Pembubaran Ormas tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian/lembaga negara yang memberikan izin keberadaan dan kegiatan Ormas itu sendiri, yakni Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri

Artinya, dapat dibenarkan mengenai keputusan pemerintah untuk membubarkan Ormas FPI, pemerintah memiliki dasar hukum atas pembubaran FPI yakni dengan merujuk UU Ormas. Namun demikian, bukan berarti keputusan pemerintah sepenuhnya dapat dibenarkan sepihak. Disisi lain keputusan atau tindakan pemerintah atas pembubaran Ormas FPI seakan-akan menjadikan Negara melalui sistem pemerintahnya bersikap represif dan otoriter kepada warga negaranya.

Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menjamin hak asasi manusia (HAM) setiap warga negaranya. Salah satunya mengenai hak asasi warga negara untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Aturan ini tertuang dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Tidak hanya dalam Konstitusi, aturan mengenai warga negara untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat juga diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di bawah Konstitusi, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Tepatnya, dalam Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Tentang HAM, bahkan dalam Ayat (2) menyebutkan secara jelas bahwa setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi.

Persoalan lainnya mengenai keputusan pemerintah atas pembubaran Ormas FPI dapat juga dilihat dari dasar hukum pembubaran Ormas itu sendiri, yaitu UU Ormas. Dalam UU Ormas memang membenarkan untuk pemerintah dapat membubarkan ormas, tetapi bila dikaji dengan keilmuan hukum yang lebih komprehensif maka UU Ormas tersebut dapat diperdebatkan dan diyakini bertentangan dengan Konstitusi dan asas due process of law yang merupakan prinsip pokok negara hukum, seperti negara Indonesia.

Bertentangannya UU Ormas dengan Konstitusi dan asas due process of law, dimana pemerintah dapat membubarkan Ormas tanpa adanya proses pengadilan. Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, untuk tetap memastikan prinsip dan sistem negara hukum maka sesuatu permasalahan hukum yang ada di dalam negara hukum seharusnya diselesaikan melalui  due process of law (Proses peradilan hukum). Terlebih lagi jaminan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak konstitusional warga negara, Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 itu adalah produk hukum tertinggi dari Peraturan Perundang-undangan yang ada – yang di mana semestinya dalam suatu Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, dalam hal ini merujuk UU Ormas dengan UUD NRI Tahun 1945.

Pada dasarnya mengenai Ormas adalah sebuah organisasi perkumpulan masyarakat. Dalam perspektif hukum, Ormas terbagi dua bentuk, yaitu Ormas berbadan hukum dan Ormas tidak berbadan hukum. Hal yang membedakan dari kedua bentuk Ormas tersebut hanya dari status kedudukan hukumnya.

Ormas berbadan hukum adalah sebuah organisasi perkumpulan masyarakat yang pendiriannya memiliki izin dari Kementerian Hukum dan HAM dan terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, yang di mana menjadikan Ormas itu sebagai subyek hukum. Sementara, Ormas yang tidak berbadan hukum adalah sebuah organisasi perkumpulan masyarakat yang hanya sebatas memiliki perikatan dasar di dalam organisasi tersebut dan tidak memiliki legal standing di hadapan pemerintah, yang menjadikan ormas itu hanya sebuah perkumpulan masyarakat  biasa yang bukan subyek hukum.

Namun, bukan berarti Ormas yang tidak berbadan hukum tidak memiliki legalitas keberadaan dan kedudukannya di sebuah negara hukum. Legalitasnya sendiri dijamin oleh Konstitusi, yaitu UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 28E Ayat (3) dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait. Legalitas keberadaan Ormas tidak berbadan hukum juga diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), setidaknya terdapat dua putusan MK yang terkait untuk Ormas tidak berbadan hukum, yaitu putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 dan Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014.

Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 menyatakan, Ormas yang tidak mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan/atau Negara, tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum. Dan putusan MK No. 3/PUU-XII/2014 selanjutnya menyatakan, Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain.

Dengan demikian, pasca terbitnya keputusan pemerintah atas pembubaran Ormas FPI yang kemudian tersebut sebagai organisasi terlarang, bukan berarti ke depannya FPI tidak ada dan tidak memiliki legalitas. Secara de jure OrmasFPI memang tidak diakui di hadapan pemerintah, namun secara de facto keberadaan Ormas FPI dengan aktivitas dan kegiatannya akan tetap ada meskipun telah terdapat SKB kementerian/lembaga negara. Kedepannya FPI tetap sebagai Ormas, melainkan Ormas tidak berbadan hukum yang keberadaan dan legalitasnya dijamin oleh Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dan produk hukum yang terkait (UU dan putusan MK).


Tulisan milik Sayyid Nurahaqis, pemerhati Hukum Tata Negara dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...