Dengarkan artikel ini:
Di media sosial, viral cuplikan video Ulil Abshar Abdalla melabeli aktivis lingkungan kontra-pertambangan sebagai “Wahabi”. Mengapa label ini tiba-tiba dimunculkan?
“The power to label is the power to destroy.” ― Allen Frances, psikiater asal Amerika Serikat (AS)
Di sebuah malam yang biasa, Kenny sedang menggulir layar ponselnya ketika ia menemukan cuplikan talk show yang tengah ramai dibagikan di media sosial. Dalam video tersebut, tampak Ulil Abshar Abdalla, atau yang akrab disapa Gus Ulil, tengah berbicara santai namun kontroversial.
Sebagai salah satu ketua di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Ulil dikenal luas sebagai intelektual Muslim progresif. Namun kali ini, ucapannya menimbulkan tanda tanya besar—ia melabeli para aktivis lingkungan yang menolak tambang sebagai ekstremis.
Yang mengejutkan Kenny bukan hanya tuduhan ekstremisme, tapi penyebutan mereka sebagai semacam “Wahabi”—sebuah istilah yang selama ini dikenal merujuk pada puritanisme keagamaan. Gus Ulil menyamakan aktivisme lingkungan yang menolak segala bentuk kompromi dengan sikap keras kepala kelompok garis keras agama.
Dalam benak Kenny, pernyataan itu terdengar janggal. Bagaimana mungkin perjuangan menyelamatkan alam dipersamakan dengan fanatisme agama?
Label “Wahabi” memiliki konotasi ideologis yang sangat kuat, bahkan politis, terutama dalam konteks Indonesia yang masih sensitif terhadap isu radikalisme. Ia membayangkan aktivis-aktivis muda yang selama ini menanam pohon, berdiskusi di kampus, dan mengorganisasi warga—kini harus memikul beban tuduhan sebagai kelompok ekstrem.
Apakah ini bentuk delegitimasi yang halus, atau sekadar kelakar intelektual yang terlontar tanpa sadar? Kenny merasa ada jarak yang lebar antara posisi elite dan gerakan akar rumput yang diperjuangkan para aktivis.
Menatap layar ponselnya, Kenny mengernyit. Mengapa Gus Ulil dengan mudahnya memberikan label tersebut? Akankah ada konsekuensi lanjutan dari label-label seperti ini?
Siapa Ulil Abshar Abdalla?
Kenny terkejut. Bukankah Wahabi biasanya digunakan untuk menyebut kelompok keagamaan yang kaku dan puritan? Ia penasaran siapa sosok di balik pernyataan tajam itu.
Dari kolom komentar dan penelusuran singkat, Kenny mengetahui bahwa pria itu adalah Ulil Abshar Abdalla, salah satu Ketua di Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Gus Ulil, begitu ia biasa disapa, ternyata punya sejarah panjang dalam dunia intelektual Islam.
Ia lahir di Pati, Jawa Tengah, dan merupakan menantu dari ulama besar K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Rembang, Jawa Tengah. Pendidikan tingginya pun mengesankan—studi master di Boston University dan program doktoral di Harvard University.
Sebelum aktif di PBNU, Gus Ulil dikenal luas sebagai pendiri dan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), yang memperjuangkan tafsir Islam yang lebih rasional dan terbuka. Namun sejak dekade 2010-an, arah pemikirannya mulai lebih dekat dengan NU, seiring meningkatnya arus konservatisme Islam.
Pada tahun 2017, NU mulai aktif membangun kanal digital untuk menjangkau anak muda, dan Gus Ulil menjadi salah satu motor intelektualnya. Ia dikenal dengan gaya tutur yang santai, namun kerap melontarkan pandangan yang memancing kontroversi.
Kini, ketika isu tambang mencuat, label “Wahabi” itu kembali muncul—namun bukan dalam konteks agama, melainkan untuk menyebut mereka yang tak kompromi terhadap eksploitasi alam. Kenny terdiam sejenak dan bertanya-tanya: mungkinkah ini memiliki dampak lanjutan dalam sosial dan politik?
View this post on Instagram
“Wahabi” dan Politik Labeling
Kenny masih memikirkan soal pernyataan Gus Ulil yang menyebut aktivis lingkungan sebagai “Wahabi”. Ia mulai menyadari bahwa ucapan itu bukan sekadar seloroh, melainkan bagian dari strategi yang lebih besar: politik labeling.
Label sering digunakan dalam politik untuk menciptakan batas antara “kita” dan “mereka”. Dalam banyak kasus, kelompok yang menjadi lawan akan diberi cap yang merugikan atau menakutkan agar kehilangan simpati publik.
Kenny teringat pelajaran lamanya tentang teori identitas sosial dari Henri Tajfel dan John C. Turner. Teori itu menjelaskan bagaimana manusia cenderung mengelompokkan diri—dan orang lain—ke dalam kelompok sosial yang berbeda, membentuk rasa identitas berdasarkan keanggotaan kelompok.
Menurut teori tersebut, ada kecenderungan untuk meninggikan kelompok sendiri (ingroup) dan merendahkan kelompok lain (outgroup). Dalam konteks politik, ini sangat efektif: memberi label buruk pada outgroup bisa memperkuat loyalitas terhadap ingroup.
Di Amerika Serikat (AS) pada era Perang Dingin, misalnya, orang-orang yang berbeda pandangan politik kerap dilabeli “komunis” atau “commie”. Bagi Kenny, ini mirip dengan bagaimana label “Wahabi” digunakan saat ini untuk menggambarkan kelompok yang dianggap terlalu kaku atau menolak kompromi.
Label semacam itu tidak netral—ia membawa sejarah, emosi, dan stigma. Saat label ditempelkan pada seseorang atau kelompok, ia bisa mengubah cara publik memandang mereka secara drastis.
Melihat semua ini, Kenny merasa waspada. Label bisa tampak sederhana, tapi di baliknya tersimpan kuasa untuk membentuk opini dan bahkan arah kebijakan.
Ia pun menyimpulkan: politik labeling bukan hanya soal kata, tapi soal siapa yang berhak menentukan siapa “kita” dan siapa “mereka”. Dan itu, pikir Kenny, adalah kekuasaan yang sangat besar. (A43)