HomeHeadlineThrilling Saga: Pangudi Luhur dan Taruna Nusantara

Thrilling Saga: Pangudi Luhur dan Taruna Nusantara

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Kabar hangat penunjukan Bimo Wijayanato sebagai Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menyingkap latar belakang pendidikannya, terutama jenjang pendidikan menengah di SMA Taruna Nusantara. Menariknya, Tarnus melahirkan banyak sosok elite birokrasi, politik, dan pemerintahan belakangan ini, sebagaimana terjadi pada SMA Pangudi Luhur Jakarta. Lalu, apa yang dapat dimaknai dari fenomena ini?


PinterPolitik.com

Peta birokrasi Indonesia di pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memperlihatkan gejala yang kiranya menarik dan berulang dalam sejarah kekuasaan.

Utamanya, seleksi elite melalui jejaring sosial yang tidak hanya bersifat profesional atau meritokratik, melainkan berbasis asal-usul institusional.

Kali ini, fenomena itu mengemuka dan mengerucut dari jejaring alumni jenjang pendidikan menengah atas atau Sekolah Menengah Atas, khususnya SMA Taruna Nusantara atau Tarnus atau TN, dan SMA Pangudi Luhur Jakarta.

Jika sebelumnya dominasi alumni PL terlihat dalam periode pemerintahan SBY dan Jokowi melalui figur-figur seperti Sandiaga Uno, Bambang Brodjonegoro, dan Agus Martowardojo, kini panggung kekuasaan digeser ke arah alumni Tarnus yang memiliki karakteristik disiplin dan terstruktur secara vertikal

 Dalam kabinet dan lembaga pemerintahan Prabowo-Gibran, terlihat lonjakan signifikan tokoh-tokoh kunci dari Tarnus, mulai dari AHY sebagai Menko Infrastruktur, Sugiono di Kemenlu, hingga Simon Mantiri sebagai Dirut Pertamina.

Fenomena ini agaknya idak bisa dilihat hanya sebagai “kebetulan preferensi personal”, melainkan adalah ekspresi dari arsitektur jejaring birokrasi dan pemerintahan yang tengah dibangun, di mana keterhubungan, loyalitas awal, dan kesamaan trajektori hidup menjadi dasar pembentukan lingkaran dalam kekuasaan.

Lalu, mengapa fenomena ini bisa terjadi?

Patronase Style Baru?

Dalam The Power Elite, sosiolog C. Wright Mills memperkenalkan konsep lingkaran dalam kekuasaan (inner circle) sebagai mekanisme informal tetapi sangat berpengaruh dalam pembentukan elite di Amerika Serikat.

Menurut Mills, penguasa tak hanya dipilih melalui prosedur formal, tapi melalui konsolidasi koneksi personal yang dibentuk sejak dini, dalam keluarga, universitas, atau organisasi eksklusif. Tentu, dengan tetap memperhatikan kualitas individu dalam jejaring yang terbentuk.

Baca juga :  Rian d'Masiv-Anies “di Antara Kalian”?

Jika kita adopsi kerangka ini, maka SMA Taruna Nusantara dan Pangudi Luhur dapat dibaca sebagai “ladang rekrutmen inner circle”, bukan sekadar lembaga pendidikan.

Di Tarnus, pola pembinaan semi-militer, seleksi ketat sejak usia belia, serta pemupukan rasa nasionalisme dan kedisiplinan tinggi menjadi semacam “ritual inisiasi” menuju elite administratif negara.

Hal ini kiranya selaras dengan kecenderungan Presiden Prabowo untuk membangun trust ecosystem berbasis kontrol, loyalitas, dan sistem komando.

Sebaliknya, Pangudi Luhur yang dikenal sebagai lembaga Katolik prestisius di tengah elite urban Jakarta, melahirkan figur-figur teknokrat yang kuat dalam ekonomi dan birokrasi keuangan.

Sayannya, kini SMA PL mengalami reduksi pengaruh politik, terutama sejak formasi kekuasaan pasca-Pemilu 2024 cenderung berpindah dari teknokrasi ke politik konsolidatif.

Selain faktor inner circle, fenomena ini juga dapat dijelaskan dengan logika patronase. Dalam sistem patronase politik, hubungan patron-klien tidak semata diartikan sebagai hubungan pemberi dan penerima keuntungan, melainkan juga pembentukan komunitas loyalis yang dijaga melalui distribusi jabatan dan akses ke sumber daya negara.

Alumni Tarnus yang mengalami tren kenaikan dalam konteks ini kiranya berfungsi sebagai “komunitas siap pakai”, siap diberi tugas, karena telah berbagi nilai dasar dan pengalaman sosial bersama.

Habitus Institusional dan Imaji Negara?

Gagasan Benedict Anderson dalam Imagined Communities dan James C. Scott dalam Seeing Like a State dapat memberikan lensa tambahan untuk memahami mengapa SMA seperti Tarnus dan PL dapat menjadi penentu dalam rekrutmen elite birokrasi.

Keduanya menyoroti bahwa negara tidak hanya dibangun oleh struktur formal, tetapi juga oleh imajinasi dan format sosial yang dibentuk dalam ruang pendidikan.

Taruna Nusantara sejak awal memang dimaksudkan sebagai miniatur kenegaraan, tempat anak-anak muda dari seluruh Indonesia dididik dalam semangat nasionalisme, kedisiplinan militer, dan visi kebangsaan.

Mereka adalah “anak kandung” dari proyek imajinatif negara di ujung masa Orde Baru untuk mencetak “pemimpin masa depan yang berkarakter.”

Tak heran jika dalam benak pembentuk kekuasaan seperti Presiden Prabowo, yang lekat dengan kedisiplinan institusional, alumni Tarnus adalah subjek ideal untuk menjalankan mesin birokrasi.

Baca juga :  Lost in Militarism?

Sementara Pangudi Luhur, meski juga mencetak elite nasional, lebih membentuk dirinya sebagai ruang sosial kelas menengah-kapitalis urban, bukan miniatur negara. Alumni PL unggul di sektor-sektor yang membutuhkan rasionalitas ekonomi dan daya saing global, mulai dari perbankan, investasi, teknologi, dan pendidikan tinggi, tetapi tidak menciptakan keterpautan ideologis yang kuat terhadap institusi negara.

Dengan demikian, krianya dapat terlihat bagaimana institusi pendidikan SMA bukan hanya mencetak kemampuan, tetapi juga membentuk identifikasi terhadap imaji negara.

Alumni Tarnus lebih identik dengan negara sebagai institusi kekuasaan dan komando. Alumni PL lebih identik dengan negara sebagai ruang modern, progresif, dan selalu tumbuh dalam pembangunan ekonomi kebangsaan.

Bagaimanapun, fenomena ini kiranya memberi sinyal yang penting bahwa demokrasi Indonesia bisa saja sedang atau di ambang berhadapan dengan risiko “homogenisasi elite”, di mana jabatan publik, baik sipil maupun strategis, tidak lagi dibentuk berdasarkan merit semata, tapi oleh kesamaan latar belakang sosial yang sangat spesifik, salah satunya asal sekolah menengah.

Di satu sisi, hal tersebut bisa sebagai “filter alami” yang menciptakan kohesi elite dan soliditas pemerintahan. Namun di sisi lain, pluralitas sosial-politik dalam pengisian jabatan negara kiranya juga harus menjadi perhatian.

Merujuk pada analisis Mills, penguatan lingkaran dalam (inner circle) semacam ini bisa menimbulkan blind spot dalam pengambilan keputusan nasional, sebab elite hanya berbicara pada sesama mereka, bukan kepada publik luas.

Sementara itu, dari sisi patronase politik, ketergantungan pada jaringan alumni bisa memicu persaingan yang tidak sehat antargrup, menciptakan fragmen-fragmen loyalis yang menyingkirkan kompetisi terbuka.

Jika Indonesia ingin menjaga kualitas demokrasi dan kapasitas birokrasi secara bersamaan, maka harus ada langkah sistematis untuk mengelola ruang distribusi kekuasaan secara meritokratik sekaligus inklusif, tidak terbatas pada loyalitas identitas mikro seperti SMA atau variabel lain, melainkan pada kompetensi dan keberagaman pandangan. Sebab negara bukan milik satu lingkaran, tapi milik seluruh warga negara. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Chaos Pemblokiran Hormuz, Siapa “Rungkad”?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Selat Hormuz mungkin jauh dari Asia Timur dan Selatan, tapi jika ditutup, justru Tiongkok, India, dan...

Jalan Manis Anies

Anies Baswedan harus tetap menjaga relavansinya dalam narasi pembentukan opini masyarakat, jika ingin maju lagi di 2029.

Reset Senyap di Jantung Kekuasaan?

Gosip soal pergantian Kapolri – dan Panglima TNI – memang terus berhembus di media sosial.

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Ulil and the “Wahabi” Blame Game

Viral cuplikan video Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla labeli aktivis lingkungan sebagai “Wahabi”. Mengapa label ini tiba-tiba dimunculkan?

Perang Dunia III atau “Hot Peace”?

Dunia terasa semakin panas, tapi benarkah kita sedang memasuki babak awal Perang Dunia Ketiga? Atau jangan-jangan, ini hanyalah fase baru dari kompetisi global yang intens namun tetap terkendali—sebuah era yang oleh para ahli disebut hot peace.

Jalan Buntu Rumah Subsidi

Dengarkan artikel ini: Dalam kunjungannya ke Singapura beberapa hari lalu, Presiden Prabowo menyebut akan “mengcopy with pride” program-program Singapura, salah satunya adalah terkait pembangunan...

Pesanan Pizza Prediksi Konflik Israel-Iran? 

Warganet belakangan ramai perbincangkan "Pizza Index", yang disebut bisa memprediksi meletusnya konflik di Timur Tengah. Benarkah aroma keju meleleh pizza mampu menjadi tanda bahwa sebuah tensi geopolitik akan pecah?

More Stories

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Rian d’Masiv-Anies “di Antara Kalian”?

Di tengah derasnya hijrah musisi terjun ke politik, duet Rian d’Masiv dan Anies Baswedan di atas panggung jadi simbol sunyi, tentang pilihan dan "takdir", tentang jeda, hingga perlawanan simbolik. Mengapa demikian?

Akur Bobby-Masinton, Akur Jokowi-PDIP?

Saat Bobby Nasution dan Masinton Pasaribu tampil mesra selama proses penyelesaian administratif empat pulau Aceh-Sumut, muncul pertanyaan, apakah ini sinyal rujuknya Jokowi dan PDIP? Atau hanya panggung keharmonisan semu demi kepentingan sesaat? Simbol dan gestur politik sendiri seringkali lebih dalam dari yang terlihat. Mengapa demikian?