Dengarkan artikel ini:
PSI mewacanakan Pemilu Raya, yakni pemilihan Ketua Umum partai secara langsung oleh anggotanya. Model ini masih jarang diadaptasi oleh parpol-parpol di Indonesia dan mengambil dari gagasan Jokowi yang disampaikannya dalam salah satu wawancara. Istilahnya “Partai Super Terbuka”. Dengan menggadang-gadang ingin mengajak Jokowi sebagai Ketua Umum, akankah PSI bisa melenggang ke Senayan di 2029 mendatang?
PSI kembali mencuri perhatian publik. Setelah gagal melenggang ke Senayan dalam dua pemilu berturut-turut, partai yang kini diketuai Kaesang Pangarep ini seolah sedang mencari pintu sihir untuk membuka jalan menuju parlemen. Misi ini bukan sekadar soal strategi elektoral biasa, tapi juga pertaruhan besar yang bisa berdampak pada konstelasi kekuasaan nasional: PSI mulai menggadang-gadang nama Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, untuk merapat ke barisan mereka.
Langkah ini, tentu saja, bukan tanpa kalkulasi. Jokowi, dengan tingkat popularitas pribadi yang masih tinggi meski sudah lengser dari kursi RI-1, tetap menjadi primadona politik. Wajar jika PSI mencoba bermain di gelombang popularitas itu, terlebih ketika putra bungsu Jokowi menjadi nakhoda partai. Tapi, benarkah ini langkah strategis? Atau justru, ini sebuah perjudian politik yang lebih mungkin membawa kerugian ketimbang keuntungan?
Jokowi memang sudah tak lagi menjabat, tapi bukan berarti ia selesai secara politik. Banyak yang meyakini, ia masih akan terus bermain, entah sebagai kingmaker atau bahkan pemimpin partai politik. Dalam situasi itu, PSI menawarkan diri sebagai “rumah politik baru” yang lebih fleksibel, modern, dan tidak penuh sesak oleh elite lama. Tapi rumah ini juga punya fondasi yang belum kokoh, bahkan tampak goyah dari luar.
PSI mencoba menjual diri sebagai partai progresif. Salah satu yang ditonjolkan adalah wacana menggelar “pemilu raya” internal agar ketua umum dipilih langsung oleh anggota, bukan oleh elite. Ini mengingatkan kita pada model partai-partai sayap kiri baru di Eropa, seperti Podemos di Spanyol atau Five Star Movement di Italia, yang mencoba menjungkirbalikkan sistem politik lama. PSI ingin memperlihatkan diri sebagai kendaraan politik masa depan: inklusif, partisipatif, dan modern.
Namun sayangnya, di balik semangat demokrasi itu, terselip ironi struktural yang sulit ditampik. PSI masih punya jabatan Ketua Dewan Pembina yang sangat absolut. Jabatan ini bukan hanya permanen seumur hidup, tapi juga punya kuasa membatalkan keputusan Ketua Umum.
Dalam AD/ART PSI, Pasal 16 ayat 5 menyebutkan bahwa posisi ini tidak bisa digantikan kecuali jika mengundurkan diri atau wafat. Sementara ayat 6 menyatakan bahwa Dewan Pembina bisa memutuskan, menyetujui, hingga membatalkan kebijakan partai di semua jenjang. Demokrasi rasa otokrasi?
Ini membuat wajah PSI tampak paradoksal. Di satu sisi, menjual demokrasi terbuka. Di sisi lain, menyimpan mekanisme kendali yang nyaris otoriter. Seakan ada dua dunia dalam satu tubuh: kosmetik demokratis, tapi dengan kerangka kontrol yang kaku dan terpusat. Bagi publik yang makin cerdas membaca politik, ini bisa jadi jebakan elektoral yang membuat PSI sulit dipercaya. Apalagi jika nanti Jokowi benar-benar bergabung, publik bisa mempertanyakan: mengapa pemimpin dengan pengalaman besar justru memilih perahu kecil dengan struktur internal yang tak sepenuhnya demokratis?
Partai Posdemokrasi ke Kultus Keluarga
Untuk memahami situasi PSI hari ini, kita bisa memakai tiga kerangka teori politik yang menawarkan penjelasan lebih dalam: teori post-democracy dari Colin Crouch, teori partai kartel dari Richard Katz dan Peter Mair, serta gagasan tentang kultus keluarga dalam politik dari Pierre Bourdieu.
Pertama, teori post-democracy dari Colin Crouch. Dalam bukunya, Crouch menjelaskan bahwa demokrasi di banyak negara maju telah bergeser dari partisipasi aktif rakyat menjadi sekadar prosedur formal yang dimonopoli elite. Meski pemilu masih ada, tapi keputusan-keputusan penting tetap berada di tangan kelompok kecil yang punya kekuasaan atau modal besar.
Dalam konteks PSI, kita bisa melihat bahwa meskipun ada wacana “pemilu raya” untuk memilih ketua umum, kenyataannya kekuasaan masih bertumpu pada figur permanen di Dewan Pembina. Demokrasi prosedural berjalan, tapi substansi kuasanya tetap elitis. PSI mungkin tampak progresif, tapi dalam praktiknya mencerminkan pola post-democratic.
Kedua, teori partai kartel dari Katz dan Mair. Teori ini menyebutkan bahwa partai-partai politik kini cenderung tidak lagi menjadi representasi ideologi rakyat, melainkan semacam kartel politik yang hanya ingin bertahan di kekuasaan dengan merapat ke sumber daya negara dan elite.
Dalam model ini, partai baru seperti PSI bisa jadi bukan hadir untuk mewakili ideologi baru, tapi sebagai saluran baru bagi elite politik yang ingin mendaur ulang kekuasaan melalui kendaraan politik yang lebih bersih citranya. Bergabungnya Kaesang dan kemungkinan masuknya Jokowi bisa dibaca sebagai langkah untuk membuat kartel baru: sebuah elite club baru yang mencoba tampil beda tapi tetap bermain dalam logika lama.
Ketiga, Pierre Bourdieu dengan konsep habitus dan capital sosial bisa membantu membaca fenomena kultus keluarga dalam politik. PSI dipimpin oleh Kaesang, dan sedang mengorbitkan nama Jokowi. Ini bisa dimaknai sebagai bentuk pelanggengan symbolic capital keluarga Jokowi dalam dunia politik, mirip seperti dinasti politik lainnya.
Partai bukan lagi wadah ideologi atau gerakan, tapi menjadi instrumen pewarisan kekuasaan simbolik. Dalam konteks ini, PSI bisa dilihat sebagai “perusahaan politik keluarga” yang mencoba masuk ke pasar demokrasi dengan nama besar.
Ketiga teori ini menunjukkan satu hal: bahwa meskipun PSI mencoba tampil progresif, struktur dan orientasinya tetap bermain dalam medan kekuasaan yang sangat elitis. Ia bukan sekadar partai yang gagal lolos parlement threshold, tapi juga representasi dari krisis kepercayaan publik terhadap wajah-wajah baru politik yang nyatanya hanya topeng dari kekuatan lama.
Jokowi dan Jalan Sempit 2029
Lalu, bagaimana dengan Jokowi? Apakah masuk ke PSI adalah langkah strategis? Atau justru jebakan?
Jokowi hari ini sedang dalam posisi unik. Ia eks presiden dua periode, tapi tak punya partai sendiri. PDIP bukan lagi rumah nyaman baginya, apalagi setelah konflik panjang dengan Megawati. Sementara partai-partai besar lain seperti Golkar atau Gerindra sudah punya tokoh kuat dan struktur solid. PSI menawarkan ruang kosong yang bisa diisi sepenuhnya oleh Jokowi dan keluarga, bahkan bisa dikendalikan tanpa perlawanan berarti. Tapi di situlah letak risikonya.
Masuk ke PSI sama artinya dengan bertaruh pada partai kecil yang belum tentu lolos ke parlemen. Elektabilitas PSI masih rendah. Gagalnya mereka menembus ambang batas dua kali berturut-turut menunjukkan bahwa popularitas saja tidak cukup. Masyarakat mungkin tertarik, tapi belum percaya. Bahkan dalam Pemilu 2024, dengan gencarnya dukungan buzzer dan media sosial, suara PSI tetap tak menembus 4 persen.
Jika Jokowi bergabung, tentu ada lonjakan elektoral. Tapi apakah cukup? Publik juga menilai kredibilitas struktur partai. Jika wajahnya otokratis dan elitis, Jokowi bisa dianggap tidak belajar dari pengalaman masa lalu. Ia akan tampak bukan sebagai reformis, tapi sebagai pemimpin lama yang mencari kendaraan baru untuk tetap bertahan di orbit politik.
Di sisi lain, Golkar bisa menjadi opsi yang lebih rasional. Partai tua ini punya mesin politik yang matang, jaringan kuat, dan tingkat elektabilitas yang stabil. Jika Jokowi ingin tetap berperan sebagai kingmaker atau patron politik, Golkar adalah kendaraan yang jauh lebih siap. Ia bisa masuk tanpa perlu membangun dari nol, dan lebih aman secara elektoral. Sementara PSI, meski memberi ruang lebih luas, tapi jalannya terjal dan belum pasti.
PSI mungkin masih punya peluang, tapi harus melakukan reformasi struktural serius. Jika benar ingin meniru partai-partai progresif Eropa, maka logika otokrasi dalam Dewan Pembina harus dihapus. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi partai kecil dengan mimpi besar yang terus kandas karena kontradiksi internal.
Dan untuk Jokowi, pilihan bergabung ke PSI bukan soal selera atau kedekatan keluarga, tapi soal kalkulasi politik yang cermat. Jika ingin mewariskan legacy yang kuat, ia harus bertanya: apakah PSI adalah kapal yang bisa berlayar jauh, atau hanya perahu kecil yang terus terombang-ambing di pinggiran kekuasaan?
Cilukba, PSI! Kini kamu tampak. Tapi mampukah bertahan di panggung besar demokrasi, atau justru akan kembali menghilang sebelum sempat bersinar? (S13)