Dari smartwatch hingga kecerdasan buatan, teknologi kini digunakan untuk menipu dalam ruang ujian. Ujian bukan lagi soal belajar, tapi ajang unjuk kecanggihan kecurangan.
“Homo homini lupus est” – Thomas Hobbes
Kenny menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut, membaca berita tentang terungkapnya praktik perjokian dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Ia terkejut mengetahui bahwa kasus ini melibatkan sindikat yang terorganisir, bahkan diduga melibatkan lembaga bimbingan belajar di Medan yang menjanjikan kelulusan dengan jaminan uang kembali.
Berita tersebut juga mengungkap bahwa para peserta joki dibekali alat komunikasi canggih yang disembunyikan di tubuh mereka, seperti di kerudung, untuk memotret soal ujian. Kenny merasa prihatin, menyadari bahwa tekanan untuk masuk ke jurusan favorit telah mendorong sebagian orang mencari jalan pintas yang tidak etis.
Di sisi lain, Kenny membaca bahwa berbagai universitas telah meningkatkan pengawasan untuk mencegah praktik serupa. Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, misalnya, menerapkan pemeriksaan ketat termasuk penggunaan metal detector dan verifikasi identitas peserta secara menyeluruh.
Namun, yang paling mengejutkan bagi Kenny adalah kabar tentang peserta SIMAK UI 2024 yang diduga menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengerjakan soal ujian. Bahkan, beredar tangkapan layar yang menunjukkan wajah peserta, lengkap dengan nama dan soal ujian, di laman studyx.ai.
Kenny merenung, mengapa kecurangan dalam ujian masih bisa terjadi meski pengawasan telah diperketat? Apakah sistem seleksi yang ada saat ini memberikan tekanan berlebihan sehingga mendorong individu untuk mencari jalan pintas?
Mengapa kecurangan-kecurangan dalam tes bisa terjadi? Mengapa ini perlu jadi pembelajaran bagi pemerintah dan pelaksana tes ke depannya?
Hobbesian at Its Best?
Kenny duduk di balkon rumahnya sambil menyeruput kopi, matanya masih terpaku pada berita tentang praktik perjokian di UTBK SNBT. Ia terdiam lama, mencerna bahwa kecurangan ini bukan sekadar pelanggaran aturan, tapi cerminan dari watak manusia saat dihadapkan pada tekanan dan persaingan.
Dalam benaknya, Kenny teringat pada filosofi Thomas Hobbes yang menyebut bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya—homo homini lupus. Ketika sistem tidak lagi memberi ruang keadilan, sebagian orang memilih bertarung dengan segala cara, bahkan dengan melanggar hukum.
Para pelaku perjokian memanfaatkan celah, teknologi, bahkan kecerdasan buatan untuk mengelabui sistem seleksi. Kenny membaca bahwa wajah peserta bahkan bisa dimanipulasi menggunakan AI untuk mencetak kartu tanda peserta yang tampak sah, padahal bukan wajah mereka yang sebenarnya.
Kenny semakin yakin bahwa dalam situasi kompetitif seperti UTBK, manusia bisa berubah menjadi predator yang siap menyingkirkan siapa pun demi bertahan. Filosofi Hobbes menjadi hidup ketika ketakutan gagal, tekanan sosial, dan tuntutan orang tua mendorong seseorang meninggalkan moralitas.
Namun Kenny juga berpikir, apakah semua ini salah peserta semata, atau justru karena sistem pendidikan dan seleksi yang terlalu kaku dan menuntut hasil instan? Jika yang dikejar hanya skor dan status, maka nilai kejujuran tak lagi jadi prioritas.
Kenny menutup berita dan menatap langit sore yang mulai gelap. Ia bertanya-tanya, mengapa kecurangan tetap terjadi meski pengetatan pengawasan telah dilakukan? Pembelajaran apa yang bisa diambil?
View this post on Instagram
The Real Winner: Teknologi?
Kenny duduk di perpustakaan kampusnya, membuka laptop sambil membaca berbagai artikel tentang kecurangan dalam UTBK SNBT yang kini makin canggih. Ia terkejut mengetahui bahwa ujian kini bukan hanya ajang akademik, tapi juga jadi medan eksperimen bagi teknologi-teknologi baru.
Dulu, perjokian hanya sebatas identitas ganda atau masuk dengan bantuan panitia nakal. Kini, para pelaku memanfaatkan smartwatch, kamera mikro, hingga earpiece bluetooth yang nyaris tak terlihat oleh pengawas.
Kenny membaca bagaimana para joki bisa berkomunikasi secara real-time dengan tim di luar ruang ujian lewat koneksi internet tersembunyi. Bahkan ada sistem remote desktop yang memungkinkan seseorang di luar mengerjakan soal langsung melalui perangkat peserta.
Yang lebih mencengangkan bagi Kenny adalah penggunaan kecerdasan buatan, seperti StudyX.ai, yang mampu memindai foto soal dan langsung memberikan jawaban dalam hitungan detik. Foto-foto peserta bahkan bisa dipalsukan dengan teknologi deepfake agar joki bisa lolos pemeriksaan kartu ujian.
Ujian pun berubah menjadi semacam testing ground—tempat di mana teknologi penyamaran, komunikasi tersembunyi, dan AI diaplikasikan secara nyata. Kenny menyadari bahwa dalam ruang ujian, inovasi teknologi tak hanya digunakan untuk belajar, tapi juga untuk menipu sistem.
Fenomena ini membuat Kenny berpikir ulang tentang makna integritas di era digital. Kecanggihan teknologi tak selalu membawa kebaikan jika tidak dibarengi dengan nilai-nilai moral yang kuat.
Ujian seharusnya jadi ruang pengujian pengetahuan, bukan keahlian menipu. Kenny menyimpulkan bahwa tanpa etika, teknologi justru memperbesar peluang kecurangan—dan itu ancaman serius bagi masa depan dunia pendidikan. (A43)