Dengarkan artikel ini:
Nama Dedi Mulyadi, Sri Mulyani dan Joko “Mulyono” Widodo jadi penghias utama pemberitaan nasional dalam beberapa waktu terakhir. Ketiganya menguasai narasi diskusi isu di masyarakat: Dedi dengan kebijakan-kebijakan kontroversialnya di Jawa Barat, Sri Mulyani akibat kebijakan ekonomi dan efisiensi, serta Jokowi dengan berbagai polemik ijazah dan warisan program yang kini terus dikritik.
Di jagat politik Indonesia yang tak pernah kehabisan drama, tiga nama tengah naik panggung dan mencuri perhatian publik. Mereka bukan bintang baru. Tapi narasi tentang mereka terus diputar, diperbesar, dipelintir, dan disorot dalam beragam tajuk utama. Mereka adalah Dedi Mulyadi, Sri Mulyani, dan Joko Widodo—atau dalam nama kecilnya yang mulai kembali diangkat ke permukaan: Mulyono.
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, muncul dengan gaya politik yang nyeleneh tapi membumi. Ia mengundang decak kagum dan geleng kepala sekaligus. Dari wacana membawa anak-anak nakal ke barak militer hingga gagasan jam malam bagi pelajar, Dedi menjadi magnet pemberitaan yang ideal. Media tak perlu repot-repot mencari sensasi. Dedi menyediakannya dalam bentuk narasi yang bisa dikonsumsi publik.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, adalah tokoh kedua dalam trilogi ini. Di tengah gejolak ekonomi yang penuh ketidakpastian, namanya terus bergema. Pemberitaan seputar PHK massal, tekanan defisit fiskal, sektor pajak dan bea cukai yang babak belur, sampai urusan remeh-temeh seperti mobil dinas eselon yang bikin rakyat mendecak—semuanya menjadikan Sri Mulyani sasaran utama narasi krisis dan efisiensi. Ia seperti juru kunci anggaran yang selalu disorot apakah memilih menyelamatkan negara atau sekadar menjaga angka.
Dan tentu saja, yang terakhir adalah Joko Widodo alias Mulyono. Meski sudah bukan presiden secara de jure, namun de facto pengaruhnya belum pudar. Narasi soal Jokowi muncul hampir tiap hari. Mulai dari polemik ijazah yang kembali diungkit, kontroversi putranya Gibran sebagai Wapres muda yang didesak mundur, desakan agar Jokowi juga mundur dari panggung politik, hingga sorotan terhadap para loyalisnya yang kini digempur kasus hukum. Mulyono adalah semacam hantu politik yang masih berjalan, memengaruhi, dan membentuk panggung.
Menariknya, ketiganya memiliki satu kesamaan: mereka bukan hanya tokoh, tapi juga narasi. Mereka bukan sekadar objek pemberitaan yang kebetulan namanya agak mirip-mirip, tapi juga arsitek yang sadar bahwa membentuk persepsi publik adalah bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lalu apa yang bisa kita maknai dari fenomena ini?
Politik sebagai Panggung, Narasi sebagai Senjata
Untuk memahami mengapa Dedi Mulyadi, Sri Mulyani, dan Joko “Mulyono” Widodo bisa menguasai teater politik hari ini, kita perlu menyelami beberapa teori penting dalam ilmu komunikasi dan politik. Salah satunya adalah teori Agenda Setting yang dicetuskan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Dalam studi klasik mereka terhadap pemilu Amerika Serikat, McCombs dan Shaw menemukan bahwa media bisa jadi penentu apa yang dipikirkan publik. Artinya, dengan terus memunculkan Mulyono, Mulyani, dan Mulyadi dalam berita-berita utama, media turut mengarahkan fokus publik ke isu-isu yang terkait dengan mereka. Ini bukan kebetulan. Ini adalah desain.
Lalu ada teori Framing dari Erving Goffman. Goffman menyatakan bahwa setiap peristiwa yang dikabarkan media tak pernah bebas nilai. Ada bingkai—atau frame—yang dipilih, disusun, dan disampaikan kepada publik.
Dedi Mulyadi, misalnya, diframing sebagai pemimpin dengan gaya “militer sipil” yang menyasar perilaku remaja. Sri Mulyani diframing sebagai teknokrat berdarah dingin yang terjebak dalam dilema anggaran dan kebijakan populis. Sedangkan Jokowi alias Mulyono diframing sebagai sosok abu-abu: antara negarawan dan man behind the curtain yang mengatur segala hal dari balik layar.
Kemudian, teori ketiga yang relevan adalah konsep Spectacle dari Guy Debord. Dalam bukunya The Society of the Spectacle, Debord menjelaskan bagaimana dalam masyarakat modern, kenyataan tergantikan oleh representasi. Realitas politik berubah menjadi tontonan. Sosok-sosok seperti Dedi, Mulyani, dan Mulyono menjadi semacam aktor dalam drama yang terus diproduksi oleh media dan dikonsumsi publik. Mereka sadar kamera. Sadar momentum. Dan lebih penting, sadar bahwa membentuk persepsi bisa jauh lebih penting daripada menjalankan substansi kebijakan.
Dengan tiga lensa ini, kita bisa melihat betapa ketiganya tidak sekadar jadi bagian dari berita. Mereka adalah arsitek dari drama itu sendiri. Bahkan saat diserang, mereka tetap menang karena narasi yang diciptakan memberi mereka ruang untuk terus relevan.
Politik dalam Bayang-Bayang 3M
Lantas apa makna dari semua ini? Mengapa penting mencermati bagaimana Dedi Mulyadi, Sri Mulyani, dan Joko “Mulyono” Widodo memonopoli narasi politik nasional?
Jawabannya adalah karena narasi hari ini adalah kekuasaan itu sendiri. Politik bukan lagi soal struktur formal seperti partai atau jabatan. Politik adalah kemampuan menguasai cerita. Mereka yang mengontrol cerita, mengontrol persepsi. Dan mereka yang mengontrol persepsi, pada akhirnya mengontrol legitimasi.
Mulyono mungkin tidak lagi duduk di kursi presiden, tapi ia masih hidup di dalam kepala banyak orang. Ia masih muncul di layar berita, dalam meme, dalam wacana politik harian. Dan selama itu terjadi, ia masih memegang sebagian peta kekuasaan.
Sri Mulyani, meski banyak dikritik, tetap menjadi simbol kredibilitas fiskal. Ia adalah benteng teknokrasi di tengah badai politik populis. Sementara Dedi Mulyadi, dengan segala kontroversinya, sedang membangun personal brand yang kuat. Ini bisa saja menjadi salah satu batu loncatan di 2029, atau bahkan membentuk poros baru politik lokal dan nasional.
Narasi adalah medan tempur. Ketika narasi tentang Sri Mulyani yang menyudutkannya sebagai sosok utama di balik isu ekonomi menyebar, maka itu bukan hanya memengaruhi kredibilitas Kemenkeu, tapi juga legitimasi kebijakan fiskal.
Sementara ketika Jokowi diserang lewat narasi ijazah dan Gibran, itu bukan sekadar serangan personal, tapi pertarungan tentang arah politik Indonesia pasca 2024. Sedangkan ketika Dedi Mulyadi dimunculkan sebagai pendekar ketertiban anak-anak nakal, itu bukan hanya isu remaja, tapi pesan terselubung tentang pendekatan baru terhadap masyarakat.
Maka dari itu, kita tidak bisa hanya membaca media sebagai penyampai berita. Media adalah medan pertempuran. Dan 3M—Mulyadi, Mulyono, Mulyani—adalah para jenderalnya.
Pada akhirnya ini bukan tentang siapa yang benar atau salah. Tapi tentang kesadaran bahwa demokrasi hari ini bukan hanya tentang suara, tapi tentang narasi. Mereka yang bisa menciptakan drama, membingkai isu, dan menguasai panggung, pada akhirnya yang akan bertahan. Dalam dunia politik modern, panggung adalah segalanya. Dan 3M adalah aktor utama dari teater besar bernama Republik Indonesia hari ini.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)