Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya magnet alutsista baru yang bisa disebut: The Rojalis Block?
Untuk pertama kalinya sejak era Orde Baru, lanskap industri pertahanan Indonesia menunjukkan pergeseran arah yang cukup mencolok. Jika sebelumnya Indonesia cenderung bersandar pada dua poros besar kekuatan militer dunia—Amerika Serikat dan Rusia—kini muncul dinamika baru yang memperlihatkan pendekatan yang lebih terdiversifikasi dan bahkan cenderung meninggalkan pola lama. Tanda-tandanya terlihat dari kerja sama pertahanan yang makin erat dengan tiga negara utama: Prancis, Turki, dan Italia.
Kerja sama tersebut tidak hanya bersifat formal dalam bentuk MoU atau diplomasi bilateral, melainkan mulai terwujud dalam bentuk konkret: pembelian jet tempur Dassault Rafale dari Prancis, kerja sama produksi drone dan kendaraan lapis baja dengan Turki, serta komunikasi intensif dengan sektor pertahanan Italia, termasuk Leonardo S.p.A. dan Fincantieri. Hal ini menandakan bahwa Indonesia sedang membangun pilar baru dalam pendekatan pertahanannya—tidak lagi hanya sebagai konsumen pasif, tetapi sebagai mitra aktif dalam ekosistem alutsista global.
Fenomena ini menarik karena belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala yang sekomprehensif ini. Di masa lalu, pembelian dan pengembangan senjata sering kali tersandera oleh tarik-menarik geopolitik global, terutama dalam konteks Perang Dingin. Kini, Indonesia tampak mencari jalan tengah: tidak terjebak pada satu kutub, melainkan membangun kerja sama yang lebih pragmatis dan mungkin lebih stabil dalam jangka panjang.
Namun, perubahan ini tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa Indonesia kini tampak lebih condong ke arah Prancis, Turki, dan Italia? Apa yang melatarbelakangi perubahan orientasi ini, dan apakah kita sedang menyaksikan kelahiran poros pertahanan baru?

Terbentuklah, ROJALIS?
Pergeseran arah kerja sama pertahanan Indonesia ke negara-negara seperti Prancis, Turki, dan Italia menandai babak baru dalam strategi alutsista nasional. Namun, transformasi ini tentu tidak terjadi dalam ruang hampa. Terdapat sejumlah dinamika yang menjelaskan mengapa Indonesia kini tampak lebih memilih menjalin kedekatan strategis dengan negara-negara tersebut, dibandingkan hanya mengandalkan mitra tradisional seperti Amerika Serikat atau Rusia.
Salah satu faktor utamanya adalah tingkat “politikalisasi” dalam kerja sama pertahanan dengan kekuatan besar dunia. Relasi dengan Amerika Serikat, misalnya, memang memberikan akses terhadap teknologi militer yang sangat canggih. Namun, dalam banyak kasus, kerja sama ini memerlukan prasyarat hubungan politik yang sangat kuat dan bersifat jangka panjang.
Beberapa negara bahkan harus menjalin hubungan aliansi atau komitmen pertahanan strategis untuk mendapat akses penuh terhadap teknologi militer dari Washington. Sementara itu, hubungan pertahanan dengan Rusia, meski secara historis cukup solid, dalam beberapa tahun terakhir menjadi semakin kompleks, terutama karena adanya sanksi internasional dan regulasi seperti Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA), yang berpotensi mempengaruhi stabilitas kerja sama teknis maupun finansial.
Sebaliknya, pendekatan Prancis, Turki, dan Italia terhadap kerja sama pertahanan cenderung lebih pragmatis dan fleksibel. Ketiga negara ini umumnya tidak mensyaratkan afiliasi ideologis atau aliansi politik formal dalam menjalin hubungan pertahanan. Model kerja sama yang ditawarkan juga lebih berorientasi pada peluang industri: joint production, transfer teknologi, serta dukungan pada penguatan kapasitas dalam negeri. Ini selaras dengan visi Indonesia untuk membangun industri pertahanan nasional yang lebih mandiri dan mampu bersaing secara global.
Namun, faktor lain yang tak kalah penting adalah kemungkinan adanya vakum dalam pasar alutsista global. Di era Orde Baru, pasar pertahanan Indonesia menjadi arena persaingan pengaruh antara dua kekuatan utama dunia—Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketergantungan Indonesia pada alutsista dari kedua negara itu tidak hanya mencerminkan kebutuhan teknis, tetapi juga kepentingan geopolitik di tengah Perang Dingin. Kini, ketika tensi bipolaritas dunia telah menurun dan Indonesia semakin aktif menjaga posisi strategis yang otonom, maka kebutuhan akan alternatif mitra yang tidak membebani secara geopolitik menjadi semakin relevan.
Prancis, Turki, dan Italia saat ini sedang berada dalam fase ekspansi industri pertahanan mereka. Ketiganya juga cukup aktif dalam membuka pasar-pasar baru di luar lingkup tradisional NATO atau aliansi regional lainnya. Indonesia, dengan posisinya sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara dan sebagai negara non-blok yang aktif, menjadi mitra yang potensial untuk kolaborasi jangka panjang.
Melalui kerja sama yang makin intensif ini, terbentuklah pola kemitraan yang menarik. Meskipun tidak bersifat resmi, konfigurasi ini mulai menyerupai poros pertahanan baru yang berbasis pada prinsip-prinsip keterbukaan, transfer teknologi, dan kesetaraan strategis. Maka, wajar bila muncul istilah semi-konseptual yang menggambarkan poros ini sebagai ROJALIS—akronim dari Roma, Jakarta, Istanbul, dan Paris.
ROJALIS, sejauh ini, tentu belum memiliki bentuk kelembagaan. Namun, arah relasi pertahanan yang terbangun antara keempat kota strategis ini memperlihatkan kecenderungan baru dalam lanskap geopolitik pertahanan dunia—di mana kerja sama lintas regional dan berbasis kepentingan industri bersama mulai mengisi ruang yang sebelumnya didominasi oleh kepentingan ideologis dan aliansi blok.

Menimbang Poros dalam Dunia yang Cair
Kita hidup dalam dunia yang semakin multipolar dan tidak sepenuhnya stabil. Dalam konteks ini, pergeseran kerja sama pertahanan Indonesia ke arah Prancis, Turki, dan Italia bisa dibaca sebagai bentuk adaptasi terhadap lanskap geopolitik global yang terus berubah. Alih-alih terjebak dalam dikotomi blok Barat dan Timur, Indonesia tampaknya tengah membangun poros strategis sendiri—lebih cair, lebih pragmatis, dan mungkin lebih fleksibel terhadap dinamika baru.
Namun, istilah ROJALIS tentuu bukanlah pernyataan resmi atau bentuk blok politik tertentu. Ia lebih merupakan sebuah asumsi, upaya memahami dinamika baru dalam hubungan pertahanan global yang menyangkut Indonesia. Indikasi-indikasi kerja sama yang terjadi saat ini belum tentu akan mengarah pada institusionalisasi, tetapi cukup untuk memberi sinyal bahwa arah kebijakan pertahanan Indonesia mengalami pergeseran.
Dalam filsafat geopolitik, negara tidak pernah hanya menjadi objek, tetapi juga aktor yang terus mencari ruang otonomi dan relevansi dalam sistem internasional. Dalam hal ini, Indonesia tampaknya mencoba memainkan peran tersebut—menghindari ketergantungan tunggal, membangun kapabilitas dalam negeri, dan merancang kemitraan yang lebih seimbang.
Apakah ROJALIS akan benar-benar terbentuk sebagai blok pertahanan baru? Ataukah ini hanya fase sementara dari diplomasi industri militer yang bersifat transaksional? Kita belum tahu. Namun satu hal yang pasti: Indonesia sedang merancang ulang peta relasinya di sektor pertahanan, dan dunia tampaknya sedang menyimak. (D74)