Dengarkan artikel ini:
Mahfud MD menyebutkan bahwa kerusakan yang terjadi di Indonesia hari-hari ini bukan sekedar kekacauan di level politik semata, tetapi sudah jadi hal yang sistemik, mendasar, dan menyangkut moral. Persoalan hukum dan demokrasi dianggap merusak tatanan kenegaraan Indonesia.
Di tengah panggung politik yang semakin riuh oleh transaksi kekuasaan dan kompromi kepentingan, satu suara muncul sebagai pengingat keras: Prof. Mahfud MD. Bukan sebagai kandidat, bukan pula sebagai elite partai. Tapi sebagai negarawan yang, setelah menjelajahi lembaga-lembaga tertinggi republik ini—MK, Kemenko Polhukam, hingga cawapres di Pemilu lalu—berani bersuara lantang tentang kerusakan sistemik yang tak lagi bisa ditutupi.
“Apakah kita masih merasa aman?” tanya Mahfud, seperti dikutip dari Indonesian National Herald.
Sebuah pertanyaan sederhana, tapi jawabannya sangat kompleks. Aman dalam arti apa? Kalau sekadar tidak terjadi kerusuhan di jalanan, mungkin kita masih bisa menjawab: iya. Tapi kalau rasa aman itu diukur dari tegaknya hukum, berfungsinya demokrasi, dan terpenuhinya rasa keadilan, maka Indonesia kini berada di atas fondasi yang rapuh dan nyaris runtuh.
Mahfud menyebut ini bukan krisis politik biasa. Bukan semata-mata soal elite bertengkar atau koalisi bubar. Ini adalah krisis moral dan kehancuran sistem. Hukum yang tak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat tawar-menawar politik.
Demokrasi yang dikendalikan bukan oleh suara rakyat, tapi oleh suara-suara yang dibisikkan dalam ruang tertutup. Pelayanan publik yang berubah dari panggilan moral menjadi peluang pribadi. Semua ini bukan sekadar penyimpangan. Ini adalah erosi struktural yang berjalan sistematis—dan sistemik.
Kekhawatiran Mahfud diamini oleh tokoh-tokoh lain. Dr. Ryaas Rasyid, tokoh penting desentralisasi pasca-Reformasi, bahkan mengakui: “Dalam sepuluh tahun terakhir, semua yang kita bangun di era Reformasi ambruk. Moralitas hancur. Etika hilang. Demokrasi rusak. Hukum bisa dibeli.” Pernyataan itu bukan sekadar opini, melainkan otopsi terhadap sistem yang dulu ia bantu bangun.
Demikianpun dengan Prof. Ikhrar Nusa Bhakti, pengamat politik senior, yang menyebut: “Kerusakan ini tidak bisa diperbaiki bahkan dalam lima masa jabatan presiden.” Artinya, 25 tahun ke depan kita hanya akan mengurusi puing-puing. Bukan membangun ulang, tapi membersihkan reruntuhan.
Mahfud menyadari bahwa ia tidak lagi punya jabatan struktural. Tapi ia tetap memilih untuk bersuara. “Saya bukan Ketua MK, bukan Ketua DPR, bukan Ketua Partai. Tapi saya punya suara. Dan saya akan bicara.” Ini bukan keberanian politik, ini keberanian moral. Suatu kualitas yang makin langka di republik yang sibuk menghitung kursi dan kekuasaan.
Ia bicara tentang integritas—bukan sebagai konsep abstrak, tapi praktik nyata. Indonesia kini berada di titik balik. Bukan karena kekurangan undang-undang, atau miskin ahli. Tapi karena kekurangan keberanian untuk melakukan hal yang benar saat tak ada yang melihat. Krisis ini bukan hanya institusional, tapi juga spiritual.
Dan jika kita terus mengabaikan suara-suara seperti Mahfud MD, bukan hanya kepercayaan publik yang hilang. Tapi juga harapan. Pertanyaannya, apakah terlambat untuk memperbaikinya?
Indonesia Sudah Rusak?
Apa yang disebut Mahfud MD bukan sekadar pernyataan emosional. Ia adalah diagnosis tajam terhadap sistem yang mengalami pembusukan dari dalam. Untuk memahami lebih jauh, kita perlu menilik kembali teori-teori besar yang pernah menjelaskan kehancuran sistemik dalam politik dan hukum.
Pertama, kita bisa mengacu pada Michel Foucault dan konsepnya tentang Power and Knowledge. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja secara represif seperti di era feodal, tapi bekerja melalui normalisasi: menciptakan kebenaran sendiri, membentuk pengetahuan sendiri, dan mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan.
Dalam konteks Indonesia, ini berarti hukum bisa direkayasa agar tampak adil, sementara sejatinya tunduk pada kekuasaan. Hukum menjadi instrumen bukan untuk menertibkan kekuasaan, tapi untuk melayani kepentingan elite yang mengendalikan narasi.
Kedua, kita bisa belajar dari Antonio Gramsci, terutama konsepnya tentang hegemonic crisis. Menurut Gramsci, krisis terjadi ketika kelas penguasa tak lagi mampu meyakinkan rakyat bahwa mereka layak memimpin. Mereka kehilangan consent, sehingga terpaksa mempertahankan kendali lewat coercion.
Ini menjelaskan mengapa demokrasi kita tetap menggelar pemilu, tapi rakyat makin apatis. Karena hasilnya sudah bisa ditebak. Karena “wakil rakyat” tak lagi mewakili suara rakyat, tapi hanya memperpanjang nafas kekuasaan yang status quo.
Ketiga, kita bisa melihat teori dari Francis Fukuyama soal political decay. Dalam bukunya Political Order and Political Decay, Fukuyama menjelaskan bahwa sistem politik bisa membusuk bukan karena revolusi, tapi karena stagnasi. Institusi yang dulu progresif bisa menjadi disfungsi saat birokrasi kehilangan kapabilitas dan elite hanya sibuk mempertahankan jaringan patronase.
Inilah yang terjadi di Indonesia: lembaga tinggi negara menjadi ruang tawar-menawar. Hukum bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan.
Ketiga tokoh ini—Foucault, Gramsci, dan Fukuyama—memberikan kita kerangka untuk memahami bahwa yang dihadapi Mahfud bukan semata-mata soal aktor politik yang salah urus. Tapi soal sistem yang membiarkan ketidakadilan menjadi norma. Sistem yang terlalu sibuk melayani elite sampai lupa pada rakyat.
Jalan Terjal Pemulihan dan Tantangan Prabowo
Mahfud MD tidak sedang meramal kiamat. Ia sedang memberikan wake-up call terakhir sebelum semuanya terlambat. Karena menurutnya, jika kerusakan ini dibiarkan, maka kita akan mengalami kehancuran sistemik yang tak bisa dipulihkan bahkan dalam 25 tahun ke depan. Pertanyaannya: apakah pemerintahan Prabowo siap mendengar?
Sebagai presiden terpilih yang membawa janji besar—mulai dari Indonesia Emas 2045 hingga kebangkitan ekonomi—Prabowo akan menghadapi satu dilema besar: melanjutkan sistem yang permisif atau melakukan koreksi mendasar. Jalan pertama mungkin lebih mudah. Mengakomodasi semua elite, merawat status quo, dan menjaga stabilitas jangka pendek. Tapi jalan itu hanya akan memperpanjang napas sistem rusak yang sedang runtuh pelan-pelan.
Jalan kedua adalah jalan Mahfud: membenahi akar persoalan. Ini berarti menata ulang lembaga hukum, membersihkan lembaga negara dari loyalis transaksional, dan mengembalikan pelayanan publik sebagai panggilan moral, bukan ruang bisnis politik.
Namun, koreksi sistemik semacam itu butuh keberanian yang luar biasa. Karena melawan sistem yang sudah terbiasa rusak berarti melawan kenyamanan banyak orang. Melawan invisible hands yang mengendalikan politik dari balik layar. Tapi jika Prabowo ingin dikenang bukan sebagai pemelihara reruntuhan, tapi sebagai pembaharu sejarah, maka ia harus mengambil risiko itu.
Pemerintahannya bisa memulai dengan tiga langkah penting: memperkuat independensi lembaga penegak hukum, menolak kompromi dalam pelanggaran etika pejabat, dan membuka ruang partisipasi rakyat yang lebih luas. Reformasi birokrasi bukan lagi jargon teknokratik, tapi prasyarat untuk menyelamatkan republik.
Suara Mahfud bukan satu-satunya. Tapi itu suara yang jujur. Dan di zaman di mana semua orang sibuk membangun pencitraan, kejujuran adalah komoditas paling langka.
Indonesia tidak akan runtuh dalam satu malam. Tapi ia bisa runtuh dalam diam, ketika suara nurani dibiarkan tenggelam di tengah hingar bingar kekuasaan.
Dan mungkin, hanya mungkin, sejarah akan mencatat: bahwa pada suatu masa, seorang Mahfud MD pernah mencoba memperingatkan kita. Pertanyaannya: apakah kita mendengar? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)