Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI
Anies Baswedan kembali diisukan berpotensi menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mungkinkah Anies tertarik isi posisi ini?
Menjelang Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang direncanakan berlangsung pada Agustus–September 2025, peta politik internal partai tersebut mulai bergolak. Sejumlah nama mulai disebut-sebut berpeluang mengisi posisi Ketua Umum. Salah satu nama paling mencuri perhatian adalah Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus calon presiden dengan perolehan suara terbanyak kedua di Pilpres 2024.
Dukungan terhadap Anies datang dari berbagai simpul internal PPP, seperti Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) DKI Jakarta. Para pendukungnya menilai Anies punya modal elektoral kuat dan figur pemersatu yang mampu membangkitkan kembali kejayaan partai hijau legendaris ini. Bahkan, pengamat politik seperti Agung Baskoro menyebut bahwa sinergi antara figur Anies dan mesin PPP bisa menjadi energi elektoral baru yang menjanjikan bagi partai yang gagal lolos ke DPR pada Pemilu 2024 lalu.
Dengan kata lain, PPP bisa sangat diuntungkan jika berhasil “meminang” Anies sebagai ketua umumnya. Tapi di tengah antusiasme itu, muncul satu pertanyaan kunci: kalau PPP sangat mungkin untung besar dengan Anies sebagai Ketum, apakah hal yang sama berlaku bagi Anies?
Apakah posisi ini benar-benar menguntungkan baginya secara politik, atau justru bisa menjadi beban yang mematikan fleksibilitas politiknya?

Anies Malah Terkekang?
Daya tarik Anies Baswedan sebagai figur politik memang tak terbantahkan. Dalam lanskap politik nasional, ia telah membangun citra sebagai pemimpin intelektual, orator ulung, dan politisi lintas partai. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, posisi sebagai Ketua Umum PPP justru bisa sangat membatasi karakteristik politik yang selama ini membuat Anies berhasil bertahan—bahkan unggul—dalam arena politik yang cair dan kompetitif.
Pertama, posisi ketua umum sebuah partai politik, terutama partai yang tengah berjuang lolos ke DPR, menuntut loyalitas struktural dan ideologis yang tinggi. Ini sangat bertolak belakang dengan gaya politik Anies yang dikenal fleksibel dan adaptif. Selama ini, Anies mampu membangun koalisi cair lintas ideologi—dari PKS, NasDem, hingga PKB—tanpa benar-benar “terikat” pada satu gerbong partai. Menjadi Ketum PPP secara otomatis akan menutup banyak pintu manuver strategis serupa di masa depan, karena publik dan elite akan memandang setiap langkah Anies dari kacamata PPP, bukan sebagai figur independen.
Kedua, bila Anies menerima posisi Ketum PPP, ia akan dibebani tanggung jawab berat untuk mengangkat partai itu kembali ke DPR. Ini bukan tugas kecil. PPP gagal lolos parliamentary threshold 4% pada Pemilu 2024, yang menunjukkan bahwa partai ini sedang mengalami krisis kepercayaan publik, khususnya di kalangan pemilih muda dan pemilih Islam moderat. Anies akan membutuhkan energi politik besar untuk mereposisi brand partai, membangun jejaring akar rumput, hingga mengkonsolidasikan infrastruktur partai yang sudah melemah. Singkat kata, ini pekerjaan rumah berat yang bisa menyita waktu dan menggerus fokus politiknya untuk 2029.
Ketiga, bila dilihat dari perspektif teori rasionalitas dalam politik—khususnya teori rational choice theory seperti dikembangkan Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy—seorang politisi akan cenderung memilih langkah politik yang memberikan utility paling besar dengan cost paling kecil. Dalam hal ini, menjadi Ketum PPP bisa jadi memberikan platform politik, namun dengan biaya politik yang sangat tinggi: waktu, energi, dan reputasi. Sementara itu, keuntungan yang dijanjikan belum tentu sebanding, terutama jika partai tetap gagal bangkit.
Keempat, ada faktor persepsi publik. Anies selama ini berhasil membangun merek sebagai “pemimpin bangsa” yang melampaui sekat-sekat sektarian maupun identitas partai. Bergabung terlalu dalam dengan satu partai—terutama yang citranya stagnan—dapat mempersempit daya tarik elektoralnya secara nasional. Bila ia ingin tetap relevan di teater politik nasional, Anies perlu menjaga statusnya sebagai figur pemersatu, bukan pemimpin partai yang sedang berjuang dengan tantangan.
Dari keempat alasan ini, menjadi jelas bahwa secara rasional, bergabung sebagai Ketum PPP justru lebih banyak menghadirkan risiko ketimbang peluang bagi Anies. Bahkan bisa dibilang, itu adalah langkah kontraproduktif untuk ambisi politik jangka panjangnya.

Tapi, Bukankah Politik Itu Dinamis?
Meski berbagai pertimbangan rasional menunjukkan bahwa posisi Ketua Umum PPP bukanlah opsi paling strategis bagi Anies Baswedan, kita juga tak boleh melupakan sifat politik itu sendiri: dinamis dan penuh kejutan. Banyak manuver politik besar dalam sejarah Indonesia—dari Gus Dur hingga Jokowi—berawal dari kalkulasi tak terduga. Maka, bukan tak mungkin Anies membuat kejutan dengan menerima tawaran atau bergabung secara struktural dengan PPP.
Namun, langkah seperti itu tentu tidak akan diambil secara sembarangan. Anies adalah figur intelektual yang dikenal berhitung matang dalam setiap gerakan politiknya. Ia bukan politisi populis yang mudah terbawa euforia, tetapi seorang aktor politik yang berpikir strategis dan jangka panjang. Bila ia memutuskan untuk benar-benar masuk ke PPP, bisa dipastikan keputusan itu didasari perhitungan mendalam yang memberi keuntungan lebih besar dibanding risiko yang ada.
Masalahnya, hingga hari ini belum ada tanda-tanda konkret bahwa Anies tertarik menakhodai PPP. Ia bahkan belum secara terbuka mengonfirmasi minatnya terhadap partai tersebut, dan juru bicaranya pun menyebut Anies kini lebih fokus pada kegiatan sosial melalui wadah Aksi Bersama. Sikap ini semakin mempertegas kemungkinan bahwa Anies tengah menjaga jarak dari manuver politik yang dapat membatasi kebebasan strategisnya.
Sebagai penutup, kita bisa menyimpulkan bahwa meskipun PPP akan sangat diuntungkan bila dipimpin Anies, hal yang sama belum tentu berlaku sebaliknya. Posisi Ketum PPP bisa jadi lebih merupakan jebakan elektoral ketimbang batu loncatan politik. Namun, semua kemungkinan tetap terbuka. Yang pasti, apapun langkah Anies ke depan, ia hampir pasti akan memilih opsi yang paling rasional. (D74)