Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya?
Di tengah hiruk-pikuk politik nasional yang penuh manuver dan spekulasi menjelang Pilpres 2029, ada satu tokoh penting yang justru luput dari sorotan media arus utama: Surya Paloh. Padahal, sebagai pendiri dan ketua umum Partai NasDem, Paloh telah memainkan peran penting dalam dinamika kekuasaan Indonesia selama satu dekade terakhir.
Surya Paloh sejatinya bukan hanya pemilik media besar, tetapi juga arsitek strategi politik yang berhasil mengantarkan partainya masuk dalam jajaran lima besar di DPR RI. Dalam Pemilu 2024 lalu, NasDem bahkan menjadi motor pengusung utama Anies Baswedan, seorang figur oposisi yang cukup mampu bersaing dengan capres dari pihak petahana. Artinya, pengaruh politik Paloh tidak bisa dianggap remeh.
Namun, seperti halnya partai-partai besar lain yang dibangun oleh figur sentral, isu regenerasi kepemimpinan di tubuh NasDem mulai mengemuka. Usia Paloh yang kian menua menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang akan mewarisi tongkat komando partai.
Dalam diskursus ini, dua nama mencuat: Prananda Surya Paloh, anak kandung Surya Paloh sendiri yang telah lama aktif di internal partai, dan Anies Baswedan, figur eksternal yang memiliki kedekatan ideologis dan historis dengan NasDem. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing: Prananda menjanjikan kesinambungan dinasti dan stabilitas internal, sedangkan Anies membawa daya tarik elektoral yang luas di tingkat nasional.
Lantas, siapa yang paling cocok menjadi ketua umum Partai NasDem berikutnya? Apakah regenerasi akan berjalan dinastik seperti pola yang umum terjadi di Indonesia? Atau justru NasDem akan mengambil langkah berbeda dengan menyerahkan kepemimpinan kepada figur publik yang kuat dan berpengaruh?

Dinasti vs Daya Tarik Elektoral?
Untuk menjawab siapa yang lebih tepat menjadi pengganti Surya Paloh, kita perlu melihat dua kandidat potensial yang kini muncul ke permukaan: Prananda Surya Paloh dan Anies Baswedan. Keduanya memiliki profil yang sangat berbeda, baik dari sisi latar belakang, pengalaman politik, maupun citra publik yang melekat pada mereka.
Prananda Paloh adalah kader tulen NasDem. Sebagai anak biologis Surya Paloh, ia telah terlibat cukup lama dalam struktur internal partai, terutama melalui Garda Pemuda NasDem. Dalam konteks internal partai, Prananda relatif diterima oleh mayoritas struktur, dan dinilai mampu menjaga kesinambungan visi politik sang ayah. Ia juga memiliki keuntungan dari sisi “akses warisan”, dalam arti politik maupun jaringan bisnis dan media. Namun, tantangan terbesar Prananda adalah citra publiknya. Ia bukan figur yang dikenal luas oleh masyarakat. Elektabilitasnya rendah, dan belum pernah diuji dalam kancah kepemimpinan nasional. Ia lebih dikenal sebagai “putra mahkota” daripada tokoh politik independen.
Sebaliknya, Anies Baswedan adalah figur dengan tingkat pengenalan publik yang sangat tinggi. Ia telah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Gubernur DKI Jakarta, hingga calon presiden. Anies juga memiliki rekam jejak yang kuat dalam merancang dan memimpin kebijakan publik. Dalam konteks NasDem, Anies adalah sosok yang cukup dekat dengan Surya Paloh secara ideologis maupun emosional. Ia dianggap sebagai representasi dari nilai-nilai perubahan yang selama ini diusung oleh partai tersebut.
Namun, meskipun Anies memiliki daya tarik elektoral yang besar, posisinya di internal partai tidak sekuat Prananda. Ia bukan kader murni NasDem dan masuk ke dalam orbit partai lebih karena kebutuhan strategis menjelang Pilpres 2024. Jika ia langsung diangkat menjadi ketua umum, potensi resistensi dari elite dan kader lama cukup besar. Selain itu, penunjukan Anies bisa menimbulkan ketegangan antara faksi-faksi di dalam partai yang mungkin lebih memilih kesinambungan dan loyalitas dibanding popularitas.
Jadi, di satu sisi kita melihat Prananda sebagai simbol kontinuitas dan kontrol internal, sedangkan Anies merepresentasikan ekspansi politik dan daya saing nasional. Pilihan antara keduanya bukan sekadar soal siapa yang lebih populer, tapi juga menyangkut arah strategis NasDem pasca-Surya Paloh.
Lantas, apakah Partai Nasdem ingin tetap menjadi partai kader dengan struktur yang solid, atau bertransformasi menjadi kendaraan politik nasional yang lebih terbuka dan elektoral?

Pilihan Realistis Paloh?
Jika menilik pengalaman berbagai partai besar di Indonesia, pola regenerasi kepemimpinan sering kali cenderung dinastik. Hal ini bukan semata soal darah atau hubungan biologis, tetapi juga karena keturunan langsung dianggap lebih mampu menjaga stabilitas internal dan menghindari fragmentasi partai.
Dalam konteks ini, Prananda Paloh memiliki posisi strategis sebagai figur yang bisa diterima oleh semua faksi di dalam NasDem. Ia mungkin tidak karismatik di mata publik, tetapi loyalitas dan kesinambungan adalah aset penting dalam menjaga kelangsungan organisasi politik.
Namun, bukan berarti Anies Baswedan harus ditinggalkan dari percaturan kekuasaan NasDem. Justru, jika NasDem ingin tetap relevan secara nasional, mereka memerlukan wajah publik yang kuat dan memiliki daya tawar politik lintas partai. Dalam skenario ini, penempatan Anies sebagai Ketua Majelis Tinggi atau Ketua Dewan Penasihat akan menjadi solusi elegan. Ia tetap memegang peran strategis dalam menentukan arah politik partai, tanpa harus menabrak struktur internal yang sudah terbangun lama.
Model seperti ini memberikan keseimbangan antara stabilitas internal dan ekspansi eksternal. Prananda menjalankan peran administratif dan organisatoris, sementara Anies menjadi juru bicara ideologis dan simbol politik nasional partai. Kombinasi keduanya juga bisa memperkuat daya saing NasDem dalam pemilu mendatang, baik legislatif maupun eksekutif.
Akan tetapi, semua ini tentu masih dalam ranah analisis. Surya Paloh adalah figur yang penuh kejutan dan tidak selalu berjalan di jalur yang sudah diprediksi. Bisa jadi ia memiliki pertimbangan lain yang lebih kompleks.
Namun yang pasti, dinamika suksesi di tubuh NasDem akan menjadi salah satu babak politik paling menarik dalam beberapa tahun ke depan. Pilihan Paloh bukan hanya akan menentukan masa depan partai, tetapi juga konstelasi politik nasional menuju 2029. (D74)