Dengarkan artikel ini:
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya. Namun, ada sisi lain dari penulisan ulang sejarah ini yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kontroversial, misalnya soal tragedy 1965 dan 1998, yang tentu akan jadi selubung tipis dan sensitif.
Di sebuah negeri dengan sejarah panjang dan penuh gejolak, pertarungan paling senyap justru berlangsung di medan yang tampak paling tenang: buku-buku sejarah. Di sanalah narasi dibangun, disusun, dikaburkan, atau dilupakan.
Dari pembantaian 1965 hingga Reformasi 1998, dari peran Soekarno hingga para jenderal Orde Baru, sejarah Indonesia lebih sering menjadi arena tarik-menarik ideologi ketimbang ruang netral kebenaran.
Kini, dalam lanskap politik pasca-Pemilu 2024 yang mulai membentuk wajah baru kekuasaan, nama Fadli Zon kembali mencuat bukan hanya sebagai politisi Gerindra atau loyalis lama Prabowo Subianto, tetapi sebagai aktor kultural. Menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli ingin melakukan terobosan dalam penulisan sejarah. Ia mengusulkan proyek besar: menulis ulang sejarah Indonesia. Sebuah upaya yang jika dikelola dengan serius, berpotensi mengguncang fondasi naratif negeri ini.
Tentu saja, rencana Fadli Zon ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia muncul di tengah kelelahan publik atas narasi sejarah yang digerus kepentingan politik, dan kegagalan sistem pendidikan dalam menjadikan sejarah sebagai alat berpikir kritis.
Di satu sisi, narasi Orde Baru masih mendominasi wacana resmi. Di sisi lain, upaya revisi sejarah oleh akademisi progresif seringkali tidak memiliki akses pada kebijakan negara. Maka ketika seorang pejabat, apalagi yang dekat dengan kekuasaan, melemparkan niat menata ulang sejarah, itu bukan sekadar ambisi intelektual—itu pertaruhan ideologis.
Fadli Zon, yang memiliki rekam jejak panjang sebagai penggemar arsip, literatur, dan kajian sejarah, memosisikan dirinya bukan sebagai sejarawan teknis, tetapi sebagai pembuka pintu wacana. Ia pernah mengusulkan pembentukan badan sejarah nasional yang independen, serta mengkritik narasi-narasi yang ia anggap manipulatif. Namun, tak sedikit pula yang mencurigai: apakah upaya ini murni untuk pelurusan, ataukah justru jadi lembar lain dari versi sejarah ala kubu pemenang?
Sejarah Sebagai Pondasi Bangsa
Mengapa penulisan sejarah yang benar begitu penting bagi masa depan sebuah negara? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika proyek semacam milik Fadli Zon diluncurkan. Sebab, penulisan sejarah bukan hanya tentang masa lalu, melainkan tentang bagaimana suatu bangsa mengingat, memaknai, dan membentuk masa depannya.
Pertama, kita bisa melihat teori historical materialism dari Karl Marx. Marx menekankan bahwa sejarah adalah medan pertarungan kelas, dan narasi sejarah sering kali ditulis oleh kelas dominan untuk mempertahankan hegemoninya.
Dalam konteks Indonesia, ini bisa dilihat dari bagaimana narasi 1965 secara sistematis dipakai oleh Orde Baru untuk menyingkirkan lawan politiknya dan menjustifikasi kekuasaan militer. Jika sejarah tetap ditulis oleh mereka yang berkuasa, maka pembangunan bangsa akan selalu mengandung bias kepentingan dan bukan kepentingan bangsa itu sendiri. Fadli Zon sendiri telah menyebut bahwa sejarah terkait peristiwa 1965 tidak akan diganggu-gugat, yang berarti negara masih akan menggunakan versi sejarah yang telah ditulis dan dipakai saat ini.
Kedua, sejarawan Benedict Anderson dalam Imagined Communities menjelaskan bahwa bangsa bukanlah sesuatu yang “alami,” melainkan sesuatu yang dibayangkan melalui narasi bersama, termasuk sejarah. Artinya, sejarah adalah alat pembentuk identitas kolektif.
Jika sejarah ditulis secara sepihak atau penuh distorsi, maka imajinasi kebangsaan yang lahir pun menjadi cacat. Maka tak heran bila Indonesia kerap mengalami “krisis identitas”, karena sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak memberi ruang bagi kompleksitas.
Ketiga, kita dapat merujuk pada teori collective memory dari Maurice Halbwachs. Ia menyatakan bahwa memori kolektif bukanlah ingatan objektif, melainkan hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh konteks kekuasaan. Artinya, siapa yang berkuasa bisa mempengaruhi bagaimana suatu peristiwa dikenang atau dilupakan.
Dalam kasus Indonesia, banyak saksi sejarah yang terpinggirkan, dari korban tragedi 1965, korban penculikan 1998, hingga masyarakat adat dalam konflik agraria. Jika memori kolektif tak diberi ruang untuk pluralitas, maka pembangunan bangsa kehilangan kedalaman moral.
Dalam konteks ini, langkah Fadli Zon untuk menata ulang narasi sejarah Indonesia bisa menjadi peluang. Tapi juga sekaligus ancaman. Ia bisa membuka ruang baru bagi keadilan sejarah. Namun ia juga bisa memperkuat satu versi narasi yang lain—jika dilakukan secara sepihak.
Antara Narasi dan Kekuasaan
Pertanyaannya kemudian, bagaimana langkah Fadli Zon ini bisa dibaca dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto? Apakah ini proyek kultural semata, atau bagian dari rekayasa besar membentuk ulang imajinasi nasional dalam “Era Baru”?
Kita tahu bahwa Prabowo ingin membentuk ulang wajah Indonesia: kuat secara militer, mandiri secara ekonomi, dan berakar pada nilai-nilai nasionalisme. Dalam visi ini, narasi sejarah memainkan peran penting.
Jika masa lalu bisa dirapikan, dibingkai dalam semangat kebesaran dan heroisme, maka rakyat bisa diarahkan untuk percaya pada visi masa depan yang sama. Sejarah menjadi semacam “kitab suci nasional” yang membenarkan arah pembangunan. Kita tahu beberapa narasi sejarah yang telah ada juga kurang tepat, misalnya soal penjajahan Indonesia oleh Belanda selama 350 tahun – yang mana harusnya tidak selama itu.
Fadli Zon, dengan rekam jejaknya sebagai politisi ideologis dan pengagum sejarah, sangat pas memerankan peran ini. Ia bisa menjadi “arsitek memori nasional” dalam proyek Prabowo. Namun di sinilah dilemanya: jika sejarah ditulis untuk mengabdi pada satu arah politik saja, maka ia kehilangan kedalaman kritisnya. Penulisan sejarah harus bisa memuat keragaman suara, bukan hanya pemenang perang.
Di sisi lain, jika proyek ini digarap secara terbuka dan kolaboratif—melibatkan sejarawan independen, komunitas korban, dan akademisi lintas generasi—maka Indonesia bisa memiliki narasi sejarah baru yang lebih jujur dan berimbang. Bukan sekadar koreksi terhadap versi Orde Baru atau narasi aktivis pasca-Reformasi, tetapi sintesis dari berbagai pengalaman sejarah bangsa. Dari para prajurit hingga petani, dari elite hingga rakyat kecil.
Namun tentu kita tidak bisa terlalu naif. Politik adalah panggung strategi, bukan mimbar moral. Jika langkah Fadli Zon ini menjadi alat untuk menghapus jejak-jejak sejarah yang tidak sesuai dengan arah kekuasaan saat ini—misalnya dengan mengaburkan pelanggaran HAM atau menghilangkan peran oposisi masa lalu—maka proyek ini akan menjadi bumerang. Ia akan memperparah krisis memori bangsa, dan mempersempit ruang demokrasi.
Pemerintahan Prabowo perlu menyadari bahwa pembangunan nasional tidak bisa lepas dari rekonsiliasi sejarah. Menghapus sejarah yang pahit bukan cara menyembuhkan luka. Justru dengan mengakuinya, bangsa bisa tumbuh menjadi lebih dewasa. Dan inilah tantangan terbesar dari proyek penulisan ulang sejarah yang diusulkan Fadli Zon: apakah ini untuk mengakui kompleksitas sejarah, atau sekadar mengontrol narasi?
Di akhir hari, sejarah bukan milik penguasa, bukan pula monopoli akademisi. Sejarah adalah milik bangsa. Ia adalah refleksi dari semua yang pernah terjadi—baik yang membanggakan maupun yang memalukan. Menulis ulang sejarah bukanlah hal tabu. Tapi harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa setiap kata, setiap narasi, bisa membentuk atau menghancurkan masa depan.
Fadli Zon mungkin menjadi pembuka jalan, tapi jalan itu tidak boleh hanya untuk satu arah. Ia harus menjadi jalan raya yang terbuka bagi semua suara. Jika tidak, maka kita hanya akan mengganti satu bentuk manipulasi sejarah dengan manipulasi yang lain.
Dan pada akhirnya, pertanyaan itu tetap menggantung di langit republik ini: apakah kita benar-benar ingin belajar dari masa lalu, atau hanya ingin membuatnya terlihat bagus bagi segelintir orang saja? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)