HomeNalar PolitikRusia Jadi Malapetaka Hegemoni AS?

Rusia Jadi Malapetaka Hegemoni AS?

Banyak yang menilai, AS ada di balik konflik Rusia-Ukraina yang saat ini sedang berlangsung. Kepentingan AS diyakini sebagai upaya untuk mempertahankan hegemoninya sebagai negara adidaya. Lantas, begitu kuatkah Rusia, hingga AS merasa terancam hegemoninya?


PinterPolitik.com

Sejak serangan pertama Rusia terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022, banyak pengamat politik internasional melihat ada faktor Amerika Serikat (AS) di balik semuanya. AS disebut sebagai bagian dari konflik dikarenakan kecenderungan untuk mempertahankan hegemoninya sebagai negara adidaya satu-satunya di dunia pasca Perang Dingin.

Layaknya polisi dunia, AS tampak sering turun tangan dalam sejumlah perang atau konflik militer yang terjadi antarnegara. Di antara konflik tersebut, seperti di Vietnam (Vietnam Utara dan Vietnam Selatan), Korea (Korea Selatan dan Korea Utara), perang Teluk (Irak dan Kuwait), hingga Rusia dan Ukraina yang saat ini sedang berlangsung.

Presiden Belarusia Alexander Lukashenko, mengatakan AS adalah satu-satunya negara penerima manfaat dari perang Rusia-Ukraina. Indikasinya adalah dorongan AS yang menghimbau banyak negara untuk memberikan sanksi kepada Rusia, mulai dari sektor perbankan, gas, minyak, bahkan pembekuan aset Rusia di luar negeri.

Tak hanya itu, keterlibatannya juga sebagai bagian dari kecenderungan AS mengambil keuntungan atas ketidakstabilan Ukraina agar tidak sampai jatuh ke tangan Rusia. Yang juga dianggap sebagai bentuk mempertahankan dominasi hegemoni AS di dunia internasional, tentunya karena Rusia saat ini juga dianggap ancaman terbesarnya.

Pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja, menyebut AS merupakan negara yang sejak memenangkan Perang Dingin dari Uni Soviet, merasa menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia. Padahal, dunia terus berkembang, politik terus mengalir, dan Uni Soviet yang ketika itu kalah, hari ini menjadi Rusia, yang tidak bisa juga dianggap negara biasa.

Serangan Rusia terhadap Ukraina setidaknya menjadi simbol bahwa saat ini AS tidak bisa menunjukkan kekuasaan tunggalnya secara semena-mena, seperti yang sudah ditunjukkan selama puluhan tahun.

Lantas, seperti  apa sebenarnya cerita di balik hegemoni AS yang saat ini terlihat ditentang oleh Rusia?

Meraba Hegemoni AS

Hegemoni berasal dari istilah Yunani yang mempunyai kesamaan makna dengan konsep dominasi, yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara negara dengan kota. Penggunaannya dalam analisis politik terbatas, sampai muncul diskursus intensif dari politisi dan filsuf Italia, Antonio Gramsci.

Baca juga :  Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

Antonio Gramsci dalam bukunya Prison Notebooks, mengatakan konsep hegemoni telah digunakan sepanjang sejarah hingga saat ini, di mana konsep ini merujuk pada gagasan adanya dominasi oleh satu kelompok sosial.

Gramsci mendukung konsep ini dengan gagasan munculnya elite baru yang diikuti oleh perubahan kesadaran. Dia beralasan, sebuah kelas yang secara politis dominan sebenarnya tengah mempertahankan dominasi ideologisnya. Hal ini karena kelas yang didominasi menerima kepemimpinan moral dan intelektualnya.

Kelompok yang berkuasa disebut hegemon adalah seseorang atau negara yang memperoleh tingkat persetujuan dari kelompok bawahan. Tidak seperti dalam kasus di mana dominasi memberikan kekuasaannya pada grup bawahan menggunakan kekerasan, hegemoni bertumpu pada penguasaan dengan budaya dan non-militer.

Dalam lintas sejarah, sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat adalah negara hegemon. Pasca Perang Dunia II, AS muncul sebagai satu-satunya negara dengan kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang dominan.

Ketika Uni Soviet akhirnya runtuh pada tahun 1991, hegemoni AS mengalami kesempurnaan. AS duduk di puncak sistem internasional dan tidak memiliki saingan yang berat untuk memperebutkan kepemimpinan global.

AS mampu mendominasi ekonomi pasca Perang Dunia II karena negara-negara lain, seperti Jepang dan negara-negara Eropa sedang mengalami kekalahan dan kesulitan pasca perang sehingga perekonomian mereka memburuk.

Selain mendominasi dari segi ekonomi, AS juga mendominasi dari segi politik dan militer. Dari segi militer, Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki teknologi militer yang maju. Kekuatan militer AS juga dapat dilihat dari anggaran dana yang dikeluarkan AS untuk aktivitas militer.

Kekuatan hegemoni AS kini mengalami penurunan akibat Amerika Serikat menghadapi banyak tantangan militer, politik, dan ekonomi. Perekonomian Amerika Serikat mulai menurun ketika karena melakukan intervensi secara militer.

Perang Iraq, misalnya, diperkirakan menghabiskan sekitar USD 3 triliun. Kerugian ini kemudian ditutup dengan pinjaman-pinjaman dalam rangka memperbaiki sistem finansial mereka.

Ilmuwan politik AS Stephen Walt, mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi AS saat ini bukanlah munculnya negara lain yang memiliki kekuatan besar dan merupakan lawan bagi AS, melainkan banyaknya akumulasi utang, mengikisnya infrastruktur, dan ekonomi yang lesu.

Munculnya kekuatan lain di dunia seperti bangkitnya Rusia, Tiongkok, dan India juga dilihat sebagai sandungan besar bagi AS dalam upaya untuk membangun kembali dirinya sebagai kekuatan dunia.

Baca juga :  Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Lantas, apakah munculnya kekuatan baru ini menjadi indikasi meredupnya hegemoni yang telah lama dimiliki oleh AS?

Dominasi Paman SAM Meredup?

Setidaknya sejak era Perang Dingin berakhir, sanksi-sanksi yang diberikan kepada Rusia membuka mata dunia atas standar ganda “barat”. Bahkan sanksi-sanksi yang dijatuhkan tidak berhubungan langsung dengan politik ataupun perang.

Salah satu contohnya, AS mempunyai aturan yang dibuat khusus untuk menjatuhkan sanksi kepada negara yang mempunyai kerja sama pertahanan atau ekonomi dengan Rusia, Iran, serta Korea Utara. Instrumen hukum itu bernama Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).

Aturan dan sanksi seolah hanya milik AS dan sekutunya di NATO. Membuat banyak negara mulai gerah dan melihat ada yang salah terhadap tatanan dunia yang saat ini dikuasai AS. Sebuah kekuasaan yang mampu untuk menghukum negara yang dianggap berseberangan dengan mereka.

John R. P. French dan Bertram H. Raven dalam tulisannya The Bases of Social Power, memperkenalkan konsep coercive power atau kekuasaan untuk menghukum. Seseorang dikatakan mempunyai coercive power atas orang lain apabila ia mempengaruhi dengan cara mengancam akan mengambil sesuatu atau membuat pihak lain menderita.

Tapi, kelemahannya dan menjadi permasalah lain dari coercive power adalah timbulnya kebencian terhadap pemberi pengaruh dan menghilangkan semangat bekerja sama di bawah ketakutan.

Dalam konteks hegemoni AS, ketika pendulum itu berbalik, semua kekuasaan sekutu yang dipertontonkan dengan “semena-mena” akan menjadi bahan bakar untuk memicu pergerakan balik terhadap sang hegemon.

Menurut French dan Raven, negara-negara yang dikuasai hegemoni AS, mengetahui bahwa Paman Sam sudah menunjukkan ketidakadilan yang sulit diterima. Ketidakadilan adalah kondisi yang paling cepat menuntun kepada kehancuran dan pemberontakan. Mungkin AS sudah menyadari ini, tapi masih terlalu merasa megalomania, sehingga mengabaikan indikasi yang muncul.

Sebagai penutup, sejauh ini Rusia telah memposisikan diri sebagai penentang utama hegemoni AS. Rusia seolah menunjukkan bahwa mereka dapat melakukan apapun yang mereka mau kepada negara-negara lain. Konteksnya akan menjadi semakin menarik apabila Tiongkok segera bergabung. Namun, sejauh yang terlihat, Presiden Tiongkok Xi Jinping masih terlihat menunjukkan sikap dingin. Menarik melihat kelanjutannya. (I76)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...