HomeNalar PolitikPutin dan Siasat Cultural Colonization

Putin dan Siasat Cultural Colonization

Topik kultural merupakan salah satu isu yang cukup terpinggirkan dari perdebatan dalam konflik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia. Padahal, isu kultural ini penting untuk dilihat dalam konteks pemaknaan landasan konflik serta kondisi masyarakat global yang memang telah dikuasai oleh globalisasi dalam 3 dekade terakhir. Ini juga terkait publikasi tulisan Vladimir Putin yang menyebut cultural bond sebagai argumentasi pembenaran relasi masyarakat Rusia dan Ukraina. I mean, Mikhail Gorbachev yang jadi tonggak keruntuhan Soviet saja punya ayah berdarah Rusia dan ibu berdarah Ukraina. So, yeah.


PinterPolitik.com

“What colonialism does is cause an identity crisis about one’s own culture”.

::Lupita Nyong’o, Aktris berdarah campuran Meksiko-Kenya::

Konteks kultural ini penting untuk dilihat karena konflik yang terjadi di Ukraina sebetulnya melibatkan dua garis arus budaya sebagai bangun nilai dan norma yang nyatanya juga berbenturan di belakang konflik ini.

Arus pertama adalah yang dibawa oleh Putin. Dalam tulisan 5000 kata yang ditulisnya dan dipublikasikan di website Kremlin pada tahun 2021 lalu dengan judul On the Historical Unity of Russians and Ukrainians, Putin menggambarkan masyarakat Rusia, Ukraina dan Belarusia sebagai satu kesatuan masyarakat yang dipersatukan secara historis di bawah triune Russian nation atau negara-negara Rusia.

Kesatuan masyarakat ini berbagai tradisi kultural, keyakinan, dan kemiripan bahasa. Putin juga secara panjang lebar menjelaskan bagaimana identitas kultural ini menjadi warisan bersama yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan orang Rusia, Ukraina dan Belarusia, mulai dari kesusasteraan, hingga konteks norma dan nilai yang ada di masyarakat. Arus pertama inilah yang coba dibawa Putin sebagai rasionalisasi atas tindakan menginvasi Ukraina.

Sedangkan arus kedua adalah globalisasi budaya Barat di Ukraina. Jelas bahwa demokrasi liberal, serta nilai-nilai dan norma Barat sangat kuat mempengaruhi masyarakat Ukraina. Ada Pemilu. Lalu keterbukaan ekonomi dan kebebasan berekspresi dengan segala bumbu demokrasi liberal Barat di belakangnya sedikit banyak telah mentransformasi masyarakat Ukraina.

Tentu pertanyaan lanjutannya adalah benarkah benturan arus budaya dan keyakinan itu menjadi semacam lahan showcase upaya kolonialisasi budaya? Manakah yang paling mendapatkan pembenarannya: arus budaya Putin atau globalisme Barat?

Cultural Colonization: Musuh dan Dominasi

Bicara soal budaya sebagai intisari dari konflik sebetulnya bukan tanpa alasan. Pasalnya, isu kultural selalu berkaitan dengan konflik. Apalagi, konflik terjadi karena relasi antar manusia, sementara budaya mempengaruhi bagaimana kita mem-framing, menyalahkan, memberikan istilah tertentu, atau memandang keluaran atau hasil dari konflik tertentu. Bahkan pada titik tertentu, faktor kultural selalu melekat pada konflik.

Baca juga :  Meraba Politik Luar Negeri Prabowo Subianto 

Ini karena masalah kultural kerap berkaitan dengan identitas. Budaya menjadi bagian yang melekat dari identitas seseorang. Persoalannya kemudian menjadi menarik jika melihat rata-rata konflik yang menempatkan identitas tersebut sebagai warna utamanya. Benturan identitas di sini kemudian menjadi pembenaran narasi benturan peradaban, misalnya yang ditulis oleh ahli politik asal Amerika Serikat, Samuel P. Huntington.

Sekalipun pijakan Huntington kerap direlasikan dengan benturan berbasis agama, namun sebenarnya peradaban yang dimaksud di sini juga berkaitan dengan budaya – termasuk turunan-turunannya, mulai dari bahasa, nilai, norma, dan lain sebagainya.

Persoalannya adalah bahwasanya konflik hampir pasti menempatkan satu pihak sebagai yang dominan, dan yang lain sebagai yang inferior. Tak jarang, relasi dominasi inilah yang berbuah pada apa yang disebut sebagai cultural colonization atau kolonisasi budaya. Ini adalah kondisi yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai hegemoni kultural.

Cultural colonization memang kerap berbicara soal relasi yang tidak seimbang antara peradaban atau civilization yang satu dengan yang lain. Menariknya, jika merunut Oxford English Dictionary, referensi tentang cultural colonization atau cultural imperialism telah ada sejak tahun 1921 yang dengan spesifik menyebutkan “cultural imperialism of the Russians”. Yes, the Russian alias orang-orang Rusia.

Entah kebetulan atau tidak, nyatanya bentukan narasi kolonialisasi budaya itu memang pada akhirnya identik dengan manuver Rusia. Terkait hal ini, G. Doug Davis dan Michael O. Slobodchikoff dalam buku mereka yang berjudul Cultural Imperialism and the Decline of the Liberal Order: Russian and Western Soft Power in Eastern Europe menyebutkan bahwa kolonisasi budaya memang terjadi di negara-negara Eropa Timur. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, melibatkan 2 arus: Barat vs Rusia.

Bahkan Rusia disebut menggunakan cultural similarities atau kemiripan budaya untuk memaksimalkan pertarungan perebutan pengaruh budaya ini. Negara-negara yang menjadi arena mulai dari Ukraina hingga Yunani.

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Dengan demikian, kolonialisasi berbasis budaya ini akan menjadi pemandangan utama dalam konflik-konflik yang akan datang, utamanya yang melibatkan Rusia. Memang, harus diakui bahwa persoalan politik ada pada tataran teratas. Namun, jangan lupakan bahwa hampir semua aspek kehidupan manusia berakar dari budaya.

Benturan Lawan Globalisasi

Efek cultural colonization ini kemudian mendapatkan narasi yang lebih besar ketika dihadapkan pada globalisasi. Istilah terakhir kerap diidentikkan dengan perubahan besar-besaran yang terjadi dalam relasi sosial-ekonomi masyarakat internasional.

Ini adalah kondisi ketika saling ketergantungan antar negara maupun antar masyarakat dari negara yang satu dengan negara yang lain, menjadi sangat tinggi. Konteks saling ketergantungan ini meliputi berbagai aspek, mulai dari ekonomi, kebudayaan, sains dan teknologi, serta aspek-aspek lainnya.

Globalisasi juga membawa nilai dan norma tertentu yang kemudian diterima sebagai “nilai dan norma global”. Untuk beberapa lama, nilai dan norma peradaban Barat sering dianggap sebagai nilai dan norma global. Supremasi hukum, pelaksanaan demokrasi yang jujur dan adil, lalu penghormatan yang tinggi terhadap HAM, kebebasan berekspresi yang dilindungi secara penuh, dan lain sebagainya menjadi beberapa poin nilai dan norma yang dianggap penting tersebut.

Akibatnya, ketika globalisasi terjadi, banyak peradaban lain yang kemudian dianggap inferior dan harus menerima nilai-nilai yang dibawa oleh arus masyarakat global tersebut. Globalisasi pada akhirnya akan menjadi alat terjadinya kolonialisme kultural, di mana nilai-nilai dan norma Barat akan berusaha ditanamkan menjadi bagian dari tatanan masyarakat di seluruh dunia.

Persoalannya, tidak semua budaya atau kepemimpinan budaya membiarkan fenomena ini terjadi begitu saja. Akan ada resistensi dan akan ada pula benturan yang terjadi. Apa yang terjadi di Ukraina – dalam kaca mata garis keseluruhan pemikiran Putin dan tulisannya – adalah gambaran benturan tersebut. Ukraina jelas telah mendapatkan pengaruh budaya Barat lewat demokrasi, liberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, memang masalah antara Ukraina dan Rusia punya level analisis yang lebih tinggi dibanding sekedar isu politik dan keamanan. Lebih daripada itu, ini memang soal budaya dan mana peradaban yang lebih dominan. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.