HomeNalar PolitikPuti vs AHY, Serupa Tapi Tak Sama

Puti vs AHY, Serupa Tapi Tak Sama

Munculnya nama Puti Guntur Soekarno yang tiba-tiba di Pilgub Jatim, mengingatkan pada kehadiran AHY di Pilgub Jakarta lalu. Selain calon pemimpin masa depan, keduanya pun punya irisan sejarah dalam garis keluarganya.


PinterPolitik.com

“Sejarah berulang, pertama sebagai sebuah tragedi dan yang kedua kali sebagai sebuah peristiwa yang absurd.” ~ Karl Marx

[dropcap]D[/dropcap]ibalik kemalangan yang menimpa Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang terpaksa mengundurkan diri sebagai calon wakil gubernur (cawagub), dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim). Ternyata menciptakan angin segar bagi warga Jatim, karena PDI Perjuangan menempatkan Puti Guntur Soekarno sebagai gantinya.

Dari namanya, masyarakat pasti langsung mengenal Puti sebagai salah satu cucu dari presiden pertama republik ini, yaitu Ir. Soekarno. Begitu juga dengan warga Jatim, nama Soekarno bahkan jauh lebih melekat kuat dalam kenangan. Selain lahir di Surabaya, proklamator kemerdekaan Indonesia ini pun dimakamkan di Blitar, Jatim.

Bagi para warga Jatim tradisional, kedekatan historis ini terus terpatri walau Bung Karno sudah wafat sekitar 47 tahun lalu. Kedekatan ini sangat terlihat dari masih ramainya masyarakat yang ikut hadir pada haul Bung Karno setiap tahunnya. Begitu pun dukungan mereka pada anak cucu penggali Pancasila tersebut.

Jadi, pemilihan putri semata wayang Guntur Soekarnoputra – putra sulung Bung Karno ini, tentu saja menjadi kejutan menyenangkan bagi para Soekarnois di Jatim. Selain itu juga merupakan angin segar bagi perpolitikan nasional, sebab pada akhirnya, ada garis keturunan Soekarno selain Megawati Soekarnoputri dikancah perebutan kekuasaan.

Kehadiran Puti juga dianggap ideal untuk bersanding dengan Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), calon gubernur (cagub) dari PKB yang merupakan cicit KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Nama besar Bung Karno maupun kakek presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ini pula yang sengaja diusung keduanya untuk meraih kemenangan.

Terpilihnya Puti yang bernama lengkap Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno Putri di Pilgub Jatim, juga mengingatkan warga Jakarta dengan kehadiran Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Karena sebelumnya, nama AHY juga sama sekali tidak masuk dalam radar cagub di berbagai lembaga survei.

Sayangnya, di Pilgub DKI lalu, AHY yang berpasangan dengan Walikota Jakarta Pusat Sylvia Murni, mengalami kekalahan diputaran pertama. Banyak pengamat menilai, kehadiran AHY yang tiba-tiba, merupakan salah satu faktor kekalahan purnawirawan berpangkat mayor infantri ini. Melihat dari kemunculannya yang mendadak, akankah kekalahan juga membayangi Puti?

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Pamor Puti Setara AHY?

“Negara akan merasakan betapa sulitnya mencari pemimpin yang mampu menjaga telinganya tetap berada di bawah.” ~ Sir Winston Churchill

Baik Puti maupun AHY, merupakan tokoh muda dan calon pemimpin masa depan dengan harapan yang cukup cerah. Mengapa? Karena keduanya memiliki nama besar di belakangnya, faktor ini diyakini membantu dalam mendongkrak popularitas dan keterpilihannya di masyarakat.

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, Puti memiliki keuntungan yang sangat besar melalui nama Soekarno di belakang namanya. Ia juga beruntung memiliki Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan, sebagai adik dari ayahnya. Sehingga tidak terlalu sulit bagi Puti untuk dapat bersaing dengan para politikus lainnya, dalam mendapatkan dukungan partai politik.

Begitu pun dengan AHY yang memiliki orangtua tak kalah populer dari Puti. Semua orang tentu sudah tahu, kalau AHY merupakan putra pertama dari presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain pernah memimpin selama dua periode, ayahnya juga merupakan salah satu pendiri dan Ketua Umum Partai Demokrat. Partai utama yang mengusungnya pada Pilgub DKI Jakarta lalu.

Di samping itu, AHY juga memiliki darah militer tangguh dari ibunya, Kristiani Herawati yang tak lain merupakan putri dari Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edie Wibowo. Mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang juga sempat menjabat sebagai duta besar di beberapa negara pada era Presiden Soeharto ini, namanya masih sangat dihormati dalam kalangan militer.

Sayangnya, kiprah AHY di dunia politik masih sangat minim. Oleh karena itu, saat tiba-tiba namanya muncul sebagai salah satu calon gubernur Jakarta, banyak pihak masih meragukan kemampuannya. Namun seiring waktu, popularitas AHY perlahan-lahan merangkak naik, bahkan diperhitungkan sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2019.

Berbeda dengan Puti. Walau membawa nama Soekarno, namun kiprah politik Puti dilalui dari bawah. Laiknya kader PDI Perjuangan lain, Puti juga harus melalui proses pengkaderan. Ia juga sempat duduk di kursi DPR RI selama dua periode, yaitu tahun 2009 hingga 2019, melalui daerah pemilihan Jawa Barat, terutama dari Ciamis, Kuningan, dan Kota Banjar.

Di Pilkada tahun ini, sebenarnya Puti sempat akan disandingkan dengan Dedi Mulyadi di Pilgub Jabar. Namun koalisi antara PDI Perjuangan dengan Golkar ini gagal di tengah jalan. Ketika akhirnya Partai Banteng memutuskan nama lain untuk dijadikan cagub dan cawagub di Pilgub Jabar, nama Puti pun kembali tenggelam.

Sehingga ketika namanya mendadak ditarik ke Pilgub Jatim untuk menggantikan Azwar Anas, beberapa pihak sempat khawatir kalau popularitas Puti di Jatim tidak cukup mampu menarik suara. Meski begitu, pengamat politik dari lembaga survei Voxpol, Pangi Syarwi Chaniago menepis keraguan itu. Menurutnya, nama Soekarno di belakang nama Puti akan cukup mampu membantu Gus Ipul dalam meraih kemenangan.

Baca juga :  Mengapa Peradaban Islam Bisa Runtuh? 

Irisan Luka Generasi Lalu

“Begitulah manusia, sangat agung dalam sejarah. Dan sebahagian arti sejarah itu adalah darah.” ~ Rosli K. Matari

Kini, Puti maupun AHY diperkirakan menjadi pengharapan bagi rakyat Indonesia akan hadirnya pemimpin dari generasi muda. Puti yang tahun ini berusia 46 tahun dan AHY yang berusia 38 tahun, merupakan embun penyejuk bagi dahaga yang dirasakan masyarakat Indonesia yang sudah jenuh dengan kehadiran calon pemimpin yang itu-itu saja dari tahun ke tahun.

Namun dibalik megahnya nama besar yang menyertai Puti dan AHY, tersimpan pula luka lama dari kedua keluarga mereka. Menariknya, gesekan luka sejarah diantara kedua keluarga ini bahkan kembali terulang beberapa dasawarsa kemudian. Entah apakah benar perkataan Karl Marx, bahwa sejarah yang berulang kedua kali akan menjadi terasa absurd. Seabsurd dendam berkepanjangan yang terjadi tanpa disadari.

Bila kita kembali menengok ke belakang, sebenarnya irisan luka sejarah pernah terjadi antara dua anggota keluarga ini. Tepatnya pada 1965, di mana Komandan RPKAD Sarwo Edie memilih setia pada Pangkostrad Mayjen Soeharto, dibanding presiden kala itu, Soekarno. Sarwo Edie yang sangat anti komunis, memilih mendukung Soeharto dalam membasmi jutaan pendukung Soekarno yang dituding sebagai komunis.

Berkat dukungan itu, banyak pengamat politik melihat bahwa secara tak langsung Sarwo Edie sebenarnya juga ikut berperan dalam penggulingan Soekarno dari kursi kepresidenannya. Anehnya, sekitar 39 tahun kemudian, peristiwa yang nyaris sama juga terjadi pada menantu Sarwo Edie, yaitu SBY dengan putri kedua Soekarno, Megawati.

Pada tahun 2004, SBY yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ketika Megawati menjabat sebagai Presiden Kelima Indonesia, berhasil ‘merampas’ kursi kepresidenan dari putri Presiden Pertama  tersebut. SBY juga merupakan presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung.

Efek dari kesan ‘pengkhianatan’ yang dilakukan oleh SBY kepada Megawati, bahkan menghasilkan dendam pribadi berkepanjangan hingga saat ini. Walau dalam Pilkada Serentak tahun ini, PDI Perjuangan dan Demokrat melakukan koalisi di Pilgub Jawa Tengah, namun bukan berarti ‘perang dingin’ antara dua ketua umumnya telah mereda.

Melihat keterkaitan sejarah yang sempat berulang antara keluarga Soekarno dan Sarwo Edie, sangat menarik bila kemungkinan di masa depan, baik Puti maupun AHY akan berhadapan dalam memperebutkan kursi kepresidenan. Sebagai pewaris nama besar keluarga dan dukung partai politik besar di belakang keduanya, bukan tidak mungkin sejarah akan berulang untuk ketiga kalinya. (R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...