Dengarkan artikel ini:
Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerakan Indonesia Menanam (Gerina). Mengapa ini bisa jadi punya makna strategis?
“People be starvin’ and people be killin’ for food with that crack and that spoon” – Rich Brian, “Dat $tick” (2016)
Pagi itu, Kenny berdiri di tengah kerumunan warga yang berkumpul di lahan pertanian Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel). Di hadapannya, Presiden Prabowo Subianto tampak gagah dengan kemeja putih dan topi petani, bersiap meluncurkan Gerakan Indonesia Menanam—atau yang kini dikenal sebagai Gerina.
“Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua,” ujar Presiden Prabowo dengan lantang, disambut tepuk tangan. Bagi Kenny, kata-kata itu terasa berat, tapi juga penuh harapan—sebuah janji masa depan yang lebih hijau dan mandiri.
Kenny mengingat bagaimana sejak kecil ia melihat petani di desanya berjuang dengan pupuk mahal dan panen yang tak menentu. Kini, Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia tak hanya akan swasembada, tapi juga menjadi lumbung pangan dunia.
Gerina tak sekadar soal menanam pohon atau padi, pikir Kenny, tapi soal menanam harapan baru. Ia membayangkan negeri yang tak hanya kaya akan alam, tapi juga mengelolanya dengan bijak demi keberlanjutan.
Presiden menyebut gerakan ini sebagai langkah awal menuju kedaulatan pangan sejati. Kenny merasa ada semangat perjuangan yang membara di balik program ini—semacam revolusi, tapi bukan dengan senjata, melainkan dengan cangkul dan bibit.
Ia tersenyum, merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Tapi di balik itu, ada pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya: Apa yang dimaksud dengan revolusi hijau? Mengapa revolusi ini penting buat Prabowo dan Indonesia ke depannya?
Menyoal Revolusi Hijau
Kenny duduk di perpustakaan kampusnya, membaca buku tebal tentang sejarah pertanian Indonesia. Di bab yang membahas Revolusi Hijau, matanya tertumbuk pada nama Presiden Soeharto dan tahun-tahun penting di era 1970-an.
Ia baru tahu bahwa saat itu, Indonesia tengah menghadapi krisis pangan yang serius, dan pemerintah meluncurkan program besar seperti Bimas dan Inmas. “Dengan teknologi baru dan sistem produksi intensif, Indonesia berhasil swasembada beras pada 1984,” gumam Kenny, mengagumi capaian itu.
Dalam artikel “Lessons from the Green Revolution: Do We Need New Technology to End Hunger?”, Rosset, Collins, dan Lappé menyebut bahwa Revolusi Hijau memang berhasil meningkatkan produksi pangan secara spektakuler di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka menekankan bahwa kemajuan itu tak lepas dari penerapan bibit unggul, pupuk kimia, dan dukungan infrastruktur pertanian secara menyeluruh.
Kenny membaca bahwa keberhasilan tersebut memberi dampak besar: kelaparan menurun, ketahanan pangan membaik, dan negara-negara berkembang mendapat harapan baru untuk mandiri secara pangan. Di Indonesia, keberhasilan ini digunakan Soeharto sebagai bukti kepemimpinannya yang efektif dan modern.
Namun di balik keberhasilan itu, Kenny juga mencatat adanya dimensi strategis—di mana Revolusi Hijau menjadi bagian dari diplomasi dan kekuatan politik global. AS dan lembaga donor internasional mendukung penuh, karena stabilitas pangan dianggap krusial dalam menghadapi ancaman komunisme saat itu.
Kini, saat Indonesia kembali berbicara soal revolusi hijau bersama Presiden Prabowo, Kenny merasa sejarah seperti berulang. Tapi ia tetap bertanya dalam hati: Bagaimana relevansi Revolusi Hijau di era sekarang? Mengapa ini punya peran strategis?
Prabowo dan Revolusi Hijau 2.0
Setelah membaca tentang Revolusi Hijau, Kenny tertarik mencari tahu lebih dalam soal hubungan antara pangan dan politik global. Ia membuka jurnal hubungan internasional dan menemukan bahwa pangan bukan sekadar urusan dapur—ia adalah elemen penting dalam percaturan kekuasaan dunia.
Di sebuah artikel berjudul Food Security and International Trade karya Jennifer Clapp, Kenny membaca bahwa ketahanan pangan menjadi semakin strategis di tengah anarki sistem internasional yang tanpa otoritas pusat. Negara-negara bersaing untuk mengamankan sumber daya, dan pangan menjadi alat tawar-menawar dalam diplomasi dan bahkan konflik.
Kenny mencatat pernyataan Clapp bahwa “pangan bukan hanya kebutuhan dasar, tetapi juga instrumen geopolitik yang bisa digunakan untuk membentuk aliansi, menciptakan ketergantungan, atau bahkan menghukum.” Kalimat itu membuatnya sadar bahwa saat negara lain mulai membatasi ekspor gandum atau beras, itu bukan sekadar kebijakan ekonomi—itu strategi kekuasaan.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, Kenny melihat bagaimana negara-negara mulai berebut tanah subur di Afrika atau menguasai rantai distribusi pangan global. Ia membaca bahwa perang dagang antara AS dan Tiongkok pun berdampak langsung ke harga pangan dunia—yang akhirnya dirasakan petani dan konsumen di negara-negara berkembang.
Ketahanan pangan, pikir Kenny, adalah pertahanan negara dalam bentuk paling sunyi. Bukan tank atau rudal, tapi sawah, lumbung, dan akses terhadap pangan yang adil dan berkelanjutan.
Dengan membaca semua itu, Kenny mulai memahami mengapa Presiden Prabowo begitu gencar mendorong Revolusi Hijau 2.0. Di tengah ketidakpastian geopolitik dan meningkatnya perang dagang, langkah ini bukan sekadar ambisi pertanian—tapi strategi bertahan hidup di panggung dunia. (A43)