HomeHeadlineCak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.


PinterPolitik.com

Peta politik Indonesia pasca-Pilpres 2024 dan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah menampakkan wajah baru, namun bukan tanpa benang merah dari masa lalu.

Dua sosok menarik dalam konfigurasi pemerintahan terkini adalah Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Zulkifli Hasan (Zulhas), Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Keduanya ditempatkan di posisi strategis sebagai menteri coordinator. Cak Imin di bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Zulhas di bidang Pangan. Namun, perbincangan publik tidak hanya menyoal posisi mereka, melainkan efektivitas serta makna dan bagaimana jabatan tersebut menjadi bagian yang sukar dilepaskan dari manuver politik keduanya.

Banyak yang menganggap posisi tersebut ibarat “gaji buta”, atau dalam bahasa populernya, jabatan gabut, tupoksi dengan pekerjaan yang seolah sangat simbolis, bukan teknis.

Namun, dalam politik, jarang ada hal yang benar-benar tanpa tujuan. Sebuah jabatan public atau politik, “sekosong” atau “seaneh” apapun terlihat dari luar, agaknya selalu menyimpan potensi makna strategis dalam konteks politik.

Sebagai dua ketua umum partai politik yang diakomodasi Prabowo-Gibran, keduanya tampak berupaya memaksimalkan posisi mereka dan partainya saat ini menuju 2029

Ihwal yang jadi menarik dan memiliki benang merah masa lalu, keduanya memiliki kisah berbeda. Zulhas dan PAN memang sejak awal mendukung duet Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

Sementara itu, Cak Imin-PKB sempat pula mendukung Prabowo sebagai capres, tetapi kemudian berpaling saat Cak Imin didapuk sebagai cawapres Anies Baswedan.

Meski pada akhirnya, Cak Imin-PKB dirangkul kembali ke kubu Prabowo dan mendapat jatah di kabinet

Isu terkininya, kendati pemerintahan Prabowo-Gibran baru berjalan enam bulan, saat PAN menyatakan siap mendukung kembali Prabowo di Pilpres 2029, Cak Imin tak demikian dan justru merespons dengan dingin.

Terlalu dini memang untuk berbicara 2029. Tetapi, PAN telah memiliki target tembus empat besar di Pileg 2029. Sementara, itu PKB dengan kekuatannya, dinilai cukup memiliki daya tawar untuk berada di kubu manapun di 2029.

Lantas, mengapa Cak Imin dan Zulhas seolah akan menjadi dua variabel menarik di politik-pemerintahan ke depan?

Terlihat Bertahan Namun Menyerang?

Untuk memahami posisi Cak Imin dan Zulhas dalam kabinet Prabowo-Gibran, konsep political survival kiranya relevan untuk menjadi pisau analisis.

Menurut Bruce Bueno de Mesquita dkk. dalam The Logic of Political Survival, pemimpin politik bertindak untuk menjaga koalisi kemenangan mereka (winning coalition) tetap solid.

Baca juga :  Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dalam sistem demokrasi patronase seperti Indonesia, jabatan kabinet sering kali bukan semata demi efektivitas birokrasi, melainkan alat distribusi sumber daya dan loyalitas.

Dari kerangka ini dan kiranya dapat dianalisis secara umum bahwa penempatan Cak Imin dan Zulhas di posisi menko bisa dibaca sebagai langkah Prabowo untuk menjaga dua segmen basis politik penting, yakni massa Islam tradisional dan moderat (melalui PKB) dan segmen pemilih perkotaan (melalui PAN dengan kekuatan kader artis mereka).

Bukan lagi rahasia kiranya, kendati jabatan mereka tampak tanpa portofolio kuat, keberadaan mereka di struktur kementerian memberi akses ke policy influence serta jaringan sumber daya negara yang bisa dikapitalisasi.

Zulhas, yang sejak awal mendukung Prabowo-Gibran, sukar tak dikatakan bahwa menerima jabatan tersebut sebagai bentuk reward politik. Ia dan PAN bahkan telah mendeklarasikan kesiapan mendukung Prabowo kembali di 2029 dan ini melampaui partai manapun, kecuali Partai Gerindra.

Hal ini sejalan dengan teori office-seeking yang dikemukakan oleh Kaare Strøm, bahwa partai-partai politik kerap memprioritaskan akses pada jabatan eksekutif karena dari sanalah mereka bisa memperkuat kelembagaan partai, mengisi struktur politik lokal, hingga menggalang kekuatan untuk keberlangsungan organisasi.

Sementara itu, Cak Imin justru menempuh jalan zig-zag. Sebagai sosok yang sempat membelot ke koalisi Anies Baswedan demi posisi cawapres, kembalinya ia ke kubu Prabowo adalah buah dari strategic repositioning.

Prabowo, yang dikenal memiliki naluri rekonsiliatif, merangkul kembali PKB memang tampak sebagai bentuk kooptasi kekuatan.

Namun, posisi Menko bagi Cak Imin agaknya bukan sekadar “hadiah”, melainkan juga “tali tambang”. Ia diberikan tempat, tetapi bukan peran utama. Ini membuatnya in the system but not at the center atau cukup dekat untuk dikontrol, tapi cukup jauh untuk dibatasi.

Dari kacamata ini, jabatan menko yang tampak “gabut” sejatinya adalah medium strategic containment dari pihak eksekutif terhadap elite partai yang memiliki potensi bargaining tinggi.

infografis cak imin dapat jatah mantan

Menakar Daya Tawar PAN-PKB?

Secara otomatis, lanskap politik pasca-2024 menyimpan dinamika yang akan terus bergerak menuju 2029.

PAN, melalui Zulhas, tampak ingin mengonsolidasikan diri lebih awal. Target empat besar di Pemilu Legislatif 2029 adalah langkah yang berani, namun rasional jika dilihat dari sisi manuver institusional.

Posisi Menko Pangan bisa digunakan sebagai narasi keberpihakan pada sektor strategis nasional, mulai dari ketahanan pangan, harga bahan pokok, dan kesejahteraan petani.

Isu-isu ini bersifat mass-based dan cross-cutting, memungkinkan PAN memperluas basis elektoral.

Namun, kerja politik tidak cukup hanya dengan retorika. Jika Zulhas gagal menunjukkan pencapaian konkret atau inovasi kebijakan yang menyentuh masyarakat luas, maka jabatan menko bukan tidak mungkin hanya akan menjadi simbol kosong, termasuk kader PAN lain di jajaran kabinet.

Baca juga :  Kontemporisme: The Genius of Harmoko

Tantangan Zulhas dan PAN kiranya mentransformasikan access to office menjadi policy output dan electoral gains.

Berbeda dengan Zulhas, Cak Imin justru terlihat lebih berhati-hati namun tetap dengan gayanya. Respons yang dingin terhadap wacana 2029 bukanlah tanda ketidaksiapan, melainkan strategi wait and see yang khas dalam tradisi politik yang pernah dilakukan Cak Imin.

Eks Wakil Ketua DPR itu tampak memahami bahwa posisi PKB cukup fleksibel, mengingat bisa menjadi penentu krusial dalam koalisi manapun. Dengan basis massa NU yang cair dan tersebar, PKB tidak harus mengunci diri di satu poros. Inilah bentuk institutionalized flexibility.

Namun, fleksibilitas ini juga mengandung risiko, terutama over-calculation. Jika Cak Imin terlalu berfokus pada manuver dan kurang menunjukkan performa di jabatan Menko Pemberdayaan Masyarakat, ia bisa kehilangan legitimasi publik.

Dalam kerangka new institutionalism, jabatan publik bukan hanya instrumen kekuasaan, tapi juga arena performatif. Masyarakat menilai, media mencatat, dan elite lain mengamati. Dalam politik modern, persepsi kinerja tak kalah penting dari manuver politik.

Lebih lanjut, posisi keduanya juga bisa dibaca dalam kerangka co-optation versus autonomy. Zulhas tampak bersedia dikooptasi demi kesinambungan partai dan perlindungan institusional.

Sementara Cak Imin seolah masih mempertahankan otonomi manuver politik, tanpa berjarak dengan potensi perubahan narasi resmi pemerintahan.

Dua pendekatan ini mencerminkan watak partai dan kepemimpinan yang berbeda: PAN sebagai partai oportunistik yang pragmatis, PKB sebagai partai berbasis jaringan sosial-keagamaan yang lebih kompleks.

Pertanyaan mendasarnya, apakah jabatan “gabut” ini benar-benar akan menjadi “berhadiah”?

Jawabannya akan bergantung pada tiga hal. Pertama, tentu terkait apakah keduanya mampu mengartikulasikan peran menko secara konkret di mata publik.

Kedua, apakah partai mereka bisa menggunakan jabatan ini untuk memperkuat infrastruktur politik dan elektoral. Ketiga, apakah mereka mampu mengelola relasi internal dengan Prabowo dan partai koalisi lainnya menjelang 2029.

Jika semua syarat ini terpenuhi, maka jabatan yang semula dikritik sebagai “gabut” bisa menjadi investasi politis yang sangat strategis—bahkan “berhadiah.”

Dalam politik, tidak ada yang benar-benar kosong. Bahkan jabatan yang tampak gabut sekalipun bisa dimaknai sebagai bentuk konsolidasi, kooptasi, atau bahkan persiapan perang jangka panjang.

Dalam kasus Cak Imin dan Zulhas, kita melihat dua strategi berbeda dalam mengarungi politik-pemerintahan baru dan persiapan sejak dini menuju 2029.

Keduanya seakan sedang bertaruh, antara mengandalkan kedekatan dengan kekuasaan dan menjaga jarak untuk ruang manuver yang lebih besar. Siapa yang akan unggul atau paling tidak manuvernya membuahkan hasil lebih besar? Sejarah, elektabilitas, dan kecerdasan membaca angin tentu akan menjawabnya. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

“Dansa Epik” Donald Trump & Xi Jinping? 

Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa. 

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

More Stories

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Teuku Umar, Surakarta, dan The Four Empire?

Kendati aktor politik prominen yang silih berganti adalah sebuah keniscayaan, terdapat empat poros kekuatan yang kiranya akan terus lestari di era kontemporer. Bagaimana itu bisa terjadi?