Dengarkan artikel ini:
Presiden ke-45 dan ke-47 Amerika Serikat (AS), Donald Trump, disebut berjasa untuk mengembalikan TikTok agar bisa tersedia kembali di negeri Paman Sam. Mungkinkah ini yang disebut sebagai sigma-isme?
“And, as of today, TikTok is back.” – Donald Trump, Presiden ke-45 dan ke-47 Amerika Serikat (19/1/2025)
Di suatu pagi yang cerah, Nina menggulir layar ponselnya, matanya terpaku pada sebuah video TikTok yang baru saja viral. Di dalamnya, seorang pria berjas hitam berjalan sendirian, tatapannya dingin, tidak peduli pada kerumunan di sekitarnya.
“Sigma,” tulis keterangan videonya. Nina penasaran. Apa sebenarnya arti dari istilah yang kini sering muncul di berandanya?
Sejak itu, Nina menyadari bahwa “sigma” bukan sekadar kata biasa. Istilah ini menggambarkan individu yang hidup di luar hierarki sosial, seseorang yang tidak membutuhkan validasi atau persetujuan orang lain untuk merasa berharga. Bagi Nina dan teman-temannya, konsep ini terasa membebaskan, seperti pintu keluar dari tekanan sosial yang terus menghantui mereka.
Diskusi tentang “sigma” tidak berhenti di layar ponsel. Ketika berkumpul di sebuah kafe kecil, Nina dan sahabat-sahabatnya berbicara tentang betapa relevannya istilah ini dalam kehidupan mereka. Mereka membahas bagaimana orang-orang seperti tokoh film atau bahkan pemimpin politik sering dianggap memiliki sifat “sigma“.
“Kayak Trump nggak sih?” celetuk salah satu temannya, sambil tertawa kecil. Mereka sepakat, walaupun kontroversial, ada sesuatu yang unik dalam kepribadian yang begitu mandiri.
Namun, di balik semua itu, Nina mulai bertanya-tanya. Apakah konsep “sigma” benar-benar relevan, atau hanya tren sesaat di media sosial? Dan mengapa istilah ini bisa merambah jauh ke ranah politik, bahkan dikaitkan dengan pemimpin-pemimpin dunia seperti presiden ke-45 dan ke-47 Amerika Serikat (AS), Donald Trump?
Nina berpikir, mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar meme TikTok di balik cerita ini. Mengapa istilah “sigma” dianggap penting, tidak hanya dalam lingkup pergaulan sosial, tetapi juga dalam dinamika politik? Apakah sifat “sigma” benar-benar menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin? Nina merasa, jawabannya layak untuk dicari lebih dalam.
Sigma Males as World Leaders
Sejak mengenal istilah “sigma” di TikTok, Nina semakin sering menemukan diskusi tentang “sigma males” yang diasosiasikan dengan gaya kepemimpinan banyak tokoh dunia. Dalam buku The Sigma Mindset oleh Traise Espinosa, dijelaskan bahwa karakteristik sigma males mencakup kepribadian independen, kecenderungan untuk berpikir di luar kotak, dan kemampuan memimpin tanpa bergantung pada dukungan kolektif.
Pemimpin-pemimpin seperti Trump dan Prabowo sering kali digambarkan memiliki sifat-sifat ini. Mereka terlihat tidak terpengaruh oleh norma politik tradisional, memilih jalur sendiri yang sering kali kontroversial tetapi efektif dalam membangun basis dukungan yang kuat.
Dalam diskusi di kelasnya, Nina mendengar dosen menyebut jurnal ilmiah yang berjudul A “Social Identity Theory of Leadership” dari Michael A. Hogg yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang memiliki kesamaan prototip dengan yang dipimpin akan lebih dinilai memiliki pengaruh. Bukan tidak mungkin, karakteristik yang merekat pada sigma males sesuai dengan prototip yang dikehendaki.
Nina merenungkan bagaimana gaya ini menjadi daya tarik besar bagi banyak orang, terutama di era ketika ketidakpercayaan terhadap institusi tradisional semakin tinggi. Pemimpin sigma memberikan alternatif yang menjanjikan, tidak hanya sebagai pemecah masalah tetapi juga sebagai simbol pemberontakan terhadap struktur lama.
Mengapa konsep sigma males begitu relevan bagi pemimpin seperti Trump dan Presiden RI Prabowo Subianto? Apakah ini karena sifat mereka mencerminkan kebutuhan zaman yang mendambakan figur kuat, independen, dan berani menghadapi tantangan besar?
Sigma-isme ala Trump dan Prabowo?
Setelah terpesona dengan konsep “sigma males,” Nina menyadari bahwa gaya kepemimpinan ini lebih dari sekadar tren media sosial. Nina berasumsi bahwa pemimpin yang sesuai dengan prototip kelompoknya cenderung lebih diterima, terutama oleh generasi muda seperti Gen Z yang tumbuh bersama platform seperti TikTok.
Donald Trump dan Prabowo Subianto adalah contoh nyata bagaimana “sigma-isme” menjadi alat politik yang kuat. Gaya independen, penuh percaya diri, dan sering kali melawan arus menjadikan mereka figur pemimpin yang sesuai dengan aspirasi Gen Z, yang menghargai keunikan dan keberanian untuk berbeda.
Ketika mendorong agar TikTok tetap tersedia di AS, misalnya, Trump memahami pentingnya platform ini sebagai ruang komunikasi politik bagi Gen Z. Dalam pidato pra-pelantikannya di hari Minggu, 19 Januari 2025, Trump mengakui bahwa TikTok adalah salah satu alasan ia mampu memenangkan hati anak muda—sesuatu yang jarang terjadi bagi kandidat Partai Republik.
Mengacu pada jurnal “Scrolling, Simping, and Mobilizing: TikTok’s Influence over Generation Z’s Political Behavior” oleh Kiana Karimi dan Richard L. Fox, bukan tidak mungkin kesamaan prototip antara pemimpin sigma dengan Gen Z menghasilkan mobilisasi politik yang masif. Karakter sigma yang mandiri, autentik, dan menantang sistem lama memikat generasi ini, yang merasa mereka juga bisa menjadi “sigma” dalam dunia mereka.
Nina merenung bahwa “sigma-isme” bukan sekadar fenomena sementara, melainkan pola kepemimpinan yang akan terus bertahan. Dengan Trump di AS dan Prabowo di Indonesia yang semakin memanfaatkan media sosial seperti TikTok untuk menonjolkan sisi sigma mereka, gaya kepemimpinan ini tampaknya akan terus relevan dalam beberapa waktu ke depan.
Apakah ini akan menjadi jalan baru bagi pemimpin di era digital? Nina percaya, jawabannya ada di tangan generasi muda yang terus menggulirkan layar ponsel mereka. (A43)