Dengarkan artikel ini:
Kedekatan Prabowo dan Jokowi rupa-rupanya tak disukai banyak pihak, terutama oleh faksi-faksi politik di lingkaran politik koalisi Prabowo sendiri. Pasalnya, dengan munculnya isu Gibran akan didorong untuk jadi cawapres Prabowo lagi di 2029, praktis akan menutup kemungkinan faksi-faksi politik lain mendorong cawapres dari kubu mereka. Apalagi, pencalonan Prabowo dianggap jadi hal yang tak terelakkan, maka relasinya dengan Jokowi sangat mungkin akan jadi bulan-bulanan isu di beberapa waktu ke depan ini.
Hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan pendahulunya, Joko Widodo (Jokowi), tengah memasuki babak yang tak pernah terbayangkan satu dekade lalu. Dari lawan politik sengit di dua pemilihan presiden berturut-turut, keduanya kini menjalin kedekatan yang nyaris tanpa sekat.
Bukan hanya sekadar hubungan normatif antara presiden dan mantan presiden, relasi Prabowo-Jokowi menunjukkan tingkat keterikatan strategis yang sangat dalam, memunculkan wacana-wacana besar tentang masa depan politik nasional.
Tak heran, isu seperti “matahari kembar” berkembang beberapa waktu terakhir – menyiratkan keduanya yang seolah menjadi dua presiden. Kekuatan politik Jokowi juga masih terlihat ketika dirinyalah yang ditunjuk oleh Prabowo untuk jadi utusan presiden menghadiri pemakaman pemimpin tertinggi umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, beberapa hari lalu.
Terkait hal tersebut, salah satu rumor yang semakin menguat di belakang layar adalah kembalinya Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo di Pilpres 2029. Posisi Gibran saat ini sebagai Wapres telah menempatkannya pada jalur karier politik yang tak biasa. Dukungan Jokowi – baik langsung maupun lewat “tangan-tangan” kekuasaannya di berbagai sektor – mempertebal spekulasi bahwa dinasti politik Jokowi masih akan bertahan lama.
Meskipun telah menyandang status mantan presiden, Jokowi tampaknya belum siap sepenuhnya meninggalkan panggung kekuasaan. Melalui instrumen-instrumen politik seperti Golkar dan bahkan jaringan relawan yang tetap setia, Jokowi mempertahankan pengaruh luas di level pemerintahan, partai politik, dan institusi-institusi strategis lainnya. Simbiosis mutualisme antara Jokowi dan Prabowo ini menjadi kekuatan baru yang sulit ditandingi di peta politik nasional saat ini.
Namun, “too close” terkadang berarti “too much trouble.” Hubungan yang terlalu erat ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan politik, mengingat absennya oposisi yang kuat. Dominasi ini bisa memunculkan resistansi di akar rumput maupun di dalam elite itu sendiri. Lalu, bagaimana hal ini harus dimaknai?
Too Close, Too Much Trouble
Untuk memahami kedekatan Prabowo dan Jokowi ini secara lebih konseptual, kita bisa menggunakan beberapa kerangka piker dari para scholar dan ahli politik.
Yang pertama adalah elite theory yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca. Dalam karya klasiknya The Ruling Class (1896), Mosca berargumen bahwa dalam setiap masyarakat, ada minoritas terorganisir yang berkuasa atas mayoritas. Dalam konteks Prabowo-Jokowi, kita melihat bagaimana dua tokoh ini membentuk “elite governing class” yang nyaris tanpa kompetitor serius. Kedekatan mereka memusatkan kekuasaan di tangan sekelompok kecil elite, mempersempit ruang gerak demokrasi substantif.
Dalam konteks Indonesia pasca-2024, kolaborasi ini bukan hanya soal kekuasaan eksekutif, tetapi juga tentang penguasaan partai politik, legislatif, bahkan organisasi-organisasi sipil. Dengan Gibran sebagai salah satu pion, konfigurasi elite ini terlihat makin terorganisir dan kokoh.
Gagasan atau pemikiran berikut yang bisa digunakan untuk melihat fenomena ini adalah cartel party theory dari Richard Katz dan Peter Mair. Dalam artikelnya Changing Models of Party Organization (1995), Katz dan Mair menjelaskan bagaimana partai-partai politik dalam demokrasi modern cenderung berubah menjadi “kartel,” yaitu kolaborasi antarpartai untuk mempertahankan status quo kekuasaan daripada bersaing ideologis.
Fenomena ini sangat relevan dengan dinamika Prabowo-Jokowi. Parpol-parpol yang ada di gerbong keduanya tampak lebih fokus menjaga akses terhadap sumber daya negara ketimbang mengusung alternatif kebijakan yang tajam. Koalisi superbesar yang menopang Prabowo merupakan bukti nyata dari kartelisasi politik, di mana diferensiasi politik menjadi kabur.
Gagasan yang terakhir adalah soal soft authoritarianism dari Fareed Zakaria. Dalam bukunya The Future of Freedom (2003), Fareed Zakaria memperkenalkan istilah “soft authoritarianism,” yakni sistem politik di mana pemilu tetap berjalan, tetapi ruang-ruang kebebasan publik dikekang secara halus.
Dalam lanskap politik yang didominasi Prabowo-Jokowi, risiko ke arah soft authoritarianism cukup besar. Kekuasaan yang terpusat dan dominasi elite berpotensi membungkam suara-suara kritis. Ketika semua jalur politik utama dikuasai oleh satu jaringan besar, kebebasan politik secara substantif bisa mengalami penyusutan, meski prosedur demokrasi tetap berjalan.
The Future
Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi?
Well, jika kedekatan ini terus berlanjut tanpa gangguan berarti, maka Prabowo dan Jokowi akan menjadi duo paling berpengaruh dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Dengan kekuatan Prabowo di kursi presiden dan jaringan Jokowi di balik layar, mereka dapat menciptakan stabilitas politik jangka pendek yang sangat solid.
Namun, stabilitas semacam ini bukan tanpa risiko. Ketergantungan pada kekuatan elite bisa mengurangi dinamika demokrasi. Ketika partai-partai besar hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dan oposisi melemah, maka demokrasi Indonesia berpotensi kehilangan vitalitasnya. Apalagi, jika dalam jangka panjang masyarakat merasa tidak memiliki pilihan politik yang nyata, bisa muncul letupan-letupan ketidakpuasan sosial.
Jika kita berhitung secara makro dan mencoba membuat prediksi ke depan, relasi Prabowo dan Jokowi kemungkinan besar tetap positif, setidaknya selama lima tahun mendatang. Kepentingan politik keduanya saat ini saling terkait erat: Prabowo membutuhkan stabilitas dan dukungan jaringan Jokowi untuk memastikan pemerintahannya mulus, sementara Jokowi membutuhkan proteksi politik agar warisannya tetap terjaga.
Namun, dinamika politik tidak pernah statis. Faktor-faktor eksternal seperti ketidakpuasan publik, perubahan sikap elite lain, atau krisis ekonomi bisa menguji kekokohan aliansi ini. Bila salah satu pihak merasa dirugikan atau merasa perannya dikerdilkan, konflik laten bisa mencuat. Dalam skenario terburuk, kedekatan yang terlalu intim ini bisa berubah menjadi “too much trouble,” memecah kekuatan yang kini tampak solid.
Sejauh ini, Prabowo dan Jokowi tampak menikmati “bulan madu politik” mereka. Tetapi sejarah mengajarkan bahwa dalam politik, loyalitas seringkali setipis kertas, dan kepentingan adalah pena yang menulis ulang semua kesepakatan.
Dengan demikian, Indonesia memasuki fase baru: antara stabilitas luar biasa atau keguncangan besar. Semua akan bergantung pada bagaimana Prabowo dan Jokowi mengelola “closeness” mereka – dan seberapa besar mereka bersedia membuka ruang bagi demokrasi yang lebih sehat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)