HomeNalar PolitikPrabowo dan Sembilu Pertahanan Indonesia

Prabowo dan Sembilu Pertahanan Indonesia

Kecil Besar

Debat capres keempat beberapa hari lalu diwarnai dengan isu lemahnya pertahanan Indonesia. Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto mengkritik anggaran pertahanan Indonesia yang dianggapnya masih terlalu kecil. Di sisi lain, sang lawan, Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan bahwa anggaran pertahanan Indonesia sudah cukup besar.


PinterPolitik.com

“My imagination is surely an aggravation of threats,” – Kendrick Lamar, penyanyi rap AS

[dropcap]D[/dropcap]alam debat yang bertemakan ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional tersebut, Prabowo menyebutkan anggaran pertahanan Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Singapura. Prabowo juga menyebutkan lemahnya pertahanan dan militer Indonesia turut memengaruhi keamanan dan reputasi Indonesia di dunia internasional.

Jokowi pun menanggapi hal itu dan menyebutkan bahwa anggaran pertahanan Indonesia sudah cukup besar dan menjadi yang terbesar kedua setelah anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam hal diplomasi, Jokowi juga menyatakan bahwa Indonesia cukup dihormati dengan berbagai andilnya dalam perdamaian dunia.

Menanggapi pernyataan Prabowo, putri presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid Yenny juga menjelaskan bahwa besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia juga jauh lebih besar daripada Singapura.

Besaran biaya anggaran pertahanan Indonesia memang cukup besar bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Di Asia Tenggara sendiri, besaran biaya anggaran pertahanan Indonesia menempati posisi kedua setelah Singapura.

Pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno kemudian memberikan respons atas pernyataan Yenny tersebut. Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga Suhud Alynuddin menjelaskan bahwa proporsi anggaran pertahanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang masih pada tingkat 0,8 persen dan jauh lebih kecil dibandingkan milik Singapura yang mencapai 3,32 persen.

Jika diperhatikan, pernyataan Prabowo dan pihak BPN atas anggaran pertahanan Indonesia memang benar adanya. Bila dikalkulasaikan, proporsi anggaran pertahanan Indonesia terhadap PDB ini merupakan salah satu yang terkecil di Asia. Padahal PDB Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengenai penting tidaknya pertahanan yang lebih kuat bagi Indonesia. Benarkah pernyataan Prabowo mengenai tidak dihormatinya Indonesia di kancah dunia terjadi karena minimnya kekuatan militer?

Kekuatan Negara

Dalam politik internasional, setiap negara memiliki kekuatan masing-masing yang turut mempengaruhi dinamika politik internasional. Kekuatan ini pun menjadi tolok ukur bagi negara untuk saling berhubungan dalam dinamika internasional.

Yuen Foong Khong dalam tulisannya yang berjudul Power as Prestige in World Politics menjelaskan bahwa kekuatan suatu negara sendiri bersumber pada banyak hal, seperti kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan soft power. Istilah terakhir digunakan untuk menyebutkan  sumber kekuatan berupa budaya, gagasan, dan citra. Kekuatan negara inilah yang dapat mendukung prestise suatu negara dalam menjalankan hubungan antar-negara.

Robert Gilpin dalam bukunya yang berjudul War and Change in World Politics menjelaskan bahwa prestise merupakan persepsi negara-negara lain terhadap suatu negara dalam hal kapabilitas, kemampuan dan kehendak negara tersebut dalam menerapkan kekuatannya. Prestise pun menjadi penting bagi suatu negara agar dapat memenuhi kepentingannya dalam hubungan antar-negara karena menjadi ukuran kemampuan untuk memengaruhi negara lain dalam diplomasi dan negosiasi.

Lalu, bagaimanakah prestise dan kekuatan suatu negara dapat memengaruhi dinamika internasional?

Pengaruh prestise bisa kita lihat dalam kasus kekuatan politik Amerika Serikat (AS). Setelah Perang Dingin, AS menjadi satu-satunya negara dengan kekuatan terbesar dalam politik internasional.

Baca juga :  The Tale of Two Presidents’ Sons

Dalam data Global Fire Power, AS menempati posisi pertama dalam hal kekuatan militer dengan indeks 0,0615 – di mana 0,0000 adalah nilai indeks terbaik. Dalam bidang ekonomi, AS juga menempati posisi pertama dengan nilai PDB terbesar di dunia sebesar Rp 275,82 kuadriliun pada tahun 2017 berdasarkan data Bank Dunia. Demikianpun dalam hal soft power, di mana AS juga menempati posisi tertinggi pada tahun 2016 berdasarkan data Soft Power 30.

Prestise merupakan persepsi negara-negara lain terhadap suatu negara dalam hal kapabilitas, kemampuan dan kehendak negara tersebut dalam menerapkan kekuatannya. Share on X

Besarnya kekuatan AS ini pun telah memengaruhi dinamika politik internasional hampir secara keseluruhan sejak Perang Dunia II. Secara tidak langsung, AS telah membentuk tatanan global seperti sekarang ini. Pembentukan tatanan global oleh AS ini pun terjadi dalam hal norma dan nilai global, sistem perdagangan internasional, dan mekanisme penyelesaian sengketa antar-negara.

Pembentukan tatanan global ini pun dapat dilihat dari bagaimana gagasan-gagasan AS turut memengaruhi pembentukan badan dan aturan finansial penting dalam politik internasional, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Sistem finansial yang biasa disebut sebagai Sistem Bretton Woods ini pun memaksa banyak negara untuk ikut dalam sistem ekonomi internasional yang tidak jarang justru menjerat negara-negara tersebut.

Jika prestise dan kekuatan suatu negara seperti AS benar-benar dapat mempengaruhi tatanan dan dinamika hubungan internasional, bagaimana dengan prestise dan kekuatan Indonesia?

Prestise Indonesia

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan kekuatan yang cukup besar di Asia Tenggara. Dalam sejarah panjangnya, Indonesia juga turut memengaruhi dinamika internasional, misalnya dalam hal pembentukan Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan Gerakan Non-Blok (GNB).

Jika kita melihat kembali pernyataan Jokowi terkait kontribusi Indonesia dalam politik internasional, negara ini sesungguhnya juga banyak berkontribusi dalam berbagai upaya perdamaian dan kemanusiaan. Peran diplomatik Indonesia juga besar dalam berbagai forum internasional, apalagi pasca terpilih sebagai salah satu anggota tidak tetap di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Arah politik luar negeri Indonesia yang independen dan kontributif ini pun telah menjadi strategi Indonesia sejak merdeka. Tokoh proklamator Mohammad Hatta pun menjelaskan bahwa kerja sama dan hubungan antar-negara yang baik melalui forum-forum internasional merupakan tujuan-tujuan politik luar negeri Indonesia.

Jika apa yang dijelaskan Jokowi benar, lalu apakah itu berarti pernyataan Prabowo bahwa minimnya anggaran pertahanan melemahkan kekuatan Indonesia sepenuhnya salah?

Dalam hal kekuatan ekonomi, Indonesia memang memiliki PDB terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ke-16 di dunia pada tahun 2017. Kekuatan ekonomi ini pun membuat Indonesia juga digadang-gadang akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Dalam hal soft power, Indonesia juga menempati peringkat 9 di Asia berdasarkan data Soft Power 30 pada tahun 2018.

Namun, seperti yang dijelaskan oleh Khong dalam tulisannya, prestise suatu negara juga bersumber pada satu kekuatan lain, yaitu kekuatan militer. Dengan demikian, pernyataan  Prabowo dengan sendirinya mendapatkan pembenaran. Menurut Khong, kekuatan militer ini juga sering kali diukur berdasarkan proporsi anggaran militer terhadap PDB.

Berdasarkan data Indeks Kekuatan Asia dari Lowy Institute, kekuatan Indonesia di Asia pun hanya berada pada peringkat 10 dari 25 negara – lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain seperti Singapura dan Malaysia. Skor Indonesia dalam indeks tersebut pun dianggap lebih rendah dari skor yang diharapkan. Dalam data tersebut, kekuatan militer Indonesia juga hanya menempati peringkat 11.

Baca juga :  Prabowo's Revolusi Hijau 2.0?

Lemahnya kekuatan pertahanan dan militer Indonesia ini juga dibenarkan oleh Greg Fealy dan Hugh White dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s ‘Great Power’ Aspirations. Fealy dan White pun menjelaskan bahwa minimnya perhatian Indonesia terhadap pengembangan kekuatan militernya ini disebabkan oleh persepsi pemerintah terhadap minimnya ancaman dari luar.

Indonesia memang cukup menikmati situasi minim ancaman. Berbagai kerja sama dan prinsip-prinsip ASEAN – seperti non-interferensi dan musyawarah – turut mengamankan posisi Indonesia dalam hal keamanan.

Namun, apakah benar Indonesia akan tetap bebas ancaman eksternal di masa mendatang?

Ancaman bagi Indonesia?

Situasi politik dunia saat ini telah berubah jauh dibandingkan dengan situasi keamanan semenjak tahun 1960-an lalu. Tiongkok merupakan negara yang digadang-gadang akan menyaingi dominansi AS, termasuk di Asia Tenggara.

Berdasarkan Teori Transisi Kekuatan dari A.F.K. Organski dalam bukunya yang berjudul World Politics, tatanan internasional akan menjadi tidak stabil apabila terdapat negara non-dominan yang dapat menjadi pesaing bagi negara dominan. Ketidakstabilan pun akan hadir apabila negara pesaing ini tidak puas dengan tatanan global yang didirikan oleh negara dominan.

Bangkitnya Tiongkok ini pun akibatnya dapat menjadi ancaman bagi dominansi AS dan tatanan yang telah didirikannya di Asia-Pasifik. Hal ini pun bisa dilihat dari ketidakraguan Tiongkok untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan.

Bila berkaca kembali pada teori milik Organski tersebut, perdamaian di Asia-Pasifik pun akan terancam apabila Tiongkok yang tidak puas dengan status quo dapat memiliki kekuatan yang cukup untuk menggeser dominansi AS di kawasan tersebut.

Tampaknya pun, kekuatan Tiongkok saat ini terus tumbuh. Tidak menutup kemungkinan juga bila negara panda tersebut dapat memperoleh kekuatan yang cukup untuk berkonflik dengan AS.

Lantas, apa dampak dari tumbuhnya kekuatan Tiongkok terhadap Indonesia?

Ancaman dari Tiongkok ini memang tidak menutup kemungkinan juga dapat hadir bagi Indonesia. Kekhawatiran akan ancaman ini pun bahkan juga hadir di kalangan militer Indonesia terkait kemungkinan sengketa di Laut Natuna Utara dengan negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu.

Selain itu, Laut China Selatan merupakan wilayah penting bagi banyak negara di Asia-Pasifik. Berbagai negara, terutama negara-negara Asia Tenggara, juga merespons dengan peningkatan anggaran dan kekuatan militer akibat adanya ancaman tersebut. Peningkatan kekuatan militer di berbagai negara ini pun dapat menjadi sinyalir terhadap kemungkinan akan ketidakstabilan keamanan di kawasan Asia Tenggara.

Intinya, pesimisme Prabowo bisa jadi beralasan. Ketidakpastian situasi global, terutama di Asia-Pasifik, pun bisa saja menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Ancaman ini pun tidak hanya hadir sebagai ancaman keamanan, tetapi juga ancaman dan perebutan kepentingan ekonomi – mengingat Laut China Selatan merupakan jalur jaringan perdagangan besar di dunia.

Berbagai kemungkinan ini pun kembali lagi pada kebijakan pemerintah yang akan terpilih nanti. Siapa pun kandidat yang memenangkan Pilpres 2019 nanti tentu harus memikirkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi kemungkinan ancaman keamanan ini bila tidak ingin rakyat semakin sengsara di masa mendatang. Yang jelas, Prabowo telah jauh lebih unggul dalam menyadari potensi-potensi tersebut. (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.  

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

Rahasia Banyaknya Anak Pemimpin dalam Sejarah Timur

Di dalam sejarah, banyak pemimpin bangsa dari kultur Timur menjadi pemimpin dengan jumlah anak terbanyak. Kira-kira apa alasannya? 

East Java Simmetry of Authority

Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?

Prananda The Unwanted Crown Prince

Seiring makin senjanya usia Megawati, nama Prananda Prabowo kerap dibahas dalam konteks kandidat yang dinilai cocok untuk meneruskan tampuk kepemimpinan di partai.

Menkes Budi dan Ironi Tarung Elite Kesehatan

Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan aspek kesehatan masyarakat Indonesia secara konstruktif, elite pembuat keputusan serta para elite dokter dan tenaga kesehatan justru saling sindir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seolah masih belum menemukan ritme selaras, utamanya dengan asosiasi profesi kesehatan Indonesia yang bisa saja berbahaya bagi kepentingan kesehatan rakyat. Lalu, ada apa sebenarnya di balik intrik tersebut?

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

More Stories

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

no na dan Mimpi Besar Indonesian Pop

Debut girl group Indonesia, no na, menandai babak baru dalam perkembangan I-pop. Mungkinkah soft power dan diplomasi budaya Indonesia siap?