HomeNalar PolitikPolitical Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Political Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Kecil Besar

Dengarkan artikel berikut. Audio ini diciptakan dengan teknologi AI.

Gaya komunikasi politik Jokowi, Anies, dan Risma, dianggap jadi acuan keunikan berpolitik di Indonesia. Mungkinkah mereka telah ciptakan sesuatu yang disebut: political mimicry?


PinterPolitik.com

Belakangan ini, panggung perpolitikan Indonesia menyajikan satu fenomena menarik: munculnya kecenderungan politisi meniru gaya tokoh-tokoh yang lebih dulu sukses secara elektoral. Dalam konteks ini, gaya komunikasi politik tampaknya semakin menyerupai sebuah “template” yang direplikasi oleh para pejabat publik maupun elite baru.

Contoh yang cukup mencolok datang dari Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Baru-baru ini, ia mendapat sorotan karena menunjukkan sikap ekspresif saat menangani isu parkir liar di Surabaya. Respons emosional dan cara intervensinya di lapangan mengingatkan publik pada pendekatan Tri Rismaharini, pendahulunya, yang kerap tampil penuh luapan emosi dalam menangani persoalan sosial kota—meskipun konteks dan isu yang ditangani berbeda.

Fenomena serupa tampak pula dalam gaya komunikasi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Banyak pengamat menilai Gibran mewarisi gaya politik ayahandanya, Joko Widodo: mulai dari gestur tubuh, pemilihan diksi, hingga pendekatan blusukan. Bahkan dalam diskusi-diskkusi publik, Gibran cenderung menggunakan cara retoris yang mencerminkan pola komunikasi Jokowi dalam menghadapi dilema.

Menarik pula mencermati Gubernur Jakarta, Pramono Anung. Meskipun berlatar belakang teknokrat, gaya Pramono di beberapa momen publik menunjukkan adopsi terhadap pendekatan populisme elegan ala Anies Baswedan, terutama dalam cara menyusun narasi publik yang bernuansa moral dan retoris.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: mengapa banyak tokoh politik Indonesia tampak meniru gaya politik tokoh-tokoh populer sebelumnya? Bagaimana ilmu politik menjelaskan kecenderungan ini?

17499636824635316420786576454335

Political Mimicry dan Sistem Demokrasi

Dalam kajian ilmu politik, fenomena tiruan gaya kepemimpinan atau copying leadership style dikenal dengan istilah political mimicry.

Istilah ini merujuk pada kecenderungan aktor-aktor politik untuk mereplikasi elemen-elemen komunikasi, citra publik, hingga strategi populisme dari tokoh politik yang telah terbukti sukses secara elektoral. Fenomena ini bukanlah hal baru, dan dalam sistem demokrasi yang terbuka dan kompetitif, praktik ini bahkan menjadi salah satu strategi adaptasi.

Baca juga :  Selamat Datang Era "Perdamaian Panas"?

Secara teoritis, political mimicry merupakan bagian dari pendekatan institusional dan psikologis dalam ilmu politik. Teori ini mengasumsikan bahwa dalam sistem demokrasi yang menekankan pada pencitraan publik dan pengaruh media, keberhasilan seorang tokoh akan menciptakan “model ideal” yang cenderung direplikasi oleh politisi lain. Dengan kata lain, ketika satu gaya terbukti mampu membentuk persepsi publik positif dan mendongkrak elektabilitas, gaya tersebut dianggap sebagai template yang layak ditiru.

Ada beberapa faktor struktural yang menjelaskan kenapa mimicry ini menguat dalam demokrasi modern:

Logika elektoral dan pencitraan: Dalam sistem demokrasi, kemenangan politik sangat bergantung pada bagaimana politisi membangun hubungan dengan publik. Gaya komunikasi yang berhasil menciptakan kedekatan emosional—seperti blusukan ala Jokowi atau retorika intelektual Anies—membentuk standar baru dalam pencitraan politik. Para politisi yang belum memiliki gaya personal akan cenderung mengambil gaya-gaya yang telah terbukti berhasil, demi efisiensi waktu dan tenaga.

Absennya diferensiasi ideologis: Politik Indonesia saat ini didominasi oleh strategi elektoral pragmatis, bukan perbedaan ideologis yang kuat. Hal ini membuat gaya personal menjadi lebih penting dibandingkan pendekatan-pendekatan lainnya. Akibatnya, yang lebih tersorot adalah kemampuan untuk tampil layaknya tokoh yang bisa mengambil hati para pendukung dengan mudah.

Media dan budaya visual: Kehadiran media sosial turut mempercepat fenomena ini. Di era visual dan viral, gaya politik yang “berkarakter” lebih mudah tersebar dan diingat publik. Politisi cenderung mengadopsi gaya yang sebelumnya familiar agar lebih mudah dikenali ketika muncul di arus utama media. Faktor viralitas dalam algoritme juga mendukung hal ini, yang akhirnya mempermudah seorang aktor menjadi “top of mind” masyarakat.

Dengan demikian, political mimicry tidak hanya menjelaskan fenomena individu meniru individu, tapi juga memperlihatkan bagaimana struktur demokrasi dan budaya politik Indonesia memfasilitasi terjadinya duplikasi gaya.

Baca juga :  KL to Tehran: Mossad’s New Playground?

Menarik lantas untuk dipertanyakan: kira-kira bagaimana masa depan atas berkelindannya tren political mimicry dan demokrasi itu sendiri?

1749963709103739411896026443975

Adaptasi, Bertahan, Inovasi?

Fenomena political mimicry dalam lanskap politik Indonesia memperlihatkan bagaimana gaya komunikasi politik dapat menjadi elemen yang lentur dan mudah direplikasi. Dalam sistem demokrasi yang kompetitif, strategi ini bisa dibaca sebagai bentuk adaptasi: politisi yang belum memiliki gaya khas mencoba menyesuaikan diri dengan gaya tokoh-tokoh yang telah berhasil membangun kedekatan dengan publik.

Di satu sisi, praktik ini mencerminkan semacam kesinambungan politik. Ketika seorang kepala daerah mengadopsi gaya pemimpin sebelumnya, publik bisa merasa lebih familiar dan aman dengan pendekatan yang sudah mereka kenal. Begitu pula ketika figur nasional meniru gaya yang telah terbukti efektif secara elektoral—hal tersebut bisa dimaknai sebagai respons terhadap ekspektasi publik dan dinamika politik yang terus berubah.

Namun, di sisi lain, pertanyaan penting mulai muncul: apakah kecenderungan meniru ini membuka ruang bagi penguatan gagasan, atau justru membatasi keberagaman politik? Apakah politik sedang bergerak menuju keseragaman gaya tanpa diferensiasi substansi? Dan dalam jangka panjang, apakah ini artinya memang seperti inilah “template” panggung politik yang seharusnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk refleksi lebih dalam tentang bagaimana demokrasi Indonesia akan berkembang ke depan. Apakah kita akan terus melihat politisi-politisi baru yang tampil dengan gaya yang mirip satu sama lain? Atau, justru akan lahir tokoh-tokoh yang mampu membangun gaya komunikasi yang khas dan relevan dengan tantangan zaman?

Pada akhirnya, fenomena ini lebih dari sekadar tren komunikasi. Ia merefleksikan dinamika antara harapan publik, tekanan elektoral, dan proses pembentukan identitas politik di tengah arus demokrasi modern.

Namun, tentu ini semua hanya asumsi teoritis belaka. Yang jelas, gaya komunikasi politik akan terus menyeimbangkan diri dengan perkembangan zaman. Menarik untuk kita simak dinamikanya. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

Filosofi Kopi Prabowo Subianto?

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan kebiasaannya meminum kopi hitam. Apa sebenarnya filosofi kopi ala Prabowo?

Prabowo’s International Political Dance

Prabowo bisa dibilang menjadi salah satu presiden yang paling aktif dalam politik internasional. Ini kontras dengan presiden sebelumnya, Jokowi, yang tak begitu getol dalam panggung internasional kecuali jika berhubungan dengan masalah ekonomi.

King Indo Linguistic Flex

Bahasa Indonesia agaknya makin mendominasi ruang digital negara lain, khususnya Malaysia, dari TikTok hingga ruang kelas. Fenomena ini tampaknya bukan sekadar soal bahasa, tapi ekspansi soft power Indonesia di Asia Tenggara. Apakah ini adalah gejala menuju lahirnya “King Indo Digital Empire”?

The Gibran’s Gambit?

Penugasan Wakil Presiden Gibran dalam percepatan pembangunan Papua membuka ruang analisis baru dalam dinamika kepemimpinan nasional. Di balik mandat kelembagaan ini, tersirat peluang pembentukan citra politik yang lebih otonom dan strategis.

Mythical Leaders from Gunung Lawu?

Gunung Lawu, menjulang gagah di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bukan sekadar gunung. Ia adalah jantung rahasia Jawa, tempat para leluhur dipercaya masih bersemayam, dan panggung abadi bagi narasi kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu.

More Stories

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

The Gibran’s Gambit?

Penugasan Wakil Presiden Gibran dalam percepatan pembangunan Papua membuka ruang analisis baru dalam dinamika kepemimpinan nasional. Di balik mandat kelembagaan ini, tersirat peluang pembentukan citra politik yang lebih otonom dan strategis.

America Party, PSI Elon Musk?

Elon Musk dikabarkan akan mendirikan America Party sebagai partai ketiga di AS, menantang dominasi Partai Demokrat dan Republik. Mungkinkah ini strategi untuk “menggerogoti” status quo peta politik?