Bahaya PHK masih terus mengancam Indonesia. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran besar dari permasalahan ini?
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menerpa dunia kerja Indonesia. Dalam dua bulan pertama tahun 2025 saja, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 18.610 pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka.
Angka ini bahkan bisa lebih tinggi jika merujuk pada data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menyebut jumlah korban PHK mencapai sekitar 60.000 orang dalam periode yang sama. Sejumlah perusahaan besar seperti Sritex, PT Yamaha Music, PT Sanken Indonesia, dan PT Victory Ching Luh tercatat melakukan PHK massal karena berbagai alasan, mulai dari kebangkrutan hingga penutupan pabrik.
Situasi ini bukan hanya mengkhawatirkan, tapi juga memberi sinyal bahwa dunia industri Indonesia tengah berada dalam tekanan besar. Ironisnya, di tengah ancaman tersebut, upaya mitigasi dari pihak-pihak terkait, seperti pemerintah maupun kalangan pengusaha masih tampak terbatas.
Belum ada sinyal darurat yang kuat yang mengarahkan publik untuk melihat bahwa fenomena PHK ini bisa membesar menjadi krisis nasional jika tidak segera diantisipasi. Padahal, dengan ketidakpastian ekonomi global yang masih berlangsung—mulai dari tren pelemahan permintaan ekspor hingga disrupsi teknologi dan geopolitik—potensi PHK di Indonesia bukan tidak mungkin akan memburuk dalam beberapa bulan ke depan.
Pertanyaannya, mengapa kesadaran untuk memitigasi masalah PHK ini masih tampak rendah? Mengapa pemerintah, pengusaha, dan publik terlihat belum siapkan mitigasi yang memadai terhadap potensi gelombang pengangguran besar-besaran?

Waspada Terjebak Boiling Frog Syndrome?
Fenomena minimnya respons terhadap ancaman PHK ini bisa jadi dapatdijelaskan lewat apa yang disebut sebagai boiling frog syndrome. Ini adalah metafora tentang seekor katak yang jika dimasukkan ke dalam air panas secara mendadak, akan langsung melompat keluar. Tapi jika ia dimasukkan ke dalam air dingin yang dipanaskan perlahan, ia tidak akan sadar hingga akhirnya mati terpanggang.
Dalam konteks PHK massal di Indonesia, mungkin saat ini semua pihak belum merasa sedang dalam “air mendidih”. Angka PHK mungkin masih dianggap “normal” dalam konteks ekonomi global yang fluktuatif. Namun, yang terlupakan adalah bahwa PHK tidak bisa dipandang sebagai statistik semata. Setiap angka mewakili individu, keluarga, dan komunitas yang terdampak. Jika penanganan lambat, tumpukan PHK ini bisa menciptakan tekanan sosial-ekonomi baru seperti meningkatnya angka pengangguran struktural, penurunan daya beli masyarakat, dan meningkatnya ketimpangan.
Selain boiling frog syndrome, kita juga bisa memahami lambannya respons ini bisa jadi akibat sesuatu yang disebut teori institutional inertia. Teori ini menjelaskan bahwa institusi—baik itu pemerintah, organisasi pengusaha—memiliki kecenderungan untuk mempertahankan status quo. Mereka bekerja berdasarkan rutinitas, aturan, dan sistem lama yang sulit diubah, bahkan ketika perubahan sangat dibutuhkan. Alhasil, meskipun ancaman PHK sudah terlihat, sistem penanganan tetap berjalan lambat karena tidak adanya mekanisme respons cepat atau fleksibilitas kebijakan yang adaptif.
Ketika dua faktor ini—boiling frog syndrome dan institutional inertia—bertemu, kita mendapatkan situasi yang berbahaya: ancaman membesar, tapi kesadaran dan kemampuan merespons justru stagnan.

Saatnya Bergerak Sebelum Terlambat
Situasi ini menuntut kesadaran kolektif. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil harus berhenti menganggap PHK sebagai fenomena musiman yang bisa berlalu begitu saja. Kita butuh mekanisme tanggap darurat yang kuat, terutama di sektor-sektor yang rentan seperti tekstil, elektronik, dan industri padat karya lainnya.
Saat ini, pemerintah sudah memulai langkah yang tepat. Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu menggagas pembentukan satuan tugas (satgas) PHK. Gagasan ini patut diapresiasi sebagai bentuk pengakuan bahwa masalah PHK adalah isu serius yang perlu ditangani secara sistemik. Namun, satgas saja tidak cukup. Diperlukan kolaborasi lintas sektor yang lebih luas, mulai dari kementerian teknis hingga asosiasi pengusaha dan serikat pekerja, untuk menciptakan sistem peringatan dini dan program re-skilling-massal yang konkret.
Selain itu, penting bagi pemerintah daerah untuk lebih terlibat aktif dalam mengantisipasi dan merespons gelombang PHK di wilayah masing-masing. Sektor industri di daerah sering kali lebih rentan, dan jika dibiarkan, krisis ketenagakerjaan bisa memperparah kesenjangan antar-wilayah.
Terakhir, media dan masyarakat sipil juga berperan penting dalam membangun kesadaran publik. Jangan sampai kita semua menjadi katak rebus yang baru menyadari krisis setelah semuanya terlambat. PHK bukan sekadar masalah industri—ia adalah isu kemanusiaan, ekonomi, dan politik yang menyentuh inti keadilan sosial di negeri ini.
Mari bergerak sebelum suhu krisis benar-benar mendidih. (D74)