HomeNalar PolitikPesona Wayang Inspirasi Perjuangan Tjokroaminoto

Pesona Wayang Inspirasi Perjuangan Tjokroaminoto

Polemik “wayang haram” seolah tak ada habisnya dan menampilkan irisan keterbelahan. Padahal jika dirunut dari sejarahnya, wayang merupakan inspirasi Tjokroaminoto, seorang guru bangsa, tokoh yang menjadi penyatu bukan pembelah. Lantas, seperti apa pesona wayang dapat menginspirasi perjuangan Tjokroaminoto?


PinterPolitik.com

Wayang adalah warisan kebudayaan bangsa Indonesia  yang telah lama dikenal dunia. Sebagai buktinya, pada tanggal 7 November 2003, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mendapuk wayang Indonesia sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya Agung Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan).

Melalui aturan undang-undang di Indonesia, wayang juga dilindungi  oleh Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017. Dan juga Keputusan Presiden No. 30 Tahun 2018 yang menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional.

Terasa sudah jelas bahwa wayang adalah entitas yang penting bagi bangsa ini. Tapi akhir-akhir ini, perhatian kita tertuju pada polemik yang melibatkan wayang sebagai bahan diskusi yang hangat dan bahkan viral dalam pembicaraan warganet.

Polemik ini bermula ketika Khalid Basalamah, seorang da’i yang mengomentari pertanyaan jemaah soal hukum wayang dalam Islam. Ia menyebut sebaiknya itu ditinggalkan dan meminta dalang bertaubat karena tak sesuai dengan standar Islam. Pernyataan itu lantas menuai reaksi keras dari berbagai kalangan terutama kalangan dalang.

Kemudian, pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah menggelar pertunjukan wayang kulit di Pondok Pesantren asuhannya, Ora Aji, Sleman Yogyakarta. Pertunjukan itu dinilai penuh sindiran yang diduga ditujukan untuk penceramah yang mempermasalahkan keharaman wayang. Warganet pun mengecamnya.

Meski akhirnya Khalid Basalamah telah menjawab permasalahan yang hangat dibicarakan, bahwa dia tidak pernah menyatakan bahwa wayang itu haram dan juga sudah minta maaf. Tapi, polemik tentang “wayang haram” terus mengalir di media sosial.

Untuk menyikapi kontroversi dari polemik ini, sebenarnya terlihat bahwa hal ini berbanding terbalik dengan kisah tokoh pejuang bangsa ini. Salah satunya adalah tokoh Islam yang juga menyukai dunia pewayangan, yaitu  Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Kalau wayang haram, bagaimana mungkin Tjokroaminoto menggemari wayang? Tjokroaminoto yang pernah menjadi Ketua Umum Sarekat Islam dikenal sebagai penggemar wayang, dan terinspirasi tokoh Hanoman dalam cerita Ramayana dalam pewayangan.

Lantas, muncul pertanyaan, seperti apa cerita di balik inspirasi Hanoman dalam perjuangan Tjokroaminoto?

Baca juga: Jokowi Terjebak Wayang vs Islam Politik?

Hanoman Idola Tjokroaminoto

Terlahir sebagai darah biru, Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 16 Agustus 1882. Ayahnya, R.M. Tjokroamiseno, adalah seorang wedana atau asisten bupati. Sedangkan sang kakek, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah menjadi Bupati Ponorogo.

Tjokroaminoto yang oleh  pemerintah Hindia Belanda dijuluki De Ongekroonde Van Java, yaitu raja Jawa tanpa mahkota, merupakan tokoh yang luas dikenal sebagai guru bangsa. Rumahnya di Surabaya adalah “chandradimuka” tempat penempaan tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno, Muso, Alimin hingga Kartosoewirjo. Selain sebagai guru politik para tokoh, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai orang yang mencintai kesenian, khususnya kesenian wayang.

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Andri Setiawan dalam tulisannya Tjokroaminoto Jadi Hanoman, mengatakan Tjokroaminoto adalah salah satu tokoh bangsa yang suka main wayang orang dengan berperan sebagai Hanoman, di mana Hanoman disimbolkan sebagai karakter yang berjuang melawan penjajah.

Menurut catatan sejarah, bakat seni Tjokroaminoto telah muncul sejak dia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di kota Magelang. Dalam pendidikannya di OSVIA, selain mendapatkan pendidikan sebagai calon pegawai pemerintahan, dia juga diajarkan tentang berbagai kesenian Jawa.

Harsono Tjokroaminoto dalam bukunya Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah, menerangkan, bahwa dalam pendidikan di OSVIA, terdapat sebuah aib jika seorang priyai lulusan OSVIA tidak mahir dalam menari tarian Jawa.

Hal ini menunjukkan bahwa cerita pendidikan Tjokroaminoto sangat sarat dengan kesenian Jawa saat di OSVIA. Sampai pada tahun 1902, dia berhasil lulus dari OSVIA dan menjadi pegawai pamong praja, yang ditempatkan di Ngawi sebagai juru tulis patih.

Harsono melanjutkan, Tjokroaminoto dalam bermain wayang orang di setiap pertunjukan, sering memerankan tokoh Hanoman. Sosok kera putih sakti yang terdapat dalam cerita pewayangan Ramayana, yang juga merupakan tokoh wayang idola dari Tjokroaminoto.

Hal ini diterangkan pula oleh Amelz dalam bukunya H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuanganya. dikatakan, Tjokroaminoto memilih Hanoman sebagai karakter yang diidolakan dikarenakan ingin mengekspresikan isi jiwanya dalam menghadapi perjuangan bangsanya.

Seperti yang umum diketahui, bahwa dalam kisah Ramayana, Hanoman tergabung dalam pasukan wanara yang berhasil mengalahkan banyak tentara dari pihak musuh, yaitu tentara Dasamuka. Dasamuka sendiri oleh Tjokroaminoto disimbolkan sebagai karakter dari tokoh penjajah.

Selain tokoh Hanoman yang merupakan karakter seorang ksatria tangguh. Dalam cerita Ramayana, juga ditunjukkan kisah romansa yang menyentuh perasaan ketika melihat kisah cinta Rama dan Shinta dalam cerita tersebut.

Kisah Tjokroaminoto dengan istrinya Soeharsikin, adalah cerita tentang keteguhan hati istri yang mendampingi sang suami. Meskipun keduanya merupakan putra-putri yang terlahir dengan sendok emas, perjalanan cinta mereka ternyata cukup bergejolak.

Rumah tangga yang awalnya harmonis diterjang badai saat Tjokroaminoto memutuskan berhenti menjadi abdi negara. Di mana kala itu, Tjokroaminoto melihat buruh sebagai lapisan masyarakat yang tertindas dengan kebijakan penjajah.

Vany El-Rahma dalam tulisannya Kisah Soeharsikin Ratu Tanpa Mahkota dari Tanah Jawa, mengatakan Soeharsikin jelas bukan perempuan biasa. Bersama sang suami, ia membentuk karakter Soekarno yang kala itu berusia 15 tahun, hingga kisah romansanya yang menolak untuk menceraikan Tjokroaminoto karena desakan orang tuanya.

Baca juga :  The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Kisah Tjokroaminoto dan cerita keteladanan sang istri yang setia seolah tampak terinspirasi dari kisah pewayangan Ramayana. Kisah perjuangan dan romansa membentuk karakter kehidupan Tjokroaminoto yang kemudian diteruskan oleh para muridnya kemudian hari.

Well, dari kisah Tjokroaminoto di atas, lantas, seperti apa memaknai kisah yang terinspirasi dari cerita pewayangan Ramayana tersebut?

Baca juga: Ganjar Pranowo, Wayang yang Kebingungan?

Dalang kerusuhan Aksi 22 Mei

Wayang Pembentuk Budaya Politik

Tjokroaminoto memperlihatkan bahwa wayang sebagai warisan budaya Jawa dapat berbaur dengan semangat Islam. Karena nilai-nilai universal yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia untuk merdeka, merupakan bagian integral antara tradisi wayang dari Jawa dan semangat membela Tanah Air dari konsepsi Islam itu sendiri.

Selain untuk mentransfer nilai-nilai masyarakat, wayang juga dapat dipakai sebagai medium untuk meninjau hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Kewajiban-kewajiban warga negara, kewajiban-kewajiban para penyelenggara pemerintahan, semuanya mendapatkan tempat dalam cerita wayang.

Bahkan dalam cerita Ramayana, seorang penyelenggara pemerintahan yang angkara murka berhadapan dengan ksatria yang membela kebenaran. Meskipun sang Rama itu sebenarnya membela dirinya sendiri saja, tapi karena berhadapan dengan Rahwana yang angkara murka, maka Rama menjadi simbol perjuangan kebenaran menentang kebatilan.

Hal ini memperlihatkan bahwa wayang dapat menjadi alat budaya dalam jangka panjang, kemudian membentuk budaya politik. Budaya politik yang secara lambat tapi pasti membentuk pendapat umum mengenai penyelenggaraan kekuasaan. Ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk kita renungkan.

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba dalam bukunya The Civic Culture, mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain, serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem politik.

Hal ini tergambarkan dari sikap Tjokroaminoto yang terinspirasi dari kisah Ramayana, khususnya kisah perjuangan Hanoman membantu Rama untuk menyelamatkan Sinta yang diculik oleh Rahwana. Kemudian terejawantahkan dalam perjuangannya sendiri untuk merebut kemerdekaan yang dicuri oleh para penjajah. Sangat jelas sikap perjuangan yang nantinya dikenal sebagai budaya politik dapat terinspirasi dari kisah pewayangan.

Suraji dalam tulisannya Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik, menafsirkan wayang merupakan stock opname untuk melihat keadaan. Karena itu, wayang tidak pernah sepi dari pergulatan-pergulatan dan percaturan politik.

Akhirnya, setiap orang dapat melakukan penafsiran-penafsiran politis atas cerita wayang. Bahkan jika menonton wayang namun tidak mengerti implikasi politiknya, seolah akan terasa aneh. Hal ini yang menjadi penjelasan bahwa budaya politik yang dikembangkan oleh wayang merupakan bagian yang sangat indah. (I76)

Baca juga: Moeldoko adalah Dalang atau Hanya Wayang?


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...