HomeNalar PolitikPermainan Psikologi Putin Sang Alpha

Permainan Psikologi Putin Sang Alpha

Vladimir Putin dikenal sebagai salah satu politisi yang suka memainkan psikologi lawan-lawan politiknya. Ia kerap datang telat ketika akan bertemu dengan para kepala negara lain, tetapi selalu tepat waktu saat konferensi pers atau wawancara. Ia bawa anjing saat bertemu Angela Merkel karena tahu pemimpin Jerman itu takut pada anjing. Kini ia menginvasi Ukraina karena khawatir akan keamanan negaranya. Tak heran, beberapa pihak menjulukinya sebagai contoh politisi alpha.


PinterPolitik.com

“If you want peace, you don’t talk to your friends. You talk to your enemies”.

::Desmond Tutu::

Tanggal 7 Mei tahun 2000 menandai sebuah babak baru dalam politik internasional. Ini adalah tanggal ketika Rusia resmi melantik Vladimir Putin sebagai presiden negara tersebut.

And then the rest is history. Rusia yang pasca kejatuhan Uni Soviet terombang-ambing dalam korupsi, ketidakpastian ekonomi, privatisasi berbagai sektor yang berujung pada ketimpangan ekonomi, dan berbagai masalah sosial lainnya, pada akhirnya mendapatkan seorang pemimpin kuat.

Sebagai mantan agen intel Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti alias KGB, Putin menganggap kejatuhan Soviet sebagai “bencana geopolitik” bagi Rusia karena hilangnya wilayah yang terpecah menjadi 15 negara.

Kini, Rusia di bawah Putin telah menjadi pemain utama politik global. Invasi Rusia ke Ukraina yang terjadi beberapa waktu terakhir menjadi pembuktian narasi politik Putin dan visinya soal kejayaan masa lalu Uni Soviet.

Tentu pertanyaannya adalah apa yang menjadi dasar cara berpikir Putin dalam kebijakan-kebijakannya? Benarkah invasi Ukraina hanya menjadi “kegilaan” kepemimpinan seperti yang pernah terjadi pada para pemimpin bertangan kuat lain di masa lalu?

Jalan Politik Putin

Lahir pada 7 Oktober 1952, Vladimir Vladimirovich Putin – demikian nama lengkapnya – punya garis darah yang melekat pada pemerintahan Uni Soviet. Kakeknya, Spiridon Putin, adalah chef pribadi untuk pemimpin tertinggi Uni Soviet: Vladimir Lenin dan Joseph Stalin.

Sedangkan ayah Putin, Vladimir Spiridonovich Putin adalah bagian dari Angkatan Laut Uni Soviet yang bertugas di Kapal Selam. Sang ayah terlibat membela Soviet di Perang Dunia II.

Nenek Putin dari sang ibu menjadi bagian dari orang-orang yang meninggal akibat Perang Dunia II. Demikianpun dengan saudara laki-laki Putin yang menjadi korban dari perang tersebut. Di tahun 2015, dalam tulisannya untuk majalah Russky Pioner, Putin membagikan kisah keluarganya di masa-masa perang, misalnya terkait ibunya yang nyaris meninggal kalau tidak diselamatkan dan dirawat oleh ayahnya.

Kisah latar keluarganya ini sangat jelas membentuk pribadi Putin dan pandangannya tentang superioritas negara. Pengalaman keluarganya seolah menyiratkan bahwa negara harus kuat, sehingga bisa melindungi warganya dari serangan musuh.

Putin muda belajar bela diri Sambo dan Judo sejak usia 12 tahun. Ia membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin. Ia belajar Bahasa Jerman dan fasih berbicara bahasa ini sebagai bahasa keduanya. Inilah yang mungkin membuat ia ditempatkan sebagai agen KGB di Jerman setelah ia direkrut oleh lembaga intelijen itu di tahun 1975. Putin memang ditempatkan sebagai mata-mata di Dresden, Jerman Timur, hingga kemudian memutuskan pensiun setelah Uni Soviet runtuh di tahun 1991.

Baca juga :  Trump Ancam BRICS, Prabowo Balik Kanan?

Setelah Soviet runtuh, Rusia kemudian dipimpin oleh Boris Yeltsin yang membawa negara tersebut cenderung dekat dengan Barat. Pemerintahannya penuh dengan korupsi dan ia bergantung pada dukungan dari para oligark yang merupakan para pengusaha yang jadi orang-orang kaya baru pasca mengambil alih aset-aset negara setelah privatisasi ekonomi terjadi di Rusia.

Putin awalnya menjabat sebagai Deputi Wali Kota St. Petersburg. Ia memanfaatkan posisinya untuk memperkuat relasi dengan oligark dan sekutu yang mendukungnya. Ia juga akhirnya dekat dengan Yeltsin yang menunjuknya menjadi Deputi Kepala Staf Kepresidenan di tahun 1997.

Kemudian di tahun 1999 Putin ditunjuk menjadi Perdana Menteri, sebelum kemudian menjabat sebagai pelaksana jabatan Presiden setelah Yeltsin mundur di akhir tahun 1999. Ia kemudian resmi dilantik sebagai Presiden Rusia pada 7 Mei tahun 2000.

Setelah berkuasa, Putin memang memandang Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat sebagai salah satu tantangan utamanya. Ini karena The North Atlantic Treaty Organization atau NATO sebagai pakta pertahanan negara-negara Sekutu masih terus melakukan “ekspansi” dan menerima anggota baru, termasuk dari negara-negara bekas Uni Soviet. 

Faktanya salah satu alasan Putin melakukan invasi ke Ukraina adalah karena konteks aksi NATO ini yang terus meluaskan pengaruhnya ke wilayah negara-negara yang berbatasan dengan Rusia.

Ukraina sendiri disebut-sebut mengupayakan diri menjadi anggota NATO. Pada 8 Oktober 2020 lalu, dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta agar negaranya mendapatkan NATO Membership Action Plan. Harapannya adalah keanggotaan di NATO akan membantu Ukraina mengamnkan wilayah dan perbatasannya.

Persoalan keanggotaan NATO ini penting, mengingat jika resmi menjadi anggota pakta pertahanan ini, maka serangan ke wilayah Ukraina akan dianggap sebagai serangan ke seluruh NATO. Bagi Putin, ini tentu akan menjadi ancaman yang lebih besar bagi Rusia. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan akhirnya Ukraina diserang.

Persoalannya juga makin kompleks jika membaca artikel tulisan Putin berjudul “On The Historical Unity of Russians and Ukrainians” yang dipublikasikan pada 12 Juli 2021 lalu di website resmi Kremlin. Dalam artikel 5000 kata itu, Putin menjelaskan risalah sejarah dalam sudut pandangnya terkait cultural bond atau ikatan kultural antara orang-orang Ukraina dan orang-orang Rusia.

Ia menyebut orang Ukraina dan orang Rusia sebagai bagian dari kebudayaan Ancient Rus yang ada di era Kievan Rus sejak abad ke-10. Karena hal inilah maka sudah seharusnya Ukraina, Rusia dan juga Belarusia menjadi “sebuah kesatuan” entitas masyarakat.

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Konteks risalah sejarah yang dibuat Putin ini kemudian melahirkan lapisan-lapisan dalam setiap kebijakan yang ia buat, utamanya yang menyangkut Ukraina atau negara-negara lain di sekitarnya. Goals kekuasaan Putin adalah terciptanya negara Rusia yang kuat, baik dalam konteks stabilitas politik dalam negeri, maupun dalam konteks relasi dengan tetangga-tetangganya dan dunia internasional.

The Alpha

Terkait hal itu, dalam kajian psikologi kepemimpinan, ada istilah yang disebut sebagai Alpha Instinct atau insting Alpha. Ini adalah kecenderungan seseorang untuk menjadi pemimpin yang dominan dan cenderung agresif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan rasa hormat, didengarkan, atau diikuti oleh orang lain.

Dalam segala pengalaman keluarganya dan visi politik untuk menjadikan Rusia sebagai negara yang kuat, Putin boleh jadi adalah salah satu contoh pemimpin yang kuat secara instingtif menjadi seseorang yang dominan.

Ini juga menjadi hal yang lengkap jika melihat kepiawaian Putin memainkan psikologi lawan politiknya. Ketika bertemu dengan Angela Merkel misalnya, Putin membawa anjing. Ia tahu Merkel takut anjing, sehingga memainkan psikologi pemimpin Jerman itu. 

Putin juga suka memainkan psikologi para pemimpin negara dengan telat datang menemui mereka. Lagi-lagi Angela Merkel memegang rekor sebagai yang terlama menunggu Putin hingga 4 jam lebih. Bahkan Ratu Elizabeth II pun tak luput dari permainan psikologi telat ini.

Banyak yang menyebut kebiasaan suka telat Putin ini sebagai cara untuk menegaskan otoritasnya, apalagi ia hampir tak pernah telat saat wawancara atau konferensi pers.

Lalu, bagaimana dengan kehidupan personalnya? Well, Putin menikah dengan Lyudmila Shkrebneva di tahun 1983, namun kemudian dikabarkan bercerai di tahun 2008 lalu. Putin lalu disebut dekat dengan atlet olimpiade Rusia, Alina Kabaeva.

Terkait lingkaran politiknya, Putin memang disebut dekat dengan para oligark Rusia. Salah satunya adalah Roman Abramovich – taipan yang menjadi pemilik klub sepak bola Inggris, Chelsea FC. Kini, Abramovich mendapatkan tekanan yang luar biasa di Eropa dan dijatuhi sanksi keuangan akibat relasinya tersebut.

Apapun itu, yang jelas Putin memang menjadi sosok pemimpin yang kuat, disegani, ditakuti, dianggap kejam, tapi juga banyak diidolakan. Di Indonesia sendiri, Putin adalah salah satu pemimpin yang digemari karena posisi politiknya yang kerap berseberangan dengan Barat. Ia dianggap sebagai antitesis dari kepemimpinan politik Amerika Serikat dan negara-negara Barat.

Pada akhirnya kita memang masih akan menyaksikan kiprah Putin di waktu-waktu yang akan datang. Harapannya memang perang yang terjadi di Ukraina bisa segera dihentikan. Bagaimanapun juga, perang akan selalu menghasilkan kehancuran. Sebab, seperti kata Plato: “Only the dead have seen the end of war.” (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

More Stories

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.