Penolakan terhadap Fahri ini seolah mengingatkan kita pada hal yang sama ketika Front Pembela Islam (FPI) ditolak kedatangannya di beberapa daerah di Kalimantan. Demikian pun halnya dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI yang juga ditolak kedatangannya di Balikpapan.
PinterPolitik.com
“Politicians are the same all over. They promise to build a bridge even where there is no river” – Nikita Khrushchev (1894-1971)
[dropcap size=big]B[/dropcap]ukan namanya Fahri Hamzah kalau tidak dekat dengan kontroversi. Setelah secara sepihak mengetuk palu dan tidak mengindahkan interupsi anggota DPR RI saat rapat paripurna Hak Angket KPK pada 28 April 2017 lalu, kali ini Fahri Hamzah menjadi bulan-bulanan ketika ribuan warga Manado menolak kedatangannya di Bandara Sam Ratulangi, Manado pada 13 Mei 2017 kemarin. Ribuan orang tersebut membawa spanduk dan poster yang berisikan berbagai seruan, di antaranya bertuliskan “Usir si mulut busuk Fahri”, seperti dikutip dari laman Kompas.com.
Wakil Ketua DPR RI itu memang dijadwalkan menghadiri sejumlah kegiatan di Manado pada hari itu. Fahri mendarat di Bandara Sam Ratulangi pada Sabtu pagi. Namun, kedatangannya ditolak oleh ribuan orang yang sudah berkumpul sejak pagi hari untuk mencegat Fahri beraktivitas di Manado. Massa bahkan bersikeras masuk ke area bandara untuk mencari Fahri yang disebut tengah berada di ruang VIP bandara.
Massa berusaha mencegat agar Fahri tidak keluar dari ruangan VIP. Namun, rombongan Fahri bisa lolos dari kerumunan massa dengan memilih jalan alternatif. Massa pun marah setelah mengetahui hal itu. Barikade polisi yang berjaga di depan pintu pagar gedung VIP Bandara pun berhasil dijebol massa yang memaksa masuk.
Polisi tak bisa berbuat banyak karena massa penerobos diikuti oleh barisan penari Kabasaran – sebuah tarian perang dari Minahasa. Dalam tiap pentas Kabasaran, penarinya selalu membawa parang panjang. Polisi sempat menembakkan gas air mata. Namun untuk menghindari bentrokan, polisi akhirnya membiarkan sebagian massa masuk ke dalam halaman gedung VIP.
https://www.youtube.com/watch?v=g4Cbmz2WT70
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey berusaha untuk menenangkan massa. Namun, massa bersikeras menolak Fahri Hamzah datang ke Manado. Saat menyampaikan seruan agar massa tidak bertindak berlebihan, Olly malah disambut dengan teriakan. Pintu kaca ruang tunggu bandara ambruk dan hancur karena peristiwa ini.
Massa kemudian bergerak ke Kantor Gubernur. Polisi berusaha menahan massa agar tidak masuk ke dalam halaman Kantor Gubernur. Salah satu orator yang berteriak cukup keras di depan gedung Gubernur Sulawesi Utara adalah seorang ibu muda yang belakangan diketahui bernama Nova Gosal. Dalam sebuah rekaman video amatir terlihat perempuan tersebut berapi-api mengecam tindakan Gubernur Olly yang menyambut Fahri Hamzah di bandara.
https://www.youtube.com/watch?v=-WfrHQFp8Fw
Peristiwa ini tentu mengejutkan, mengingat Fahri Hamzah adalah wakil rakyat yang notabene dipilih oleh rakyat. Namun, justru rakyat lah yang menolak kehadirannya. Tak dapat dipungkiri bahwa peristiwa ini sangat dipengaruhi oleh konstelasi politik di tingkat nasional yang untuk beberapa waktu terakhir dipenuhi dengan saling sikut yang mulai berujung pada perpecahan.
Peristiwa ini juga menggambarkan dengan jelas bahwa apa yang terjadi di ibukota selama 6 bulan terakhir telah mempengaruhi masyarakat hingga ke pelosok daerah. Banyak pihak yang mengecam aksi penolakan ini, termasuk Ketua PKB, Muhaimin Iskandar yang menganggap pengepungan bandara tersebut sebagai hal yang melanggar Undang-Undang. Fahri sendiri hanya beberapa jam di Manado. Ketika sempat keluar dari bandara, dia hanya berkunjung sebentar ke Kantor Gubernur Sulawesi Utara, sorenya langsung kembali ke Jakarta.
Fahri Ditolak Di Manado: Ada Apa?
Massa tersebut dalam orasinya menolak Fahri karena dianggap kerap melontarkan pernyataan yang memicu intoleransi. Massa mengatakan bahwa rasa kecintaan masyarakat pada bangsa dan negara ini seringkali menjadi rusak oleh ucapan-ucapan para politisi yang berbicara seenaknya dan seringkali tidak memikirkan kepentingan rakyat banyak.
padahal yang diminta yang mulia Fahri Hamzah hanyala demokrasi berdasarkan kepentingan segelintir kelompok… bukan Demokrasi Pancasila pic.twitter.com/g0fgBi7pb6
— Albert Batlayeri? (@AlbertBatlayeri) May 15, 2017
Nova Gaosal bahkan mengatakan bahwa rakyatlah yang menggaji para pejabat publik itu, sehingga untuk kepentingan rakyatlah mereka harus bekerja. Namun, faktanya banyak pejabat publik yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat, bahkan seringkali ingin memecah belah bangsa.
Penolakan terhadap Fahri ini seolah mengingatkan kita pada hal yang sama ketika Front Pembela Islam (FPI) ditolak kedatangannya di beberapa daerah di Kalimantan. Demikian pun halnya dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI yang juga ditolak di Balikpapan. Namun, penolakan terhadap Fahri ini unik sebab FPI dan GNPF-MUI ditolak karena ideologinya. Sementara Fahri ditolak karena sikap dan pernyataannya yang seringkali kontroversial. Kita tentu ingat pernyataan Fahri yang menyebut Jokowi ‘sinting’ karena menetapkan hari Santri Nasional. Ia juga sering keras mengkritik KPK yang dianggap arogan dalam memberantas korupsi.
Terkait penolakan masyarakat Manado, Fahri menanggapinya dengan menyebutkannya sebagai sebuah kerinduan masyarakat padanya.
Bagiku kemarahan padamu nampak seperti kerinduan padaku….#IndonesiaKita https://t.co/OuHc146b2y
— #MerdekaBro! (@Fahrihamzah) May 14, 2017
Hal lain yang membuat peristiwa ini menarik untuk dibahas adalah sikap Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey yang menyambut Fahri. Tentu saja tidak ada hal yang aneh dari penyambutan tersebut, mengingat Fahri adalah pimpinan DPR RI, oleh karena itu sudah selayaknya disambut oleh pejabat pemerintah daerah.
Olly adalah gubernur dari PDIP yang dulu juga pernah menjabat sebagai anggota DPR RI. Saat ini ia menjabat sebagai Bendahara Umum PDIP periode 2015-2020 sekaligus juga ketua DPD I PDIP Sulawesi Utara – Olly adalah satu-satunya kader PDIP yang memiliki jabatan di DPD I dan merangkap jabatan sebagai pengurus DPP PDIP. Olly juga pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dan pernah menduduki posisi Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI antara tahun 2009 sampai 2014. Hal yang menarik adalah karena Olly diduga terlibat dalam kasus korupsi Hambalang dan yang terbaru, dalam kasus e-KTP. Kasus-kasus korupsi tersebut saat ini sedang ditangani oleh KPK.
Sementara, Fahri Hamzah adalah salah satu anggota DPR yang paling kuat menyuarakan Hak Angket DPR untuk KPK. Apakah hal-hal tersebut ada hubungannya? Mungkin publik bisa membuat penilaian tersendiri atas semua hal tersebut. Posisi Olly yang pernah menjadi rekan Fahri di DPR, menduduki posisi di Banggar, serta menjadi Bendahara Umum PDIP bukanlah hal yang bisa dikesampingkan begitu saja jika menilik kiprahnya yang saat ini mulai ‘diganggu’ oleh KPK.
Rakyat Sudah Jenuh
Banyak pihak menyayangkan aksi penolakan terhadap Fahri Hamzah yang dilakukan oleh sekitar 2.000 orang tersebut. Berbagai seruan untuk mengusut para pelaku yang merusak fasilitas Bandara Sam Ratulangi tersebut juga bermunculan dari banyak pihak.
Namun, peristiwa ini seharusnya menjadi bahan refleksi yang mendalam bagi semua elit politik dan pihak-pihak yang dalam 6 bulan terakhir telah ikut ambil bagian dalam mulai rusaknya toleransi di negara ini. Peristiwa penolakan ini menggambarkan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh Pilkada Jakarta telah masif dan terjadi di mana-mana. Identitas – entah itu agama, daerah, suku ataupun ras – telah menguat dan mengaburkan semangat kebangsaan dan ke-Indonesia-an yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Politisi berdasi di Jakarta boleh mengecam peristiwa ini, tetapi mungkin mereka harus membayangkan bagaimana perasaan masyarakat yang ada jauh di daerah ketika menyaksikan pemberitaan di media-media nasional tentang politik identitas yang dimainkan oleh para politisi di tingkat nasional. Bukan hal yang aneh jika peristiwa yang menimpa Fahri Hamzah ini sangat berhubungan dengan situasi politik ibukota, khususnya yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Terlepas dari kesalahan Ahok yang menodai agama Islam, momentum politik kasus ini telah menguatkan kembali identitas lokal yang untuk berpuluh-puluh tahun disatukan dalam Sumpah Pemuda.
Adalah sebuah ketakutan besar jika persoalan yang menimpa Fahri Hamzah ini akhirnya menimpa politisi lain di daerah lain pula – hal yang harus diakui sudah mulai bermunculan. Masyarakat sudah jenuh dengan situasi politik di tingkat nasional dan akhirnya mencari pelampiasan. Bayangkan, seorang warga negara Indonesia ditolak datang ke wilayah yang masih di negaranya sendiri, tentu sudah sangat akut persoalan kebangsaan yang menimpa negara ini.
Terlepas dari begitu kontroversialnya sosok Fahri Hamzah dan segala ucapannya, sikap yang dilakukan oleh masyarakat di Manado tentu tidak bisa dibenarkan. Namun, hal ini juga menjadi catatan bagi para politisi untuk tidak selalu mencari kontroversi dan sensasi serta selalu mengupayakan kebijakan yang berfaedah bagi masyarakat banyak, bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Jika masyarakat sudah merasa terlukai, jangan sampai negara ini akhirnya terpecah belah dan akhirnya bertikai satu sama lain.
Rekonsiliasi di tingkat nasional memang mutlak dibutuhkan. Perlu ada pendinginan suasana yang memanas di sepanjang gelaran Pilkada Jakarta. Mungkin hal ini menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk Pemerintahan Presiden Jokowi, yang masih ditunggu pernyataannya. Presiden Jokowi sendiri mungkin perlu melakukan rekonsialisi, apalagi di tengah isu-isu kerenggangan hubungannya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Ayo @Pak_JK ajak pak @jokowi bicara…karena kerja2 bicara juga tugas negara…suruh menteri gunting pita..
— #MerdekaBro! (@Fahrihamzah) May 15, 2017
Jika pemimpinnya saja terpecah, bagaimana mau mengharapkan rakyat di bawah dapat bersatu? (S13)