HomeNalar PolitikPenceramah Radikal BNPT, Sudah Tepat?

Penceramah Radikal BNPT, Sudah Tepat?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis lima kriteria penceramah radikal yang perlu diwaspadai masyarakat. Hal tersebut menuai kontroversi yang cukup sengit, ada yang menganggap ini adalah sebuah blunder besar, tapi ada juga yang mendukung. Lantas, apakah yang dilakukan BNPT sudah tepat? 


PinterPolitik.com 

Belum lama ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan ciri-ciri penceramah radikal. Melalui Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid, penceramah yang tergolong radikal disebutkan memiliki lima kriteria. 

Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah internasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri, yaitu sikap yang mudah mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham.  

Ketiga, menanamkan sikap anti-pemerintahan yang sah. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Dan kelima, memiliki pandangan anti-budaya ataupun anti-kearifaan lokal keagamaan. 

Tidak sedikit yang kemudian mengkritisi lima kriteria penceramah radikal yang disampaikan BNPT. Salah satunya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, yang mengatakan bahwa meskipun dirinya mendukung upaya untuk mencegah penceramah yang memang melanggar hukum Islam dan hukum nasional Indonesia, apa yang dilakukan BNPT perlu dikritisi.  

Menurut Cholil, kriteria tersebut dapat menjadi permasalahan karena bila ada penceramah yang mengajak untuk lebih kritis terhadap pemerintah, maka mereka akan mudah terseret dicap sebagai penceramah radikal. 

Pendapat senada juga disampaikan oleh anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKS, Bukhori Yusuf. Ia mengatakan bahwa indikator yang diumumkan tidak bersifat komprehensif dan menghasilkan tafsir liar, sehingga ini membuat masyarakat dapat dengan mudah memberi label “radikal” pada penceramah yang memang bersikap kritis. 

Kritik-kritik yang disampaikan langsung dijawab oleh BNPT. Ahmad Nurwakhid menjelaskan, kriteria penceramah radikal diungkapkan untuk mengedukasi masyarakat agar tak sembarangan mengundang penceramah, dan juga berlaku untuk semua agama, bukan hanya umat tertentu. Lebih lanjutnya, Ahmad pun mengatakan, yang menggelorakan bahwa kriteria tersebut merupakan stigma untuk kelompok tertentu, justru adalah mereka yang merupakan kelompok radikal itu sendiri. 

Mendukung pernyataan BNPT, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni, mengatakan bahwa apa yang dilakukan BNPT sudah tepat. Ia juga menyebutkan kriteria tersebut merupakan bentuk preventif pencegahan terorisme yang memang sudah menjadi job desk dari BNPT. 

Lantas, dapatkah kriteria penceramah radikal ini dibenarkan? 

Berpotensi Lahirkan Banalitas? 

Sebelum membahas lebih lanjut, ada satu hal krusial yang terlebih dahulu perlu diluruskan dari pandangan umum yang sepikiran dengan apa yang disampaikan Ahmad Sahroni, yakni tentang berhaknya BNPT dalam menentukan apa saja yang menjadi kriteria dari kelompok radikal. 

Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengingatkan bahwa BNPT tidak pernah punya legitimasi hukum dalam menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa-siapa saja yang harus diwaspadai. Hal ini karena di dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai payung hukum terkait terorisme tidak ada pendefinisian radikalisme. 

Baca juga :  Gibran, Utang Moral AHY ke Jokowi-Prabowo?

Sebagai konsekuensinya, hingga saat ini tidak atau belum ada lembaga negara mana pun yang dapat secara sah menentukan individu atau kelompok mana yang radikal, dan apa yang bisa dilakukan kepadanya.  

Fahmi juga menilai, kekosongan definisi radikalisme ini dapat menjadi berbahaya ketika disandingkan dengan narasi seperti kriteria penceramah radikal yang sekarang sedang bergulir. Penceramah yang diundang dan pendengar ceramah yang hadir hampir tidak mungkin sama-sama dalam keadaan pikiran kosong. Pasti selalu akan ada persoalan-persoalan sosial politik dan ekonomi yang harus dibahas, atau perlu direspons oleh sang penceramah. 

Apakah kemudian hal-hal seperti ini bisa dianggap sebagai gelagat anti-pemerintah? Tentu jawabannya tidak, karena meski bersifat radikal, atau mengakar ke akar permasalahan, jika itu masih dalam lorong demokrasi, maka kita perlu melihatnya sebagai bagian dari aktivitas demokrasi itu sendiri.  

Mirisnya, permasalahan mengenai hampanya definisi radikalisme dalam landasan hukum Indonesia sudah disinggung oleh banyak pengamat dari bertahun-tahun yang lalu. Bahkan pada tahun 2018, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Antonio Guterres sempat menegur Kepala BNPT pada masa itu, Suhardi Alius, untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan kata radikalisme, karena penafsiran dari kata tersebut ada yang mengandung perspektif positif. 

Jika narasi radikalisme ini terus digulirkan, maka bukan hal yang tidak mungkin bila Indonesia nantinya terjebak dalam apa yang disebut sebagai banalitas kejahatan. Ini adalah istilah yang dipopulerkan oleh peneliti politik, sekaligus filsuf Jerman abad ke-20, Hannah Arendt, ketika mengetahui bahwa salah satu petinggi Nazi Jerman yang terlibat dalam pengorganisasian holocaust, yakni Adolf Eichmann, ternyata tidak menyadari bahwa penyiksaan yang dilakukan pihaknya terhadap kaum Yahudi adalah tindakan kejahatan. Eichmann disebut melakukan penyiksaan tidak lebih dari hanya tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. 

Oleh karena itu, perlu disadari bahwa alih-alih membuat kebijakan yang memang mampu menumpas permasalahan terorisme, miskonsepsi mengenai penceramah radikal yang muncul dari tidak adanya definisi radikalisme justru malah berpotensi menjadi sekadar alat politik yang sifatnya sangat menghakimi, namun salah sasaran. 

Dengan demikian, jika memang benar-benar ingin mengatasi permasalahan ekstremisme dan terorisme, pemerintah harus mendefinisikan terlebih dahulu apa yang sebenarnya dimaksud dengan radikalisme. Karena, siapa bisa menjamin ketentuan mengenai radikalisme seperti yang disusun BNPT saat ini, tak dapat digunakan untuk tujuan yang kurang tepat di masa depan?  

Baca juga :  Gibran Game Changer Pilpres 2024? 

Lalu, jika kekosongan definisi radikalisme ini menjadi masalah utama yang begitu riskan untuk dikembangkan, mengapa BNPT terus mendengungkannya? 

Taktik Politik Anggaran? 

Jika kita perhatikan, beberapa waktu terakhir BNPT sangat vokal dalam menyuarakan isu tentang bahayanya paham radikalisme. Yang paling disorot adalah ketika BNPT menyebutkan tentang 198 pondok pesantren terafiliasi terorisme, yang tidak lama setelah itu, Boy Rafli Amar selaku Kepala BNPT, meminta maaf secara langsung apabila apa yang disampaikan pihaknya terkesan memojokkan kelompok agama tertentu. 

Lantas, mengapa BNPT tampak masih tetap berkutat di kesalahan yang sama? 

Well, kalau kita melihat tren anggaran yang diberikan kepada BNPT, maka kita sadari bahwa dalam tiga tahun terakhir BNPT cenderung mengalami penurunan anggaran. Dikutip dari Media Indonesia, pada 2017, BNPT memperoleh alokasi sebesar Rp724 miliar. Setahun kemudian, anggaran mereka dipangkas menjadi Rp544 miliar. Setelah sempat naik kembali di 2019 ke angka Rp706 miliar, anggaran BNPT kembali dipotong di 2020 menjadi hanya Rp443 miliar. 

Salah satu alasan BNPT memiliki fluktuasi anggaran yang cukup tinggi dan cenderung menurun pada tahun-tahun terakhir adalah karena prioritas pandemi Covid-19. Tetapi selain itu, ada juga indikasi mengenai efektivitas kinerja BNPT itu sendiri.  

Pada pertengahan 2021 lalu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKB, Dipo Nusantara pernah menyindir kinerja BNPT yang dinilainya belum terlihat melakukan pencegahan terhadap radikalisme dan terorisme. 

Ia juga mengungkapkan bahwa komisinya sangat menyayangkan BNPT yang cenderung banyak melakukan kunjungan-kunjungan dan diskusi yang dinilai belum berkontribusi besar dalam upaya pencegahan terorisme. 

Anggapan ini kemudian diperkuat oleh pendapat pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, yang mewanti-wanti pada publik untuk tidak perlu kaget, heran, ataupun khawatir bila BNPT akhir-akhir ini begitu gencar memproduksi isu tentang radikalisme. Hal tersebut menurutnya karena BNPT sedang berupaya agar anggaran yang diberikan tampak terlihat telah digunakan sesuai tupoksi, sehingga Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) pun juga jelas. 

Well, kalau narasi tentang radikalisme ini memang digencarkan sembari untuk menyebar kesadaran bahwa ancaman radikalisme sudah ditangani oleh BNPT, maka sepertinya ini merupakan bagian dari apa yang kita sebut sebagai politik anggaran.  

Hal ini sebenarnya tidak jadi masalah bila apa yang dilakukan BNPT memang sudah tepat sasaran. Tetapi kembali lagi, pendengungan isu radikalisme di Indonesia memiliki kecacatan yang sifatnya fundamental. 

Selama belum ada landasan hukum yang dapat menjelaskan definisi radikalisme anti-pemerintah seperti apa yang perlu diwaspadai, maka, pemerintah dan BNPT akan selalu terjebak dalam kontroversi yang berpotensi menciptakan permasalahan terorisme justru semakin lebih rumit. (D74) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Mustahil Megawati-Paloh Gunakan Hak Angket? 

Usai pengumuman KPU, isu pengguliran hak angket DPR kembali berbunyi. Kira-kira akankah Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri mendorongnya?