Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.
Hari ini, ketika kita menengok ke langit, mungkin nama-nama seperti India, Tiongkok, Jepang, bahkan Vietnam lebih dulu terlintas ketika membicarakan kekuatan teknologi antariksa di Asia. Sementara itu, Indonesia, meski besar secara geografis dan demografis, sering diposisikan sekadar sebagai penonton dari pencapaian negara-negara lain dalam mengejar bintang.
Padahal, jika kita mundur beberapa dekade ke belakang, Indonesia bukanlah bangsa yang pasif dalam urusan angkasa luar. Justru, di tahun-tahun awal kemerdekaan hingga dekade 1970-an, Indonesia pernah menjadi pionir antariksa di Asia Tenggara. Peluncuran Satelit Palapa pada 1976 menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang pertama di dunia yang memiliki dan mengoperasikan satelit komunikasi sendiri—jauh sebelum negara-negara tetangga berpikir tentang membangun teknologi luar angkasa nasional.
Tak hanya itu, Indonesia juga mengembangkan roket sendiri melalui LAPAN, dan bahkan telah merancang cetak biru pengembangan roket peluncur satelit dari wilayah Nusantara. Singkatnya, kita dulu punya impian besar, dan sempat berjalan menuju ke sana.
Lalu, pertanyaannya: apa yang terjadi dengan semua itu? Mengapa Indonesia, yang begitu menjanjikan di awal, justru tertinggal saat era antariksa semakin terbuka? Apakah ini hanya soal sumber daya, atau ada sesuatu yang lebih mendasar?

Dari Peluncuran Satelit Hingga “Political Will”
Sejarah mencatat bahwa ambisi antariksa Indonesia bukanlah ilusi belaka. Pada era Orde Lama dan awal Orde Baru, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bukan sekadar institusi birokratis, tetapi simbol ambisi strategis bangsa. LAPAN berdiri sejak 1963, tak lama setelah manusia pertama mendarat di luar angkasa. Bahkan saat dunia masih terbagi dalam poros Perang Dingin, Indonesia secara berani memosisikan dirinya sebagai negara yang berdaulat secara teknologi—termasuk di bidang penerbangan dan antariksa.
Puncaknya, pada 1976, Indonesia meluncurkan Satelit Palapa A1 dari Kennedy Space Center, menandai lompatan kuantum dalam sistem komunikasi nasional. Proyek ini tidak hanya memperluas jangkauan siaran dan telekomunikasi, tetapi juga memperkuat identitas Indonesia sebagai bangsa kepulauan yang mampu menyatukan wilayahnya melalui teknologi. Di saat bersamaan, Indonesia juga mengembangkan seri roket RX dan mulai merintis cita-cita menjadi negara yang mampu meluncurkan satelit dari tanah air sendiri.
Namun memasuki dekade 1980-an hingga Reformasi, arah dan semangat ini mulai melemah. Transisi politik yang kompleks dinilai membawa efek samping: berkurangnya konsistensi dan political will dalam pengembangan teknologi strategis. LAPAN bertahan, tapi lebih banyak menjadi lembaga administratif dibanding lembaga inovatif. Proyek peluncuran roket, pembangunan spaceport di Biak, hingga program satelit mikro berjalan, namun tak lagi jadi agenda prioritas nasional.
Di titik ini, kita perlu merenungkan satu konsep penting dalam teori geopolitik antariksa, yaitu “original sin” yang dikemukakan oleh Bleddyn Bowen. Dalam bukunya War in Space, Bowen menjelaskan bahwa pengembangan kekuatan luar angkasa oleh suatu negara selalu dibayangi oleh dosa asal, yakni ketergantungan pada motivasi politik, bukan semata kebutuhan ilmiah. Dengan kata lain, bila tak ada political will yang kuat, maka proyek teknologi strategis akan kehilangan arah, tertunda, atau bahkan mati.
Indonesia adalah contoh dari teori ini. Di masa awal, proyek antariksa Indonesia tumbuh dari semangat politik dan kebanggaan nasional. Tapi saat konteks politik berubah, tanpa komitmen jangka panjang dan konsistensi kebijakan, mimpi besar itu perlahan lenyap. Ketika India membangun ISRO secara sistematis, Indonesia justru disibukkan dengan konflik internal dan dinamika politik pasca-reformasi.
Padahal secara geografis, Indonesia punya keunggulan luar biasa: posisi di garis khatulistiwa, yang sangat ideal untuk peluncuran roket ke orbit geostasioner. Fisikawan dan insinyur di berbagai negara sepakat bahwa peluncuran dari khatulistiwa menghemat bahan bakar, mempercepat roket, dan memberikan peluang orbit yang optimal. Tapi posisi strategis ini belum benar-benar dimanfaatkan, karena faktor yang lebih mendalam—politik yang belum memutuskan untuk bermimpi besar lagi.

A New Hope?
Meskipun kesempatan di masa lalu telah banyak terlewatkan, bukan berarti Indonesia harus menyerah menjadi bangsa penonton di era antariksa global. Justru sekarang, ketika ekonomi digital tumbuh dan kebutuhan akan teknologi satelit semakin besar (dari internet pedesaan hingga pemantauan bencana), kesempatan kedua sedang terbuka. Pertanyaannya: apakah kita siap memanfaatkannya?
Salah satu pendekatan yang terbukti berhasil adalah simbiosis antara pemerintah dan sektor swasta. India melesat karena ISRO tidak bekerja sendiri. Mereka mendorong perusahaan rintisan antariksa lokal, membuka kerjasama internasional, dan menjadikan eksplorasi luar angkasa bukan hanya proyek negara, tetapi juga peluang ekonomi. Amerika Serikat bahkan lebih radikal: NASA kini bermitra erat dengan SpaceX, yang secara teknis telah menggantikan peran negara dalam misi-misi berawak ke luar angkasa.
Indonesia bisa belajar dari ini. Setelah LAPAN dilebur ke BRIN, pemerintah memiliki tantangan sekaligus peluang untuk merancang ulang strategi antariksa nasional—bukan sekadar dari sisi birokrasi, tetapi juga dari model ekosistem inovasi. Pemerintah bisa mendorong inkubasi startup antariksa, membuka akses data satelit nasional, hingga membangun infrastruktur peluncuran yang melibatkan investor.
Dalam konteks ini, pemerintahan Prabowo-Gibran sejatinya membawa harapan baru. Melalui “Asta Cita”, Prabowo menempatkan kemajuan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi sebagai salah satu prioritas utama pembangunan nasional. Ini adalah sinyal positif bahwa pemerintah ke depan melihat pentingnya kemandirian dan inovasi teknologi sebagai bagian dari kekuatan strategis bangsa, termasuk di sektor antariksa.
Tentu, jalan menuju antariksa bukanlah proyek satu malam. Ia memerlukan konsistensi visi lintas generasi dan keberanian untuk bermimpi besar. Namun, bila komitmen ini dijaga dan dibarengi dengan kerja sama luas antar sektor, bukan mustahil Indonesia bisa kembali menjadi salah satu aktor penting dalam peradaban luar angkasa Asia.
Langit luas menunggu—dan kini saatnya kita kembali melangkah ke sana, dengan penuh percaya dan harapan. (D74)