HomeNalar PolitikMisteri Dua Power: Kisah Sandi dan Erick?

Misteri Dua Power: Kisah Sandi dan Erick?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Sandiaga Uno kembali mencuat dalam politik nasional lewat wacana kepemimpinan di PPP. Apakah ini bagian dari strategi jangka panjangnya menuju 2029?


PinterPolitik.com

“Last night took an L, but tonight I bounce back” – Big Sean, “Bounce Back” (2017)

Nama Sandiaga Uno kembali menjadi buah bibir di kalangan politikus dan pengamat. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) di Kabinet Merah Putih bentukan Presiden Prabowo, ia tetap aktif dalam percaturan politik nasional.

Belakangan, nama Sandiaga muncul sebagai salah satu kandidat kuat untuk memimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebuah partai lama yang sedang mencari arah baru, dan bagi sebagian orang, membutuhkan sosok seperti Sandi—modern dan punya rekam jejak yang jelas, baik di dunia usaha maupun pemerintahan.

Di sebuah kafe kecil di Tebet, Kenny—mahasiswa semester akhir jurusan ilmu politik—memperhatikan perkembangan ini dengan penuh rasa ingin tahu. Ia sedang menyeduh kopinya saat notifikasi berita soal Sandiaga muncul di layar ponselnya. “Menarik, ya,” gumamnya sambil membuka artikel itu.

Bagi Kenny, langkah Sandiaga tak sekadar manuver politik biasa. Ia melihat ada strategi yang sedang dijalankan. Figur pengusaha yang mendekat ke partai politik bukan hanya soal elektabilitas, tapi juga daya kontrol terhadap sumber daya dan jaringan kekuasaan.

Kenny pun mencatat bahwa Sandiaga bukan satu-satunya pengusaha yang mencoba masuk ke dalam lingkaran inti partai. Fenomena ini semakin sering muncul, seolah menjadi tren baru dalam politik Indonesia pasca-Reformasi.

Sambil menutup laptopnya dan menatap ke luar jendela, Kenny bergumam pelan, “Kenapa, ya, begitu banyak pengusaha ingin duduk di puncak pimpinan partai?” Ia berpikir sejenak. “Apa ini semua bagian dari strategi politik jangka panjang yang sedang mereka siapkan?”

Fusi Dua Modal Politik?

Di ruang baca kampus, Kenny sedang membuka jurnal akademik untuk tugas kuliahnya. Ia menemukan satu artikel menarik dari Kimberly Casey berjudul Defining Political Capital, yang membahas konsep modal politik dari sudut pandang Pierre Bourdieu.

Baca juga :  Amran dan Rahasia Digdaya Pangan?

Menurut Casey, modal politik tak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh berbagai bentuk modal lainnya. Ada modal ekonomi, sosial, budaya, bahkan simbolik, yang semuanya bisa dikonversi menjadi kekuatan politik.

Kenny menandai bagian penting dari tulisan Casey yang menjelaskan bahwa aktor politik memanfaatkan berbagai modal untuk mendapatkan kepercayaan dan pengaruh. Misalnya, kekayaan bisa menjadi sumber daya untuk mendanai kampanye, sementara jaringan sosial memperluas dukungan di akar rumput.

Modal budaya juga tak kalah penting: gelar pendidikan, citra cerdas, atau kemampuan berkomunikasi menjadi alat untuk membangun wibawa. Sementara modal simbolik—seperti reputasi, status moral, atau persepsi religiusitas—menjadi daya tarik yang bersifat emosional bagi pemilih.

Kenny membayangkan politik sebagai panggung pertarungan berbagai modal yang saling berpacu. Seorang tokoh bisa saja minim pengalaman politik, tetapi jika ia memiliki kombinasi modal lain yang kuat, tetap bisa menjadi pemain utama.

Dari pemahaman itu, Kenny teringat pada sosok Sandiaga Uno yang kini disebut-sebut akan memimpin PPP. Ia adalah figur yang memiliki modal ekonomi yang besar, jaringan sosial yang luas, serta citra religius dan profesional yang terbangun selama bertahun-tahun.

Di titik itu, Kenny mulai merenung: mengapa semua modal ini penting bagi Sandiaga? Mungkinkah ada tujuan jangka panjang yang tengah ia susun, pelan-pelan, menuju puncak kekuasaan politik yang lebih tinggi?

Penebusan Sandi 2029?

Meski sempat gagal mendampingi Ganjar di 2024, Kenny melihat Sandiaga belum kehilangan panggung. Justru, dengan tidak masuk Kabinet Merah Putih, ia kini lebih leluasa membangun jaringan dan merawat modal politiknya.

Kenny mencermati bahwa aktor politik yang mampu mempertahankan atau mengakumulasi modal, tetap punya kesempatan untuk “bounce back“. Dalam konteks Sandiaga, ia masih punya modal ekonomi yang solid, jejaring sosial yang luas, dan citra positif di mata publik.

Baca juga :  The Next Rise of Golkar

Jika benar ia memimpin PPP, partai tersebut bisa menjadi kendaraan politik baru sekaligus alat tawar-menawar dalam konstelasi kekuasaan. Kenny membayangkan, PPP bisa menjadi pintu masuk kembali bagi Sandiaga untuk merapat ke koalisi besar, termasuk Prabowo yang kini menjabat presiden.

Modal simbolik Sandiaga—seperti kesantunan, religiusitas, dan gaya hidup bersahaja—masih kuat tertanam di benak pemilih, terutama kalangan muda dan kelas menengah urban. Bila dikelola dengan baik, itu semua bisa dikapitalisasi untuk membangun kembali elektabilitas.

Kenny mencatat, politik Indonesia kerap memberi ruang bagi comeback, terutama bagi tokoh yang pandai mengelola momentum. Ia menulis catatan kecil di buku: “Pemilu bukan hanya soal menang hari ini, tapi juga soal bertahan untuk kesempatan berikutnya.”

Dari situ, Kenny menarik kesimpulan: peluang Sandiaga untuk bangkit kembali di Pilpres 2029 bukan sekadar angan-angan. Pertanyaannya kini, seberapa besar ambisi politik Sandiaga, dan mungkinkah semua ini adalah bagian dari rencana jangka panjangnya? Hanya Sandiaga sendiri yang bisa menjawabnya. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Rahasia Puan & BG di Balik Layar?

Di balik gestur keharmonisan yang kembali terlihat di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, peran aktor kunci di balik layar agaknya cukup krusial. Tak hanya bekerja dalam satu konteks, efek domino politik bukan tidak mungkin tercipta dari andil mereka.

Geopolitical AI: Ini Pusat Dunia Masa Depan?

Beijing, Silicon Valley, dan Paris kini jadi pusat investasi AI terbesar di dunia—mewakili tiga kutub kekuatan baru dari Asia, Amerika, dan Eropa. Apakah ini tanda bahwa kota dengan dominasi AI akan menjadi pusat peradaban masa depan?

More Stories

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Didit Hediprasetyo, the Designer ‘Prince’?

Bagi Didit Hediprasetyo, kecakapannya di dunia estetika bukanlah batasan. Kemampuannya justru menembus batas-batas, termasuk batas politik.

Lady Gaga: ‘Bad Romance’ Indonesia-Singapura?

Dibandingkan Indonesia, Taylor Swift dan Lady Gaga lebih memilih konser di Singapura. Mengapa ini jadi "bad romance” Indonesia-Singapura?