Dengarkan artikel ini:
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjalankan optimalisasi lifting minyak dalam negeri yang merupakan bagian dari program pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM. Visi ini tentu sangat besar efeknya bagi masyarakat Indonesia karena bisa mewujudkan kemandirian energi. Namun, tantangan besar juga menghadang karena berpotensi melahirkan perlawanan dari para mafia migas yang selama ini ambil untung dari impor BBM.
Di balik jargon kedaulatan energi yang telah lama digaungkan, Indonesia justru terjebak dalam lingkaran ketergantungan impor BBM. Ironisnya, lebih dari separuh pasokan BBM nasional—sekitar 54 persen—diimpor dari Singapura, sebuah negara yang bahkan tidak memiliki sumber daya minyak mentah dalam skala besar. Pada titik inilah kecurigaan muncul, dan suara tentang keberadaan “strategy by design” dari oknum-oknum tertentu makin keras terdengar.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, kini menjadi ujung tombak dalam upaya mewujudkan visi Presiden Prabowo Subianto: memutus rantai permainan mafia migas yang selama ini menyedot keuntungan besar dari skema impor.
Bahlil menyebut dengan tegas bahwa penurunan angka lifting minyak—yakni jumlah produksi minyak yang berhasil diangkat dari perut bumi—sering kali hanyalah akal-akalan yang disusun rapi agar Indonesia tetap bergantung pada impor. Semakin besar impor, semakin besar ruang permainan para makelar energi.
“Untuk mengamankan perintah Presiden Prabowo dan untuk Ibu Pertiwi, sejengkal pun saya tidak akan mundur menghadapi orang-orang seperti ini,” ujar Bahlil dalam sebuah pernyataan yang mengandung ancaman sekaligus gambaran patriotisme. Ia bahkan menyatakan bahwa langkah-langkah agresif akan diambil untuk meningkatkan lifting di berbagai area pengeboran potensial yang selama ini terabaikan.
Tentu, medan yang dihadapi tidak ringan. Mafia migas bukan mitos. Mereka punya jaringan lintas kementerian, operator, pengusaha, dan bahkan kekuatan internasional. Menghadapi mereka bukan sekadar urusan teknis energi, tapi perang total terhadap salah satu simpul oligarki yang paling kuat dalam sejarah ekonomi politik Indonesia.
Pertanyaannya adalah akankah pemerintahan Prabowo-Gibran mampu menghadapi para mafia ini? Bukan tanpa alasan, untuk waktu yang sangat lama kelompok-kelompok ini telah bermain dan merugikan negara karena percaya diri pada kemampuan mempengaruhi kebijakan di level tertinggi. Akankah kali ini hal itu bisa diputus?
Arena Energi dan Oligarki
Untuk memahami medan tempur ini, kita bisa menyimak beberapa pendekatan teoritik yang menjelaskan mengapa sektor energi, khususnya BBM, menjadi arena perebutan kuasa dan keuntungan, dan mengapa langkah Prabowo-Bahlil patut dicermati bukan hanya sebagai kebijakan teknokratik, melainkan langkah politik yang sangat strategis.
Pertama, teori rentier state yang digagas oleh Hazem Beblawi dan Giacomo Luciani memberikan pemahaman penting bahwa negara-negara yang hidup dari sektor ekstraktif seperti minyak dan gas cenderung dikuasai oleh elite-elite rente. Dalam konteks Indonesia, meskipun bukan negara penghasil minyak utama, namun sistem pengelolaan energi dan ketergantungan pada impor menciptakan situasi mirip: keuntungan besar tidak dirasakan rakyat, tetapi justru dikuasai oleh segelintir elite yang memainkan rantai distribusi, perizinan, hingga perdagangan.
Kedua, pendekatan dari Terry Lynn Karl dalam bukunya The Paradox of Plenty menjelaskan bagaimana negara-negara kaya sumber daya justru rentan mengalami stagnasi ekonomi, korupsi, dan tata kelola yang buruk akibat absennya akuntabilitas dalam pengelolaan sektor strategis tersebut. Dalam konteks Indonesia, ini terlihat dari bagaimana lifting minyak anjlok sejak dekade 2000-an, namun tidak ada insentif serius untuk memperbaiki produksi karena mafia migas telah menemukan zona nyaman dalam skema impor.
Ketiga, konsep state capture dari Hellman, Jones, dan Kaufmann menegaskan bahwa dalam negara demokrasi yang lemah, institusi publik bisa ditunggangi oleh kepentingan privat yang kuat. Mereka bukan sekadar mempengaruhi kebijakan, tetapi mengendalikan arah kebijakan untuk kepentingan kelompok terbatas.
Dalam kasus impor BBM, bisa dilihat bagaimana narasi penurunan lifting dibangun terus-menerus untuk membenarkan impor, padahal ada banyak potensi ladang minyak di dalam negeri yang bisa digarap jika ada political will.
Dengan teori-teori ini, bisa dipahami bahwa langkah Prabowo dan Bahlil bukan hanya soal harga minyak atau efisiensi energi. Ini adalah soal merebut kembali kedaulatan negara dari cengkeraman invisible hands yang selama ini mengendalikan denyut energi nasional.
Prabowo dan Pertaruhan Kekuasaan
Langkah “Operation Oilstorm” ini – jika ingin disebut demikian – bukan hanya akan menghemat miliaran dolar dari neraca perdagangan, tapi juga akan menjadi fondasi ekonomi politik baru bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Mengingat pengaruh mafia migas yang lintas sektoral, keberhasilan dalam perang ini akan menunjukkan bahwa negara bisa kembali memegang kendali atas sumber daya strategis.
Namun, tentu saja, perlawanan akan muncul. Mafia tidak akan tinggal diam. Bisa jadi, mereka akan menggunakan instrumen hukum, media, hingga tekanan politik untuk menjegal langkah ini. Politik energi adalah politik berdarah dingin. Banyak rezim tumbang karena gagal menaklukkan para pemain besar di sektor ini.
Di sisi lain, jika Operation Oilstorm ini sukses, maka Prabowo akan diingat sebagai pemimpin yang menata ulang sistem energi nasional. Bukan tidak mungkin, ini menjadi legacy terbesar dalam masa pemerintahannya. Keberanian untuk tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi membongkar akar permainan mafia BBM akan mengubah peta kekuasaan ekonomi di Indonesia.
Tentu, dibutuhkan konsistensi, keberanian, dan kekuatan politik. Jika Prabowo gagal menjaga momentum ini, maka mafia migas hanya akan menunggu waktu untuk kembali mencengkeram. Tetapi jika ia berhasil, maka inilah tonggak sejarah bahwa negara benar-benar hadir untuk melayani rakyat, bukan sebagai penonton dalam pasar rente energi.
Dan pada akhirnya, Operation Oilstorm bukan sekadar kebijakan energi. Ia adalah simbol perang kelas dalam bentuk paling mutakhir: antara elite rente yang bermain dalam kegelapan, dan negara yang mencoba menyalakan kembali lentera kedaulatan di tengah badai kepentingan.
Pertanyaannya kini tinggal satu: apakah Prabowo siap menanggung risiko politik, ekonomi, dan sosial dari perang ini, atau akan memilih jalan kompromi seperti para pemimpin sebelumnya? Karena satu hal yang pasti, melawan mafia energi tidak cukup hanya dengan pidato—ia membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko tertinggi: yakni kekuasaan itu sendiri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)