Jalan Indonesia dalam menjajal teknologi jet tempur generasi ke-5 semakin terbuka. Mungkinkah negara kita masuk “geng elite” negara pemilik jet tempur generasi ke-5?
Dalam kunjungannya ke Turkiye April silam, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan ketertarikan Indonesia untuk terlibat dalam proyek pengembangan jet tempur generasi kelima, KAAN, yang sedang dikembangkan oleh Ankara. Pernyataan ini disampaikan usai pertemuan bilateral dengan Presiden Recep Tayyip Erdoğan dan menjadi salah satu sorotan dalam dinamika hubungan kedua negara hingga sekarang, dalam sektor pertahanan.
Jet tempur KAAN, yang dikembangkan oleh Turkish Aerospace Industries (TAI), merupakan bagian dari upaya Turkiye untuk mandiri dalam sektor pertahanan strategis, khususnya dalam kategori alutsista kelas berat. Prabowo menyatakan bahwa Indonesia sedang mengeksplorasi kemungkinan kerja sama yang lebih dalam, baik dalam bentuk investasi, akuisisi teknologi, maupun kolaborasi pengembangan.
Inisiatif ini terlihat progresif dan menjanjikan. Selain berpotensi memperkuat industri pertahanan nasional, keterlibatan dalam proyek seperti KAAN juga membuka jalan bagi Indonesia untuk masuk dalam lingkaran elite teknologi pertahanan global. Apalagi, selama ini Indonesia lebih banyak menjadi konsumen, bukan produsen teknologi militer canggih.
Namun menariknya, proyek pengembangan jet tempur generasi kelima bukanlah arena yang bebas dari dinamika geopolitik dan pertimbangan strategis jangka panjang. Pengembangan teknologi alutsista yang sekuat ini diprediksi akan memberikan efek politik yang juga sangat besar secara internasional.
Maka dari itu, menjadi penting bagi kita untuk memahami: apa saja potensi dan peluang yang sebenarnya bisa didapat Indonesia dari keterlibatan dalam proyek ambisius ini? Dan bagaimana kerja sama ini bisa selaras dengan kepentingan strategis nasional maupun internasional di masa depan?

Peluang Strategis Proyek KAAN?
Keterlibatan Indonesia dalam proyek jet tempur KAAN dapat dilihat sebagai langkah strategis dalam kerangka modernisasi alutsista dan diversifikasi kemitraan pertahanan. Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia banyak bergantung pada sistem senjata dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa, serta dari Rusia. Namun, masing-masing mitra memiliki batasan tersendiri, termasuk isu embargo, ketergantungan suku cadang, dan pertimbangan politis.
Menariknya, dengan menjajaki kerja sama dengan Turkiye, Indonesia dinilai menunjukkan arah baru: membangun hubungan dengan mitra yang tidak terlalu terikat pada blok politik tertentu, tetapi memiliki kemampuan teknologi militer yang terus berkembang. Turkiye dalam satu dekade terakhir berhasil menjelma menjadi pemain penting dalam industri pertahanan global, dengan produk seperti drone Bayraktar TB2 yang digunakan di berbagai medan tempur dan menjadi perhatian banyak negara.
Dalam konteks teknologi, proyek KAAN sendiri memiliki sejumlah keunggulan. Jet tempur ini diklaim sebagai pesawat generasi kelima, sekelas dengan F-35 milik AS atau Su-57 milik Rusia. KAAN didesain memiliki kemampuan stealth, supercruise, serta integrasi avionik canggih berbasis kecerdasan buatan. TAI menyebutkan bahwa KAAN akan memiliki jangkauan tempur yang luas, kemampuan manuver tinggi, dan bisa membawa berbagai jenis senjata pintar. Prototipe KAAN bahkan telah berhasil melakukan uji terbang pertamanya pada 2023—sebuah capaian penting untuk proyek yang baru dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Bagi Indonesia, keterlibatan dalam proyek ini membuka dua pintu penting. Pertama, kesempatan untuk transfer of technology (ToT) yang selama ini menjadi harapan dalam setiap pengadaan alutsista strategis. Jika kerja sama dirancang secara tepat, industri pertahanan dalam negeri seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad bisa mendapatkan alih teknologi bernilai tinggi. Kedua, Indonesia memiliki peluang untuk ikut menentukan arah pengembangan jet masa depan, alih-alih hanya membeli produk jadi.
Lebih dari itu, secara geopolitik, Turkiye adalah negara yang menarik. Meski merupakan anggota NATO, Ankara kerap mengambil sikap independen dan menjalin kerja sama pertahanan dengan berbagai negara, termasuk Rusia, Ukraina, dan negara-negara Asia Tengah. Posisi Turkiye yang fleksibel ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif—membuka ruang kerja sama tanpa harus berpihak dalam rivalitas global.
Namun demikian, meskipun peluangnya besar, proyek seperti KAAN tetap memerlukan kalkulasi strategis yang cermat. Pengembangan jet generasi kelima bukan sekadar proyek teknologi, melainkan juga manuver geopolitik yang rumit, terutama jika melibatkan negara-negara dengan kepentingan dan orientasi politik yang kompleks.

Justru Sekarang Waktu dan Kondisi yang Tepat?
Meski sempat muncul keraguan terhadap prospek pasar jet tempur generasi kelima karena dominasi pemain besar seperti Amerika Serikat dengan F-35-nya, kini muncul pandangan baru yang lebih optimis: justru saat ini adalah momen yang tepat untuk mulai masuk ke sektor ini.
Salah satu alasannya adalah kecenderungan Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya saat ini untuk mulai mengalihkan fokus ke pengembangan jet tempur generasi keenam (gen-6). Dalam beberapa tahun ke depan, kompetisi dan prioritas investasi negara-negara besar akan beralih ke ranah teknologi yang lebih futuristik, meninggalkan celah dalam pasar jet gen-5 yang bisa diisi oleh aktor-aktor baru.
Dalam konteks ini, proyek KAAN yang dikembangkan oleh Turki menawarkan peluang besar bagi Indonesia untuk mulai membangun jejak di pasar jet gen-5. Dengan harga yang diprediksi lebih kompetitif dari F-35—sekitar 80–100 juta dolar per unit—KAAN bisa menjadi alternatif bagi negara-negara berkembang yang menginginkan teknologi tinggi tetapi tidak memiliki akses langsung ke produk Amerika Serikat atau Eropa Barat. Indonesia bisa memainkan peran penting sebagai co-developer yang menghubungkan Turki dengan pasar Asia Tenggara dan sekitarnya.
Tentu, langkah ini tetap menuntut kecermatan dalam menghadapi dinamika geopolitik dan strategi pemasaran global. Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto—figur dengan pengalaman panjang dalam pertahanan dan geopolitik—Indonesia memiliki keunggulan diplomatik dan strategis yang bisa saja tidak bisa diremehkan. Sebagai sosok yang familiar dengan panggung geopolitik, Prabowo diyakini mampu menavigasi sensitivitas hubungan dengan berbagai kekuatan besar sambil tetap mendorong kemandirian industri pertahanan nasional.
Dengan strategi yang matang dan kerja sama yang setara, proyek KAAN bisa menjadi titik awal bagi Indonesia untuk naik kelas—tidak lagi sekadar pengguna, melainkan sebagai produsen dan mitra utama dalam ekosistem industri pertahanan global. Masa depan ini bukan hanya memungkinkan, tetapi juga layak diperjuangkan mulai sekarang. (D74)