Neno Warisman adalah sosok kontroversi yang kerap muncul dengan berbagai sensasi, sekaligusjuga salah satu penginisiasi gerakan #2019GantiPresiden.Kini ia mencoba menantang lawan politiknya lewat “Puisi Munajat 212”.Mungkinkah gelar women propagandist cocok disematkan untuk sang aktivis sekaligus politisi itu?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]iapa bilang perempuan tak memiliki peran penting dalam perang maupun pertempuran politik.Sejarah memang mencatat bahwa peran perempuan dalam perang-perang besar dunia cukup signifikan. Pasalnya, kerap kali para perempuan ini memerankan peran kunci sebagai mata-mata ataupun propagandis politik dan menjadi senjata rahasia.
Sebut saja Anna Chapman, seorang perempuan berkebangsaan Rusia yang berperan sebagai mata-mata organisasi intelijen eksternal Rusia, Sluzhba Vneshney Razvedki (SVR).
Neno Warisaman, tipe-tipe women propagandist Click To TweetPada 2010 lalu, Chapman ditangkap bersama 9 orang lain oleh otoritas Amerika Serikat (AS) atas tuduhan keterlibatan dalam konspirasi dan aktivitas spionase ilegal tanpa pemberitahuan kepada pemerintah negeri Paman Sam itu.
Kasus ini menunjukkan bahwa peran perempuan tak main-main. Memang dalam konteks profesi di bidang spionase, sosok seperti Chapman belum punya tandingan di Indonesia.
Namun, dalam konteks dampak profesi dan perannya terhadap kepentingan negara, tidak sedikit sosok perempuan hebat yang saat ini ada di panggung politik nasional.Sebut saja nama-nama seperti Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, Sri Mulyani, atau Susi Pudjiastuti.
Belakangan, ada pula satu nama tokoh perempun yang muncul ke panggung politik nasional. Dialah Neno Warisman, sosok yang kerap menuai kontroversi.
Baru-baru ini, sang ustadzah itu menghebohkan panggung publik dengan “Puisi Munajat 212” yang ia bacakan di acara Munajat 212 beberapa hari lalu.Dalam puisinya, ia memohonkankemenangan dalam Pilpres nanti kepada sang pencipta.
“Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan,kami khawatir ya Allah. Kami khawatir ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu.”
Dalam puisi tersebut, Neno disebut tengah berusaha menggiring opini peserta Munajat 212 untuk memilih pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sembari membandingkan keislaman kedua paslon di Pilpres 2019. Tak ketinggalan, ia juga mengandaikan Pilpres sebagai Perang Badar- sebuah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuh kaum kafir Quraisy.
Memang, Neno Warisman juga merupakan Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, sehingga tak salah dalam kesempatan tersebut, ia mencuri momentum berkampanye, meskipun otoritas yang berwenang telah memperingatkan agar Munajat 212 tak dijadikan sebagai ajang kampanye.
Dalam konteks ini, menarik untuk melihat sepak terjang sang mantan aktris yang memang kerap kali tampil vokal diberbagai kesempaan. Ia juga sangat mungkin bisa dianggap sebagai seorang propagandis alias orang yang melakukan propaganda dalam politik. Lalu, seberapa besar kiprah Neno bisa memuluskan kemenangan Prabowo-Sandi?
Berbagai Kontroversi
Peran Neno belakangan memang sangat vital. Dalam konteks politik Pilpres 2019, ia kerap kali tampil sebagai orator, pendebat, bahkan penggerak berbagai kegiatan yang melibatkan banyak masa.
Sebut saja perannya di balik gerakan #2019GantiPresiden, di mana perempuan yang memiliki nama asli Titi Widoretno Warisman tersebut menjadi salah satu donatur terbesar gerakan yang menguat dipertengahan 2018 lalu itu.
Inisiator gerakan #2019GantiPresiden sekaligus ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga mengakui bahwa Neno Warisman adalah salah satu donatur terbesar gerakan tersebut.
Setiap kesempatan tampil di muka publik, Neno juga kerap kali tampil memberikan retorika atau orasi politik. Apalagi, semenjak gerakan #2019GantiPresiden marak dan popular di kalangan masyarakat.
Neno bisa dibilang mendapatkan momentum politiknya setelah aksi demonstrasi 212 yang menyeret nama mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (BTP) terkait kasus penistaan agama di 2016 lalu.
Ia juga menggegerkan jagat media massa dan media sosial ketika secara nekat menggunakan Public Address System (PAS) atau mikrofon pesawat saat hendak bertolak dari Pekanbaru ke Jakarta demi menceritakan penolakan dan penghadangan yang diterima ketika ia menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden di Pekanbaru, pada pertengahan Agustus tahun lalu.
Melihat rekam jejaknya tersebut, tentu memposisikan Neno sebagai perempuan yang cukup berpengaruh di kubu BPN tentunya bukan hal yang berlebihan.
Jika menggunakan pemikran filsuf sekaligus tokoh feminis Hannah Arendt, kekuatan perempuan adalah tentang upaya pemberdayaan yang berfokus pada komunitas dan masyarakat. Neno tentu saja memiliki modal kekuatan tersebut.
Di kubu BPN memang tak ada lagi sosok perempuan orator dan vokal selain Neno Warisman. Dulu, sebelum Ratna Sarumpaet terjerat kasus hoaks, ia juga disebut-sebut menjadi salah satu senjata politik kubu BPN.
Namun, pasca Ratna harus berurusan dengan kasus hukum, hanya Neno yang sering muncul dalam berbagai aksi-aksi mobilisasi massa yang melibatkan gerakan 212, maupun kelompok-kelompok muslim konservatif lainnya.
Sebagai senjata politik, Neno berhasil memainkan banyak peran dengan cukup baik. Bisa dibilang, BPN membutuhkan sosok oratoris dan propagandis layaknya Neno Warisman
Tokyo Rose Prabowo-Sandiaga
Kisah tentang peran perempuan sebagai propagandis perang atau pun politik cukup populer dalam kisah-kisah perang dunia kedua. Salah satunya adalah cerita tentang Tokyo Rose, sebutan yang diberikan oleh pasukan Sekutu di Pasifik Selatan selama Perang Dunia II, bagi semua penyiar radio perempuan berbahasa Inggris yang tengah menjalankan misi propaganda Jepang.
Propaganda Jepang sendiri merupakan upaya penyebaran informasi bias yang dimaksudkan untuk mempromosikan tujuan atau pandangan politik tertentu.
Kepolisian diam saja, Kejaksaan apalagi, Bawaslu sudah gak mampu, sementara berharap depdagri netral sama juga menggantang asap. Lalu, kemana pelanggaran Pemilu harus dilaporkan. Ada benarnya puisi Neno Warisman, karena siapa lagi yg bisa dipercaya.
— andi arief (@AndiArief__) February 24, 2019
Dalam hal ini, propaganda Jepang berfokus pada penyebaran nasionalisme dan juga penyebaran kultur Jepang melawan dominasi kultur Barat, khususnya budaya Anglo-Saxon.
Iva Toguri adalah seorang perempuan berdarah Jepang dengan kemampuan bahasa Inggrs yang cukup mumpuni yang disebut-sebut sebagai salah satu tokoh Tokyo Rose yang paling terkenal kala itu.
Ia menjalankan misi propaganda pemerintah Jepang dalam sebuah program radio bernama The Zero Hour- sebuah program berdurasi 75 menit, yang menyiarkan propagandanya melalui media sandiwara radio, laporan berita, hingga melalui musik yang populer di AS.
Mengorbit dengan nama anonim “Orphan Ann,” Toguri menjadi The Most Notorious Propagandist atau propagandis paling terkenal menurut channel History. Toguri menjadi daya tarik tersendiri karena menjadi pembawa acara perempuan yang berhasil mempengaruhi melalui kekhasan suaranya.
Bahkan jurnalis The New York Times, John Leggett menyebutnya sebagai sosok yang cukup persuasif bagi kebanyakan orang di AS saat itu dan bahkan menjadi orang Jepang yang sama terkenalnya dengan Kaisar Hirohito yang menjadi penguasa Jepang saat Perang Dunia II.
Keberhasilan Toguri pun tak main-main dan dibuktikan dalam jajak pendapat. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 1968, dari 94 pria yang diwawancarai dan mendengarkan The Zero Hour saat bertugas di Pasifik, 84 persen diantaranya mengakui bahwa kehebatan Toguri dalam menghegemoni pikiran mereka terindikasi pernyataan bahwa mereka menikmati propaganda itu tanpa menyadari bahwa mereka sedang menerima propaganda.
Keberhasilan Toguri sebagai Tokyo Rose menempatkannya sebagai salah satu women propagandist yang cukup berpengaruh bagi penyebaran propaganda Jepang pada saat itu. Meskipun ia akhirnya harus dipenjara oleh pemerintah AS setelah Perang Dunia II berakhir, namun kehebatannya menjadi penanda bahwa perempuan nyatanya memiliki kekuasaan untuk mempersuasi dan menjadi actor hegemon yang cukup kuat.
Jika ditarik benang merah dengan posisi Neno Warisman, mungkin ia juga menjadi salah satu perempuan propagandis yang cukup berpengaruh, utamanya dilingkaran pendukung Prabowo dan juga kelompok-kelompok Islam konservatif.
Terlebih dalam lingkaran pendukung Prabowo selama ini, tak ada tokoh perempuan yang cukup kuat memiliki kemampuan persuasif dan pandai berorasi. Sebut saja sosok macam Titiek Soeharto yang secara performa di depan publiknya biasa-biasa saja, atau keponakan Prabowo,Rahayu Saraswati yang lebih lekat dengan image milenial dan belum mampu tampil meyakinkan di hadapan publik.
Neno juga kerap berdiri sejajar dengan para politisi laki-laki dibeberapa panggung yang melibatkan orasi, salah satunya di panggung Munajat 212 tempat ia kemudian menuangkan kata-katanya lewat puisi yang mengundang kontroversi tersebut.
Pada titik ini, Neno memang bisa dibilang menggunakan puisi sebagai salah satu alat propaganda.
Habis Abu Jibril, HTI, Sugik Nur, Bahar Smith dg dengkul sakti dan Rizieq yang msh kabur ke Saudi, barisan @prabowo masih ditambah lagi Neno Warisman yang tidak mau menyembah Tuhan lagi jika kalah Pilpres..
Dan @rockygerung menamakan kelompok mereka sbg kelompok akal sehat ??
— Denny siregar (@Dennysiregar7) February 22, 2019
Lucia Trent dan Ralph Cheyney dalam bukunya yang berjudul More Power to Poets, menyebutkan bahwa puisi memang memiliki kekuatan propaganda dimana karya sastra ini dapat menciptakan nilai dalam ranah emosi.
Jika ditengok dari puisi Neno yang seolah “mempolitisir” doa dalam balutan puisi, tentu merupakan sebuah langkah yang cerdas, meskipun puisi tersebut berpotensi semakin meningkatkan tensi permusuhan antara para pendukung Prabowo dan Jokowi.
Jika demikian, apakah Neno Warisman dapat disebut sebagai Tokyo Rose-nya Pilpres 2019?Tentu setiap orang punya pandangannya masing-masing. Yang jelas,dengan melihat kiprahnya selama ini dalam gerakan #2019GantiPresiden dan puisinya yang penuh dengan muatan unsur propaganda serta kampanye politik, tak heran jika banyak pihakmenyebutnya sebagai women propagandist yang dimiliki oleh kubu Prabowo-Sandi saat ini. Bukan begitu? (M39)