HomeHeadlineNasDem Tersesat?

NasDem Tersesat?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio dibuat menggunakan AI.

NasDem kini jadi salah satu parpol di wilayah abu-abu: memilih untuk tidak menjadi oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran, tapi juga tak ada di dalam kekuasaan. Menyebut diri sebagai pendukung di luar kabinet, posisi unik NasDem ini akan jadi pertaruhan serius, mengingat parpol lain yang berseberangan dengan Prabowo di Pilpres 2024 – salah satunya PKB – telah banting setir masuk ke kabinet. Akankah NasDem nyusul?


PinterPolitik.com

Surya Paloh telah memutuskan: Partai NasDem tidak akan duduk dalam kabinet pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Keputusan itu disampaikan langsung oleh sang Ketua Umum dalam Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) Partai NasDem di Labuan Bajo, pada awal Mei 2025. Dalam suasana yang khidmat namun simbolik, Paloh menyatakan bahwa partainya memilih “momentum pencerahan” ketimbang sekadar mabuk kekuasaan.

Pernyataan ini terdengar mulia. Tapi di dunia politik praktis, langkah NasDem justru menimbulkan pertanyaan besar: ke mana sebenarnya partai ini akan melangkah? Dengan tidak mengambil bagian dalam kekuasaan, tapi juga enggan menjadi oposisi penuh, NasDem berada di satu titik tumpul dalam spektrum politik Indonesia — bukan terang, bukan pula gelap. Bukan bagian dari pusat kekuasaan, namun juga belum tentu berdiri di sisi yang berseberangan.

Fenomena ini tidak bisa dibaca sebagai sekadar strategi menunggu. Surya Paloh sendiri mengakui bahwa tawaran untuk masuk kabinet sudah datang. Namun ia menolaknya. Alasan yang dikemukakan pun idealis: bahwa partai politik tidak semestinya hanya menjadi institusi pemuas ambisi kekuasaan. Tapi pertanyaannya tetap menggelantung — sejauh mana posisi “netral” ini dapat bertahan di dunia politik yang pada dasarnya dibangun dari kalkulasi kekuasaan?

NasDem, dalam formasi politik nasional pasca-Pilpres 2024, terlihat seperti partai yang kehilangan jalur navigasi. Pilihannya untuk mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berakhir dengan kekalahan. Jembatan ke pemerintahan Jokowi pun telah runtuh sejak pencapresan itu. Kini, dalam peta koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran yang semakin menggemuk, NasDem justru memilih jalan sendiri. Tapi bukan sebagai penantang utama, melainkan sebagai pejalan kaki yang menepi — menonton lalu lintas kekuasaan dari pinggir jalan, dengan status elite tapi tanpa pijakan konkret.

Ini bukan hanya soal posisi ideologis. Ini soal keberadaan. Sebuah partai yang punya kantor megah di jantung Ibu Kota, yang memiliki basis finansial kuat dan infrastruktur politik nasional, justru menggantungkan nasibnya pada status yang cair. Tidak sepenuhnya beroposisi, tetapi juga tidak menikmati hak prerogatif kekuasaan.

Apa yang sedang terjadi dengan NasDem?

Antara Netralitas dan Kekuasaan

Fenomena NasDem yang berada di titik tengah—tidak berkuasa, tidak pula melawan—dapat dijelaskan melalui tiga pendekatan teoretis yang relevan dalam politik kontemporer.

Pertama, teori Cartel Party dari Richard Katz dan Peter Mair. Dalam kerangka ini, partai politik tidak lagi menjadi alat artikulasi kepentingan rakyat, melainkan institusi yang dibentuk dan dirawat untuk berbagi sumber daya negara. Partai-partai saling bersandar pada kekuasaan negara, tidak hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk mengamankan struktur organisasinya.

Baca juga :  Dilema Pengganti Hasto

Dalam konteks ini, keputusan NasDem untuk menjauh dari kekuasaan tampak irasional — karena akses terhadap sumber daya justru menjadi penopang utama partai modern. Tanpa kekuasaan, sumber daya politik, administratif, dan finansial akan menyusut. Maka ketika NasDem memilih untuk tidak masuk ke dalam kekuasaan, ia sebenarnya sedang menantang logika dasar dari partai jenis ini. Atau, bisa jadi, NasDem percaya diri memiliki sumber daya di luar negara — sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya cadangan finansial mandiri.

Kedua, teori Party System Institutionalization dari Scott Mainwaring. Teori ini menekankan pentingnya stabilitas pola kompetisi dan kohesi internal partai. Dalam konteks Indonesia yang sistem kepartaannya belum sepenuhnya terinstitusionalisasi, manuver seperti yang dilakukan NasDem dapat dilihat sebagai bentuk fleksibilitas, namun juga sebagai gejala dari belum stabilnya struktur partai.

NasDem, yang selama ini dikenal cair dalam aliansi dan arah dukungan politiknya, menunjukkan bahwa sistem politik kita masih membuka ruang besar bagi kalkulasi individual para elite ketimbang loyalitas ideologis atau programatik. Paloh, sebagai figur sentral, lebih menentukan arah partai ketimbang basis organisasi atau kader.

Ketiga, konsep Soft Opposition atau oposisi lunak. Ini adalah istilah yang sering muncul dalam demokrasi delegatif atau demokrasi hibrida, di mana terdapat aktor politik yang tidak secara resmi berada di pemerintahan, namun juga tidak menjadi oposisi yang vokal. Oposisi lunak tidak berfungsi untuk mengontrol kekuasaan secara efektif, namun bisa memberikan sinyal-sinyal selektif terhadap kebijakan tertentu.

Dalam konteks NasDem, posisi ini memungkinkan mereka mendukung Prabowo dalam isu-isu tertentu — misalnya RUU Perampasan Aset — namun tetap menjaga jarak simbolik dari pemerintahan. Ini bukan bentuk oposisi parlementer yang sejati, melainkan kalkulasi politik berbasis isu, bukan prinsip.

Ketiga pendekatan ini menjelaskan satu hal: posisi NasDem tidak benar-benar “idealistik”, sebagaimana diklaim Surya Paloh. Ia tetap berada dalam logika politik transaksional, hanya saja dalam modus yang lebih lunak, lebih selektif, dan lebih penuh kalkulasi jangka menengah — terutama dengan mata tertuju pada Pemilu 2029.

Tak Cukup Hanya Menepi?

NasDem tidak bisa disamakan dengan partai gurem. Infrastruktur partai ini sangat mumpuni. Kantor megah di NasDem Tower, kekuatan media melalui jaringan Metro TV dan Media Indonesia, serta koneksi elite yang masih kuat menjadikan NasDem sebagai kekuatan potensial. Namun potensi saja tidak cukup. Tanpa akses ke kekuasaan, partai ini akan sulit mempertahankan relevansi politik di jangka panjang.

Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kekuatan finansial partai tidak selalu linier dengan pengaruh politik. NasDem memang punya modal ekonomi, tapi dalam sistem demokrasi presidensial seperti Indonesia, partai yang tidak mengambil bagian dalam eksekutif akan kesulitan mengarahkan kebijakan. Apalagi jika partai tersebut juga tidak mengambil peran sebagai oposisi ideologis yang konsisten.

Baca juga :  KL to Tehran: Mossad’s New Playground?

Dalam situasi seperti sekarang, NasDem lebih menyerupai kekuatan residual — hadir hanya ketika isu-isu tertentu membutuhkan suara penyeimbang di parlemen. Tapi tanpa keberpihakan yang jelas, baik terhadap rakyat maupun terhadap kekuasaan, partai ini hanya akan menjadi case-by-case actor — semacam pelengkap quorum, bukan pemegang wacana besar.

Keputusan Surya Paloh untuk tidak bergabung dalam kabinet memang bisa dibaca sebagai usaha menjaga marwah partai. Tapi marwah itu akan tergerus jika tidak dibarengi dengan konsistensi dan narasi politik yang kuat. Jika NasDem ingin menjadi partai pencerah sebagaimana yang digembar-gemborkan, maka partai ini harus tampil sebagai kekuatan oposisi yang punya visi. Bukan hanya sekadar “menjaga jarak” tanpa kritik, apalagi menjadi partai bayangan yang menyelinap ke ruang-ruang kekuasaan hanya saat dibutuhkan.

Di tengah kondisi politik Indonesia yang makin pragmatis dan terpolarisasi, posisi ambigu semacam ini tidak hanya sulit dijelaskan kepada publik, tetapi juga tidak menguntungkan secara elektoral. Pemilih tidak memilih partai berdasarkan niat baik, tapi berdasarkan posisi yang tegas dan aksi nyata. Dalam jangka panjang, jika NasDem tidak mendefinisikan ulang perannya, ia bisa kehilangan basis massa yang selama ini terbentuk melalui momentum-momentum elektoral pragmatis.

Pada akhirnya, NasDem berada dalam situasi politik yang menggantung. Ia bukan oposisi, tapi juga bukan bagian dari kekuasaan. Ia punya modal kuat, tapi tidak cukup untuk menembus tembok kekuasaan tanpa posisi formal. Ia menyatakan diri sebagai partai pencerah, tapi minim narasi ideologis yang menyala.

Entah ini pertaruhan Surya Paloh semata agar kepentingan pribadi, bisnis dan politiknya tidak diganggu oleh pemerintah – katakanlah kalau ia menyatakan diri sebagai oposisi – atau sekedar permainan wait and see. Yang jelas publik tentu berharap agar NasDem tetap jadi kekuatan penyeimbang, sama seperti ketika partai ini berani mengusung Anies Baswedan di Pilpres lalu.

Meskipun demikian, situasi abu-abu Nasdem ini bisa menjadi batu loncatan menuju posisi baru menjelang 2029 — bila dikelola dengan narasi yang cerdas dan konsisten. Tapi jika hanya menjadi strategi bertahan, posisi ini akan menjelma menjadi titik stagnasi. Di tengah sistem politik yang makin kompetitif dan penuh kompromi, tidak ada ruang abadi bagi yang ragu. Politik selalu menuntut keberpihakan. Tidak harus selalu kepada kekuasaan, tapi setidaknya kepada gagasan yang jelas dan keberanian untuk memperjuangkannya.

Surya Paloh dan NasDem masih punya waktu. Tapi waktu bukan sekadar jam yang berdetak — ia adalah ukuran seberapa cepat sebuah partai bisa keluar dari kebingungan. Jika tidak, “partai restorasi” ini akan benar-benar tersesat dalam jalan sunyi politik Indonesia — megah secara simbolik, tapi kosong secara substansi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Perang Dunia III atau “Hot Peace”?

Dunia terasa semakin panas, tapi benarkah kita sedang memasuki babak awal Perang Dunia Ketiga? Atau jangan-jangan, ini hanyalah fase baru dari kompetisi global yang intens namun tetap terkendali—sebuah era yang oleh para ahli disebut hot peace.

Jalan Buntu Rumah Subsidi

Dengarkan artikel ini: Dalam kunjungannya ke Singapura beberapa hari lalu, Presiden Prabowo menyebut akan “mengcopy with pride” program-program Singapura, salah satunya adalah terkait pembangunan...

Pesanan Pizza Prediksi Konflik Israel-Iran? 

Warganet belakangan ramai perbincangkan "Pizza Index", yang disebut bisa memprediksi meletusnya konflik di Timur Tengah. Benarkah aroma keju meleleh pizza mampu menjadi tanda bahwa sebuah tensi geopolitik akan pecah?

Rian d’Masiv-Anies “di Antara Kalian”?

Di tengah derasnya hijrah musisi terjun ke politik, duet Rian d’Masiv dan Anies Baswedan di atas panggung jadi simbol sunyi, tentang pilihan dan "takdir", tentang jeda, hingga perlawanan simbolik. Mengapa demikian?

The Tale of Geng Solo

Pemerintah resmi menyatakan bahwa 4 pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara kembali menjadi milik Aceh. Warganet menanggapinya dengan menghadirkan terminologi “Geng Solo” – yang sebetulnya sudah muncul sejak lama – dalam pergunjingan dan diskursus politik.

Akur Bobby-Masinton, Akur Jokowi-PDIP?

Saat Bobby Nasution dan Masinton Pasaribu tampil mesra selama proses penyelesaian administratif empat pulau Aceh-Sumut, muncul pertanyaan, apakah ini sinyal rujuknya Jokowi dan PDIP? Atau hanya panggung keharmonisan semu demi kepentingan sesaat? Simbol dan gestur politik sendiri seringkali lebih dalam dari yang terlihat. Mengapa demikian?

Iran vs Israel: Saatnya Prabowo Bersiap?

Di tengah dinamika global seperti konflik Iran-Israel, haruskah Presiden Prabowo mulai mempersiapkan Indonesia untuk skenario terburuk?

Hati-Hati “Dinamit” Aceh

Pemerintah akhirnya memutuskan Aceh sebagai provinsi yang berhak atas wilayah 4 pulau yang sempat diperebutkan dengan Sumatera Utara.

More Stories

Jalan Buntu Rumah Subsidi

Dengarkan artikel ini: Dalam kunjungannya ke Singapura beberapa hari lalu, Presiden Prabowo menyebut akan “mengcopy with pride” program-program Singapura, salah satunya adalah terkait pembangunan...

The Tale of Geng Solo

Pemerintah resmi menyatakan bahwa 4 pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara kembali menjadi milik Aceh. Warganet menanggapinya dengan menghadirkan terminologi “Geng Solo” – yang sebetulnya sudah muncul sejak lama – dalam pergunjingan dan diskursus politik.

Hati-Hati “Dinamit” Aceh

Pemerintah akhirnya memutuskan Aceh sebagai provinsi yang berhak atas wilayah 4 pulau yang sempat diperebutkan dengan Sumatera Utara.