HomeNalar PolitikMungkinkah Papua Bernasib Seperti Sudan?

Mungkinkah Papua Bernasib Seperti Sudan?

Beberapa hari lalu, konflik bersenjata Sudan dimulai. Konflik antara pasukan militer pemerintah dan pasukan paramiliter  Pasukan Dukungan Cepat (RSF) ini telah melumpuhkan sebagian besar aktivitas negara tersebut. Selain menewaskan banyak korban sipil, konflik ini turut mendorong negara-negara asing mengevakuasi warga negaranya keluar dari Sudan. Jika kita berkaca pada konflik di Papua, mungkinkah nantinya kondisi di Papua menjadi seperti Sudan saat ini?


PinterPolitik.com

“Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah”, Mao Zedong

Sudah beberapa hari berlalu sejak konflik bersenjata Sudan dimulai. Konflik ini disebabkan  serangan pasukan paramiliter  Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pimpinan Jenderal Hamdan Dagalo (Hemedti) kepada Pasukan militer pemerintah di bawah pemimpin de facto Sudan saat ini, yaitu Panglima Al Burhan.

Angkatan Udara Sudan bahkan sampai mengirimkan serangan udara ke basis-basis RSF, yang berakibat pada jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Korban tewas ada sekitar 400-an orang dan ribuan lainnya luka-luka. Kondisi ini bahkan sampai mendorong negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Indonesia, Prancis, dan negara lainnya mengevakuasi warga negaranya untuk keluar dari negara tersebut.

Namun, di Indonesia sendiri saat ini sedang melanda eskalasi konflik yang cukup panas dan ramai dibicarakan, yaitu perseteruan antara militer dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.

Lantas, jika kita hubungkan dengan kondisi Indonesia saat ini, apakah kita bisa membandingkan RSF dengan KKB di Papua? Dan apakah Papua bisa dilanda konflik besar seperti Sudan?

image

Waspadai Devide et Impera?

RSF dan KKB tentu sangatlah berbeda, karena jika RSF adalah sebuah pasukan paramiliter di Sudan, KKB sendiri adalah sebuah gerakan/pasukan separatis di sebuah daerah dari sebuah negara. Apalagi, keberadaan RSF sendiri legal di Sudan, sementara KKB merupakan entitas yang dilarang di Indonesia.

Namun, kedua pasukan ini memiliki sejumlah persamaan yang dapat kita lihat, yaitu soal posisinya yang berlawanan dengan pemerintah dalam konflik, serta dugaan keberadaan dukungan asing pada mereka.

RSF sendiri disebut mendapat dukungan dari beberapa pihak, salah satunya adalah Wagner Group dari Rusia. Meski telah dibantah oleh Wagner group, namun dugaan ini terus dilontarkan, salah satunya dikatakan oleh Samuel Ramadi, seorang penulis buku Russia in Africa, kepada Al-Jazeera

Sementara dukungan asing kepada KKB di Papua bukanlah rumor lagi, karena sudah banyak temuan bantuan berupa pendanaan hingga persenjataan kepada gerakan tersebut. Selain itu, perlu kita kritisi  KKB bisa memiliki kekuatan tempur dan bertahan selama bertahun-tahun jika tanpa dukungan dari luar. Negara-negara seperti AS dan Australia selalu dituding menjadi “donatur” mereka.

Baca juga :  Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Sudan dan Papua sendiri sama-sama memiliki nilai strategis bagi kepentingan negara asing. Terutama soal keberadaan SDA yang begitu melimpah. Sudan merupakan salah satu penghasil pangan terbesar di Afrika dan berbagai komoditas tambang seperti emas. Sementara di Papua terdapat banyak daerah penghasil tambang berupa emas, mineral, hingga minyak bumi.

SDA inilah yang menjadi suatu hal menarik bagi pihak asing, sehingga mereka berupaya untuk menjaga dan menguasai akses ke SDA tersebut. Di Sudan sendiri keterlibatan Wagner Group dicurigai untuk melindungi jalur penyelundupan emas, yang nantinya digunakan untuk membiayai perang di Ukraina.

Di Papua sendiri melimpahnya SDA, selain membawa keuntungan bagi perekonomian Papua dan Indonesia, juga membawa ketertarikan pihak asing untuk bisa menguasai sepenuhnya. Dengan membentuk gerakan separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), pihak asing tersebut bisa mendorong lepasnya Papua dari Indonesia, sehingga nantinya akan lebih mudah dikuasai oleh mereka.

Secara umumny, hal seperti itu merupakan bagian dari strategi politik devide et impera atau strategi pecah belah. Strategi ini sendiri bertujuan untuk memecah persatuan kelompok besar menjadi kelompok kelompok kecil. Karena kelompok kecil ini akan lebih mudah ditaklukkan dan dikuasai oleh mereka, serta lebih mudah untuk dibuai dengan imbalan dari kepentingan asing.

Maka dari itu, KKB/OPM bisa bertahan sangat lama hingga puluhan tahun lamanya. Karena sejatinya mereka hanya alat yang digunakan untuk kepentingan pihak asing, tidak sepenuhnya untuk kepentingan Papua.

Di satu sisi, pemerintah Indonesia sendiri tampaknya ‘stagnan’ dalam menyelesaikan konflik di Papua. Setelah sebelumnya menggunakan pendekatan militer, kini pemerintah lebih banyak menggunakan pendekatan humanis dalam bidang sosial ekonomi. Namun, kenapa upaya pemerintah tersebut tidak membuahkan hingga kini? Apakah upaya pemerintah bisa disebut “gagal”?

image 1

Masalah yang Kompleks

Permasalahan di Papua tidaklah sederhana. Permasalahan di sana terbentuk dari akumulasi berbagai faktor, mulai dari faktor politik, sosial dan ekonomi. Maka dari itu, dalam menanganinya perlu strategi yang jelas dan tepat, serta waktu yang panjang.

Konflik di Papua sendiri telah berlangsung sejak tahun 1960-an. Provinsi ini akhirnya menjadi bagian dari politik NKRI pasca Belanda angkat kaki dari Indonesia, serta hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang memutuskan bahwa masyarakat ingin Papua bergabung ke Indonesia.

Baca juga :  Kenapa PDIP PDKT ke Khofifah?

Namun setelah puluhan tahun menjadi bagian dari Indonesia, Papua belum sepenuhnya aman, karena kelompok KKB/OPM masih ada hingga sekarang.

Pemerintah sendiri sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk bisa menyelesaikan konflik tersebut secara permanen. Di zaman Presiden Jokowi saja pemerintah telah menggelontorkan banyak dana untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Pemerintah juga telah menyediakan berbagai beasiswa khusus anak Papua. 

Lalu, kenapa konflik di Papua tidak selesai hingga saat ini? Padahal konflik internal lain seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah selesai?

Menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, kondisi ini disebabkan oleh krisis kepercayaan dan akumulasi dari masalah lainnya.

Fahmi menjelaskan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat timbul karena para anggota gerakan separatis merasa tidak yakin dengan solusi dan agenda yang ditawarkan. Menurutnya, kadang apa yang ditawarkan oleh pemerintah hanya dilihat dari sudut pandang mereka saja, tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat atau tuntutan dari anggota gerakan tersebut.

Di sisi lain, Papua sendiri masih terbelakang dalam kemampuan ekonominya. Provinsi di wilayah Papua menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Meski telah banyak pembangunan oleh pemerintah, tetap saja itu belum cukup untuk menjangkau semua masyarakat Papua.

Terutama di wilayah pegunungan dan pedalaman Papua yang tentunya masih sangat under-developed. Kondisi ini pula yang turut menyebabkan harga barang barang mahal dan kualitas pendidikan yang rendah. 

Hal ini tentu menjadi alasan bagi para pendukung Papua merdeka, karena hasil dari tanah mereka yang kaya justru tidak dinikmati oleh mereka. Kesan “anak tiri” yang mungkin tumbuh pada sebagian masyarakat, akan semakin mempersulit pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.

Tentu pemerintah harus bisa mendapat suara dari seluruh warga Papua, bukan hanya dari masyarakat di perkotaan saja. Jelas kita tidak  mengatakan bahwa usaha pemerintah sia-sia, akan tetapi perlu untuk terus ditingkatkan lagi dengan cepat. 

Upaya damai harus selalu dikedepankan pemerintah untuk menarik simpati masyarakat Papua, sembari dengan tegas menindak aksi aksi KKB. Kesan persamaan dan persatuan tidak hanya bisa disebarkan lewat slogan nasionalis saja, namun juga persamaan pembangunan, ekonomi dan pendidikan. (R87)

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Polemik JIS, Polemik Politik?

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam inspeksinya ke stadion Jakarta International Stadium (JIS) beberapa hari lalu, menyebut bahwa stadion tersebut akan direnovasi karena dianggap tidak memenuhi standar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Meski terlihat sebagai upaya perbaikan yang baik, beberapa pihak justru merasa keputusan ini sarat akan motif politik, terutama  menjelang Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Lantas, motif seperti apakah yang sebenarnya berlaku?