HomeHeadlineMengutuk Israel “Jadi Batu” Pun Percuma?

Mengutuk Israel “Jadi Batu” Pun Percuma?

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengutuk Israel atas kekerasan terbarunya di Masjid Al-Aqsa Palestina. Namun, selain bukan yang pertama dan bukan satu-satunya dilakukan Indonesia, kutukan tersebut tampaknya hampir mustahil mengubah sikap Israel. Mengapa itu bisa terjadi? Serta apa yang bisa dilakukan Indonesia?


PinterPolitik.com

Setelah dianggap menjadi subjek pemantik batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia, Israel kembali menjadi sorotan di tanah air setelah aksi kekerasan di Masjid Al-Aqsa berujung “kutukan” resmi pemerintah. 

Namun, kutukan yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia atas kekerasan terbaru Israel di Masjid Al-Aqsa Palestina pada hari Rabu 5 April lalu seolah tak akan berarti banyak. 

Bahkan, tak berlebihan kiranya untuk mengatakan jika kutukan hingga menjadi batu layaknya kisah Malin Kundang pun akan percuma, saking pesimisnya ekspektasi dan riwayat “kutukan diplomatik” terhadap perubahan sikap Israel. 

Sedikit mengulas latar belakang kutukan itu, aparat keamanan Israel dikabarkan menyerang jemaah Palestina di kompleks Masjid Al-Aqsa pada Rabu, 5 April menjelang waktu fajar. 

Kekhawatiran serta kutukan pun tak hanya datang dari negara +62. Tercatat Malaysia, Turki, Kanada, Dewan Kerjasama Teluk (GCC), hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam tindakan brutal aparat keamanan Israel. 

Pemerintah Indonesia sendiri menilai aksi kekerasan tersebut menyakiti perasaan umat Muslim dunia di tengah khidmatnya ibadat Ramadan. Terlebih, pelanggaran terhadap kesucian Masjid Al-Aqsa akan memantik eskalasi konflik dan kekerasan. 

infografis indonesia kutuk israel lagi

Kembali, seperti yang disampaikan sebelumnya, optimisme seolah sama sekali tak terlihat dari kutukan keras negara-negara hingga organisasi kerjasama multilateral terhadap Israel. 

Lalu, pertanyaan substansial yang akhirnya bertendensi klise kini kembali mengemuka, yakni mengapa kutukan keras berulang itu tak ampuh mengubah sikap keras Israel terhadap Palestina? 

Serta bagi Indonesia, peran seperti apa yang bisa dilakukan untuk berkontribusi konkret bagi perdamaian di wilayah tersebut, serta demi menghindari intrik turunan yang merugikan seperti pembatalan status tuan rumah Piala Dunia U-20 yang jamak dinilai karena penolakan delegasi Israel? 

Kutukan Diplomatik Sia-Sia? 

Sebagian masyarakat di tanah air kiranya tak asing dengan kecaman atau kutukan yang sering dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam merespons kekerasan otoritas Israel terhadap warga Palestina. 

Bukan hanya Indonesia, kutukan serupa kerap datang dari negara-negara dengan latar belakang solidaritas Muslim maupun negara yang peduli dengan pelanggaran kemanusiaan. 

Namun, kecaman atau kutukan itu tampaknya sama sekali tak efektif untuk meredam agresivitas Israel terhadap Palestina, termasuk untuk mencegah kekerasan terulang di kemudian hari. 

Setidaknya terdapat tiga hal yang mendasari sia-sianya kutukan terhadap Israel selama ini. Pertama, tak lain karena kutukan diplomatik merupakan soft power yang paling lemah dalam hubungan antarnegara. 

Dalam studi hubungan internasional, kecaman atau kutukan dikenal sebagai condemnation, yang memang merupakan bagian dari kekuatan atau power sebuah negara dalam interaksinya dengan negara lain. 

infografis permenlu tolak israel perlu direvisi1

Secara umum, kutukan merupakan pernyataan dari perwakilan negara, baik itu kepala negara, kementerian urusan luar negeri, maupun duta besar dalam menegaskan posisinya atas suatu masalah, konflik, hingga krisis. 

Vibeke Schou Tjalve and Michael C. Williams dalam Reviving the Rhetoric of Realism: Politics and Responsibility in Grand Strategy menjelaskan pernyataan kutukan atau condemnation sebagai bentuk shaming (mempermalukan) saat sebuah negara tak sepakat dengan langkah negara lainnya dalam suatu persoalan. 

Baca juga :  Anies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Tjalve dan Williams menyebutnya sebagai retorika, baik dalam kerangka idealisme naif maupun yang signifikansinya murni terkait rasionalisasi atau penyamaran strategi besar yang ditentukan oleh banyak kepentingan. 

Sementara itu, Nadia Rojahn Martinsen dalam “We strongly condemn…”: Norwegian governments’ Foreign Policy Statements as Political Tool or Moral Stance? turut membedah makna dan efektivitas kutukan diplomatik dengan mengambil sampel Norwegia. 

Juga berangkat dari tendensi realis yang dikemukakan Tjalve dan Williams mengenai condemnation, Martinsen berkesimpulan bahwa Norwegia (dan banyak negara lainnya) tidak secara eksklusif mengutuk berdasarkan moral. 

Di balik sebuah kutukan atau condemnation, terdapat kalkulasi risiko, kepentingan nasional, status seeking atau tujuan impresi status/reputasi di mata internasional, sampai pemahaman atas efektivitas kutukan itu sendiri. 

Khusus mengenai efektivitas, sejumlah analis dan pakar hukum dan hubungan internasional menilai dampak dari kutukan diplomatik sangatlah rendah. 

Salah satunya yang dijelaskan oleh Emilie M. Hafner-Burton dalam Sticks and Stones: Naming and Shaming the Human Rights Enforcement Problem. 

Hafner-Burton menilai kutukan terutama yang terkait kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) sering kali diabaikan oleh negara yang dikutuk. Bahkan, efeknya sama sekali tidak ada. 

Dengan kata lain, kutukan diplomatik terhadap “pelanggaran” yang dilakukan negara lain dapat dikatakan tak selalu bermakna pernyataan moralitas, tetapi menjadi alat politik yang saling tumpang tindih dan ironisnya jamak tak berkontribusi apa pun secara konkret. 

Kedua, efektivitas kutukan yang minim juga berkaitan dengan relasi spesifik di bidang lain di antara negara yang mengutuk dengan yang dikutuk. 

Lalu, meski kutukan diplomatik tetap dianggap penting sebagai pernyataan sikap, pernyataan suatu negara belum tentu senada dengan rakyatnya. 

Selain itu, sisi gelap kutukan juga dapat bermakna dua hal yang saling bertolak belakang. Mengutip konsep dramaturgi dari Erving Goffman, apa yang dilakukan atau dikatakan negara terhadap negara lain di depan layar, kerap berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar. 

Kebetulan, sikap banyak negara atas kekerasan otoritas Israel terhadap warga Palestina menjadi sampel sempurna sisi gelap kutukan diplomatik itu. 

Turki, misalnya, yang kerap terlihat heroik membela Palestina dan mengutuk Israel namun nyatanya memiliki kerja sama perdagangan dan bisnis, termasuk bidang persenjataan yang begitu positif dengan Tel Aviv. 

Indonesia pun demikian. Walaupun tanpa hubungan diplomatik resmi, realitanya perdagangan Indonesia-Israel berjalan cukup pesat. 

Data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan setiap tahunnya nilai perdagangan Indonesia-Israel selalu menyentuh ratusan juta dollar. Tahun 2022 lalu, total perdagangan Indonesia dengan Israel bahkan mencapai US$185,6 juta (Rp2,8 triliun). 

Kerja sama “bawah tanah” pun masih terjalin hingga saat ini, seperti pelatihan militer dan intelijen Indonesia hingga impor komponen persenjataan dari Negeri Ben Gurion. 

Ketiga, tak bisa dipungkiri, lemahnya efektivitas kutukan diplomatik juga terkait dengan sokongan Amerika Serikat (AS) kepada Israel. 

Terlepas dari latar belakang dukungan yang dapat dibedah secara kontekstual maupun spekulatif, nyatanya AS – dengan hak vetonya – selalu menjadi tameng saat Israel ditekan Dewan Keamanan (DK) PBB maupun negara-negara lain. 

Baca juga :  Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Mengenai kekerasan terbaru Israel, AS melalui juru bicara (Jubir) Departemen Luar Negeri Vedant Patel menyatakan dukungan itu saat menyinggung serangan roket dari milisi Palestina ke Israel. 

Selain refleksi dari kemampuan militernya sendiri, backing dari pihak yang berstatus negara adidaya juga seolah membuat kepercayaan diri terlihat dari posisi politik Israel yang tetap teguh dalam pendiriannya meski menjadi langganan kutukan negara-negara lain, termasuk Indonesia. 

Di titik ini, perubahan sikap politik luar negeri signifikan dan aksi nyata mutakhir terhadap Israel kiranya dapat ditempuh, khususnya oleh Indonesia, dengan berkaca pada beberapa intrik merugikan yang terkait dengan negeri itu beberapa waktu terakhir. 

indonesia israel sebenernya sohib

Menjadikan Israel Teman? 

Terdapat satu petikan pernyataan menarik dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai Israel saat diwawancara secara eksklusif oleh Najwa Shihab dan ditayangkan di Youtube pada hari Selasa, 4 April lalu. 

Ganjar yang dianggap menjadi biang kerok pembatalan status tuan rumah Piala Dunia U-20 Indonesia akibat sikap penolakannya terhadap kehadiran Timnas Israel, menyinggung soal politik luar negeri Indonesia terhadap isu Israel-Palestina yang mungkin memang harus ditinjau ulang.  

“Atau jangan-jangan kita harus me-review politik luar negeri kita, mari kita duduk kalau begitu. Undang partai politik, tokoh bangsa, tokoh agama duduk bersama agar kemudian menjadi konsensus bangsa untuk menyikapi itu (Israel),” begitu ujar Ganjar. 

Nyatanya, sejak bersepakat bahwa Indonesia mendukung habis kemerdekaan Palestina sejak era Soekarno, kegamangan dan politik luar negeri yang seolah tak jujur terhadap Israel sering kali terlihat. Ihwal itu juga disiratkan Ganjar dan kemungkinan dirasakan bersama oleh sebagian pihak di Indonesia. 

Tak hanya dari impresi kesia-siaan di kutukan diplomatik, langkah konstruktif aspek lain untuk mendorong perdagangan yang lebih menguntungkan bagi Indonesia pun turut tertahan akibat nihil relasi resmi. Padahal, sikap politik luar negeri yang revolusioner kiranya sudah harus diimplementasikan. 

Perubahan itu sendiri sebenarnya pernah digagas oleh oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagaimana dijelaskan Anthony Smith dalam Indonesia’s Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State?

Gus Dur bahkan berupaya mempraktikkannya. Melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu Alwi Shihab, Indonesia berupaya melobi kepentingan Palestina dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sayangnya, langkah progresif itu harus kandas saat Gus Dur lengser. 

Pun, Niruban Balachandran dalam In defense of Istibsyaroh menyebut politik luar negeri Indonesia memang membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka. Utamanya tentang evaluasi dan perubahan konkret mengenai peran Indonesia pada isu Israel dan Palestina. 

Normalisasi dan membuka hubungan diplomatik resmi kiranya dapat menjadi langkah revolusioner awal. Setidaknya, mereka yang pro gagasan ini melihat Indonesia bisa memiliki daya tawar dan peran lebih aktif dalam relasi Israel yang berkaitan dengan Palestina. 

Kendati demikian, perjalanan tampaknya masih sangat panjang agar langkah itu bisa terwujud. Tentu, butuh keputusan bersama yang bijaksana untuk merespons isu Israel-Palestina ke depannya agar hal merugikan seperti batalnya status tuan rumah Piala Dunia U20 tidak terulang kembali. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jalan Terjal Sengketa Pilpres 2024

Satu hari jelang pengumuman hasil Pilpres 2024, gaung dugaan kecurangan muncul dari dua sisi, yakni Timnas AMIN dan TPN Ganjar-Mahfud. Akan tetapi, melihat progres dan dinamika yang ada hingga hari ini, tudingan kecurangan itu kiranya akan menguap begitu saja, baik yang melalui hak angket maupun jika nantinya dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Mengapa demikian?

Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Proyeksi karier apik, baik di militer maupun setelah purna tugas nantinya eksis terhadap ajudan Prabowo Subianto, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya pasca dipromosikan menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 328 Kostrad. Sosok berlatar belakang mililter yang "familiar" dengan politik dan pemerintahan dinilai selalu memiliki kans dalam bursa kepemimpinan bangsa di masa mendatang.