HomeNalar PolitikMengapa Nadiem Perlu Hati-Hati?

Mengapa Nadiem Perlu Hati-Hati?

Sejak awal penunjukannya sebagai menteri, Nadiem Makarim telah banyak menuai sorotan publik. Tidak hanya karena faktor usianya yang begitu muda, harapan besar agar mantan bos Gojek tersebut mampu memberikan perubahan di sistem pendidikan Indonesia terlihat jelas. Nadiem pun bergerak cepat, gebrakan ide bermunculan. Namun, di balik semangat tersebut, nampaknya tengah tersembunyi potensi masalah yang dapat menggoyang, bahkan memukul mundur Nadiem jika tidak diantisipasi sejak dini.


PinterPolitik.com

Kendati tidak masuk dalam daftar teratas menteri paling populer ataupun paling disukai publik dalam berbagai survei yang dilakukan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim nyatanya telah menetapkan kebijakan-kebijakan besar yang menarik perhatian banyak orang.

Satu yang paling mencolok tentu saja keputusannya untuk menghapuskan Ujian Nasional (UN) yang diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang akan mulai diterapkan pada 2021 mendatang.

Kemudian Nadiem juga memberikan gebrakan besar ketika memutuskan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) langsung ditransfer ke rekening kepala sekolah (kepsek) masing-masing tanpa melalui pemerintah daerah (pemda).

Lebih menarik lagi, 50 persen alokasi dana tersebut ternyata ditujukan kepada guru honorer. Itu tentu bak guyuran hujan di tanah tandus, atau merupakan kebijakan yang begitu diidamkan oleh para guru honorer yang selama ini diketahui mendapatkan upah yang tidak sebanding dengan perannya sebagai tenaga pendidik.

Tidak ketinggalan, tentu saja ada Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka – menjadi konsep yang memayungi penghapusan UN – yang disebut Nadiem dapat menciptakan suasana agar setiap unit pendidikan (guru, dosen, siswa, dan mahasiswa) memiliki kebebasan berinovasi, belajar dengan mandiri, dan kreatif.

Akan tetapi, kendati mengeluarkan berbagai gebrakan yang dinilai dapat mengubah sistem pendidikan ke arah yang lebih baik, nyatanya, seperti yang diakui pula oleh Nadiem, terdapat resistensi alias penolakan dari masyarakat, khususnya pada konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka.

Menariknya, Nadiem justru menanggapi resistensi tersebut sebagai suatu hal yang positif karena menilai suatu perubahan besar mestilah mendapatkan resistensi pada awalnya.

Akan tetapi, bagaimana jika resistensi tersebut sebenarnya adalah indikasi bahwa akan terdapat batu ganjalan besar yang dapat memukul mundur gebrakan Nadiem? Jika demikian yang terjadi, bukankah mantan bos Gojek tersebut seharusnya tidak melihat resistensi tersebut menggunakan kacamata normatif semata?

Harus Deteksi Potensi Masalah

Sama halnya seperti ungkapan normatif Nadiem, kita tentu kerap mendengar pernyataan “no pain no gain” – tanpa rasa sakit tak ada hasil – ataupun pepatah yang berbunyi “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.

Akan tetapi, bagaimana jika persoalan yang terjadi di awal tersebut bukanlah semacam resistensi biasa yang akan berlalu dengan sendirinya?

Pasalnya, gebrakan-gebrakan Nadiem pada dasarnya memiliki gesekan-gesekan kepentingan yang berpotensi besar menggoyang kepemimpinan alumnus Harvard tersebut.

Kebijakan penyaluran dana BOS langsung ke rekening kepsek misalnya, berpotensi akan menimbulkan gejolak yang besar. Pasalnya, dana BOS selama ini ternyata menjadi “lumbung” korupsi bagi pemda.

Hal tersebut dengan lugas dituturkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, yang menyebutkan berbagai oknum pejabat pemda memang diketahui telah melakukan pemotongan dana BOS.

Dengan alokasi anggaran sebesar 20 persen dari dana pendidikan, atau sebesar Rp 54,31 triliun pada tahun ini, mudah untuk menyimpulkan bahwa akan terdapat resistensi dari berbagai oknum pemda yang selama ini memanfaatkan dana BOS sebagai lumbung pendapatan.

Kemudian, besar kemungkinan rencana Nadiem untuk menghapus UN tidak akan terlaksana. Pasalnya, rencana penghapusan UN sebenarnya adalah rencana lama yang telah dicanangkan oleh Mendikbud sebelumnya, namun gagal dilaksanakan.

Menariknya, pada 2016 lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy secara jujur menyebutkan bahwa UN memiliki pertalian yang erat dengan berbagai bisnis, seperti percetakan berkas soal, hingga bisnis bimbingan belajar (bimbel) yang diketahui telah menjamur di berbagai tempat.

Merujuk pada data Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, per April 2017, terdapat 1.866 jumlah bimbel di Indonesia.

Tidak hanya berpotensi merugikan ribuan usaha bimbel, penghapusan UN nyatanya memiliki gesekan politik tersendiri. Pasalnya, pada temuan Ombudsman, disebutkan terdapat indikasi para pejabat Kemendikbud terlibat “kongkalikong” dalam proses pemenangan tender percetakan berkas soal UN pada 2013 lalu.

Tidak hanya soal kurangnya kualitas percetakan, belakangan diketahui ternyata PT Ghalia Indonesia Printing yang memenangi tender kala itu ternyata merupakan perusahaan dengan penawaran harga tertinggi. Dengan nilai mencapai Rp 22, 4 miliar, angka tersebut jauh melampaui penawaran dari perusahaan lainnya yang berada di kisaran belasan miliar rupiah.

Artinya, Nadiem sebenarnya tidak hanya akan mendapat resistensi eksternal terkait penghapusan UN, melainkan juga dapat memicu gejolak internal dari oknum pejabat Kemendikbud yang selama ini menjadikan UN sebagai lumbung pendapatan.

Kemudian, berdasarkan informasi yang didapatkan PinterPolitik dari internal DPR, diketahui bahwa “gaya komunikasi” Nadiem ternyata telah menimbulkan ketidaksukaan dari berbagai anggota DPR.

Hal tersebut terjadi karena mantan konsultan manajemen di McKinsey & Company tersebut kerap menggunakan kalimat “saya siap didebat” dalam memulai pemaparannya, di mana itu menimbulkan kesan bahwa pandangannya seolah yang paling benar.

Itu kemungkinan yang menjadi salah satu faktor mengapa konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka mendapat berbagai kritik dari anggota DPR, mulai dari definisinya yang dinilai belum jelas, hingga tahapannya yang dinilai tidak terstruktur dengan baik atau melompat-lompat.

Selaku pejabat publik muda, mungkin dapat dipahami bahwa Nadiem memerlukan “jam terbang” untuk memperbaiki gaya komunikasinya agar nantinya tidak menimbulkan masalah tersendiri.

Nadiem akan Gagal?

Tidak hanya berbagai gebrakannya dapat memicu gejolak, magnum opus alias karya besar Nadiem, yakni konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, nampaknya akan menjadi bukti kegagalan tersendiri bagi menteri muda tersebut.

Pasalnya, dalam penuturannya, konsep tersebut butuh waktu sampai 10-15 tahun untuk terlihat hasilnya. Artinya, dengan Nadiem yang belum tentu ditunjuk sebagai Mendikbud oleh presiden selanjutnya setelah Jokowi, ataupun belum tentu ia tidak akan di-reshuffle di periode ini, konsep tersebut tentu tengah berhadapan dengan persoalan waktu.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh anggota Komisi X DPR, Rano Karno yang menyebutkan bahwa konsep Merdeka Belajar tersandung masalah waktu. Oleh karenanya, pemeran si Doel tersebut berharap agar Nadiem tetap menjadi Mendikbud di periode selanjutnya.

Biju Dominic dalam tulisannya Why Politicians Fail to Focus on Long-Term Policies, menyebutkan bahwa terdapat tren di mana politisi gagal dalam mewujudkan program-program jangka panjang.

Menurut Dominic, banyak pemimpin pemerintahan justru memiliki orientasi temporal atau jangka pendek, sehingga tidak memfasilitasi perumusan program berjangka waktu lebih dari lima tahun. Menariknya, hal tersebut terjadi karena secara alamiah manusia memiliki naluri bertahan hidup yang cenderung lebih fokus pada orientasi temporal.

Artinya, ini sebenarnya bukan hanya soal konsistensi Nadiem ataupun para pejabat di Kemendikbud, melainkan juga melibatkan konsistensi dari Presiden Jokowi sendiri, terkait apakah mantan Wali Kota Solo tersebut memang memiliki proyeksi jangka panjang untuk mendukung konsep Nadiem atau tidak.

Presiden Jokowi sendiri, sampai saat ini diketahui belum memberikan tanggapan terkait konsep Merdeka Belajar di hadapan publik.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa gebrakan Nadiem akan menemukan ganjalan besar, bahkan boleh jadi akan menemui kegagalan. Akan tetapi, tentu kita berharap menteri muda tersebut dapat mendulang kesuksesan dengan berhasil memberi perubahan dalam sistem pendidikan Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...