HomeNalar PolitikMembaca Taktik Zelensky Kalahkan Putin

Membaca Taktik Zelensky Kalahkan Putin

Dunia dihebohkan dengan operasi militer yang dijalankan pemerintahan Vladimir Putin di Rusia terhadap Ukraina. Meski Putin dikenal dengan pembangunan citra yang baik di dunia internasional, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky justru lebih banyak menarik perhatian dunia. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Konflik merupakan sesuatu yang kerap terjadi. Dalam hubungan asmara, misalnya, ketidakcocokan tidak jarang akan berujung pada konflik di antara mereka-mereka yang terlibat dalam jalinan asmara tersebut.

Ini pun juga terjadi di tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi seperti politik, termasuk politik internasional. Namun, seperti yang telah diketahui, konflik antarnegara bukanlah konflik yang murah karena harus memakan biaya yang besar, termasuk nyawa dan nasib para korban yang terdampak oleh persinggungan kepentingan-kepentingan antarnegara.

Baru-baru ini, konflik pun meletus di benua Eropa, yakni antara Rusia dan Ukraina. Setelah berbulan-bulan terjadi intensitas politik tingkat tinggi di antara Rusia, Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat serta Amerika Serikat (AS), Presiden Rusia Vladimir Putin akhirnya melancarkan operasi militer khusus terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022.

Banyak dari mereka akhirnya harus merenggang nyawa. Banyak juga di antara mereka akhirnya harus meninggalkan rumah mereka agar dapat bisa melanjutkan hidup tanpa ancaman kekerasan bersenjata.

Namun, di tengah berbagai ancaman konflik yang menimpa Ukraina, ada satu pemimpin negara tersebut yang justru tampak menjadi semakin dikenal – bahkan hingga di luar negaranya sendiri. Sosok tersebut adalah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Di media sosial (medsos), banyak dari warganet membandingkan sosok Zelensky dengan Putin. Zelensky ditampilkan sebagai sosok yang sederhana sedangkan Putin terlihat seperti pemimpin yang angkuh.

Dalam salah satu cuitan di Twitter, misalnya, tampak Putin yang tengah rapat berjauh-jauhan di meja panjang dengan para pejabat pemerintahannya. Sementara, Zelensky yang mengenakan pakaian perang justru terlihat berbicara akrab dengan bawahan-bawahannya sembari makan pada satu meja yang sama.

Tidak hanya meme yang beredar, Zelensky juga menampilkan diri sebagai sosok yang pemberani yang tidak bersedia meninggalkan Ukraina meski pemerintah AS telah menawarkan bantuan untuk keluar dari negaranya. Presiden Ukraina tersebut justru langsung mengunggah sebuah video dengan nada sepia sembari mengumumkan bahwa dirinya akan ikut berjuang.

Perbandingan sosok Zelensky dan Putin yang ditampilkan di medsos ini setidaknya menambah unsur baru dalam konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Tidak hanya di darat – dan medan pertempuran seperti laut dan udara, medan perang lain justru menjadi krusial juga, yakni medsos.

Tentunya, muncul sejumlah pertanyaan soal apakah penting peperangan yang terjadi di medsos ini. Mengapa Zelensky justru sangat memerlukan kemenangan tersendiri di medan perang satu ini? Lantas, apa konsekuensinya terhadap konflik Rusia-Ukraina ini?

Mengenal Sosok Zelensky

Untuk memahami bagaimana strategi yang digunakan oleh Zelensky dalam konflik ini, tentu perlu juga mengetahui bagaimana latar belakang presiden Ukraina tersebut. Bukan tidak mungkin, latar belakang Zelensky turut memengaruhi cara ia berpikir dan menanggapi ancaman-ancaman di hadapannya.

Baca juga :  Amerika Sudah “Ditamatkan” Tiongkok? 

Dalam studi Hubungan Internasional, terdapat sejumlah tingkatan analisis (level of analysis) dalam mengamati kebijakan luar negeri sebuah negara. Salah satu tingkatan tersebut berada pada individu yang menjadi pengambil keputusan di pemerintahan.

Zelensky memiliki perjalanan yang cukup panjang sebelum akhirnya menjabat sebagai presiden Ukraina sejak tahun 2019. Zelensky lahir dan besar di sebuah kota di Ukraina yang sebagian besar penduduknya menggunakan Bahasa Rusia dalam kehidupan sehari-hari mereka, yakni kota Kryvyi Rih yang terletak di Ukraina bagian tengah.

Trauma atas peristiwa dan sejarah masa lalu tampaknya cukup berpengaruh bagi keluarganya. Bagaimana tidak? Zelensky lahir di sebuah keluarga Yahudi. Kakeknya, Semyon Zelensky, setidaknya turut mengalami pahitnya perang besar yang menjadikan kelompok Yahudi sebagai kelompok yang sangat terdampak, yakni Perang Dunia II.

Ayah dan tiga saudara Semyon, misalnya, menjadi korban tragis dari Holocaust yang dilancarkan oleh pemeirntah Jerman Nazi. Meski begitu, Semyon terlibat aktif dalam militer Uni Soviet dalam melawan Blok Poros.

Bukan tidak mungkin, bagi keluarganya yang berlatarbelakang Yahudi, Perang Dunia II merupakan mimpi buruk – memaksa mereka harus pergi dari rumah mereka. Pengalaman masa lalu ini bisa jadi mempengaruhi Zelensky dalam menyikapi konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.

Setidaknya, Zelensky kini menampilkan dirinya bak pahlawan yang tetap hadir meskipun nyawanya turut terancam. Kepeduliannya terhadap masyarakat Ukraina inipun juga terlihat dari bagaimana istrinya, Olena Zelenska, yang selalu berusaha terlibat dalam berbagai program yang mendukung kelompok-kelompok rentan.

Tidak hanya berhenti di situ, Zelenska juga aktif dalam mengembangkan kekuatan lunak (soft power) Ukraina. Dengan menginisiasi, sebuah pertemuan tingkat internasional di Kiev, Zelenska menyebutnya sebagai bentuk baru soft power.  

Tidak mengherankan apabila soft power menjadi andalan Zelensky dan Zelenska. Pasalnya, keduanya memiliki pengalaman panjang dalam industri hiburan, media, dan komedi. 

Bukan tidak mungkin, pengalaman ini menjadi bekal dasar Zelensky dalam menyikapi perang ini – yakni melalui media dan komunikasi publik. Dengan konflik yang terjadi, bisa saja Zelensky berusaha membawa pertempuran ke dalam dunianya, yakni media.

Bila benar, Zelensky akhirnya berusaha membawa pertempuran dengan Putin ke medan perangnya sendiri, mengapa strategi yang diambilnya menjadi penting? Lantas, mungkinkah Zelensky telah mengungguli Putin di medan perang ‘baru’ ini?

Information Warfare ala Zelensky

Dengan perkembangan media baru di abad ke-21 ini, medan perang pun meluas. Tidak hanya terjadi di medan darat di mana tank dan pasukan dua belah pihak saling bertemu, pertempuran pun mulai terjadi di dunia udara, yakni dunia media – mulai dari media massa, jejaring internet, hingga medsos.

Peperangan jenis ini kerap disebut sebagai peperangan informasi (information warfare). Yevgeniy Golovchenko dan rekan-rekannya dalam tulisan mereka yang berjudul State, Media and Civil Society in the Information Warfare over Ukraine menjelaskan bahwa peperangan informasi merupakan penggunaan informasi – dan disinformasi – secara strategis untuk mencapai tujuan-tujuan politis.

Baca juga :  Trump Mau Jadikan Greenland ‘Benteng Es’?

Sederhananya, informasi menjadi senjata dalam peperangan ini. Sementara, garis depan yang diperebutkan adalah pikiran individu-individu yang mendapatkan informasi dan disiformasi strategis tersebut.

Di sisi lain, peperangan informasi antara Rusia dan Ukraina ini bukan baru saja terjadi saat ini, melainkan sudah meletus sejak aneksasi Krimea pada tahun 2014 silam. Kala itu, Rusia menyebarkan narasi bahwa keterlibatannya di Krimea merupakan bentuk dukungan terhadap kelompok marginal di Krimea yang mengalami ketidakadilan oleh pemerintah Ukraina.

Narasi yang sama pun kembali dilancarkan oleh Rusia kini. Dalam akun-akun media milik Rusia, tersebar juga narasi bahwa Rusia ingin melawan neo-Nazisme Ukraina yang mengancam kelompok Rusia di wilayah tertentu.

Namun, berbeda dengan peperangan informasi sebelumnya, Ukraina kini bisa jadi mengandalkan sosok Zelensky yang mahir dalam mempengaruhi opini publik di depan kamera. Di tengah gempuran militer Rusia yang jauh lebih kuat, Zelensky menampilkan diri bak judul serial komedinya, yakni Servant of the People (2015).

Ada satu hal yang berbeda dari narasi yang ditampilkan oleh Zelensky, yakni serangan Rusia yang disebut mengancam warga-warga sipil Ukraina. Apa yang disebut bisa jadi benar dan bisa jadi salah – tergantung fakta apa yang terjadi di balik semua informasi yang beredar saat ini.

Namun, satu hal penting yang bisa mempengaruhi bagaimana peperangan informasi ini berlanjut, yakni sebuah konsep yang disebut sebagai underdog effect (efek tidak diunggulkan). Anat Keinan dari Harvard Business School bersama rekan-rekan lainnya dalam tulisan mereka yang berjudul Capitalizing on the Underdog Effect menjelaskan bahwa efek ini membuat audiens untuk lebih mendukung pihak yang lemah dalam sebuah persaingan.

Ada dua komponen utama dalam narasi underdog, yakni (1) posisi yang tidak menguntungkan dan (2) sebuah dorongan (passion) untuk bisa berhasil dalam berbagai ketidakmungkinan dan situasi yang sulit. Dua komponen ini membuat audiens lebih bersimpati pada underdog (pihak yang lebih lemah).

Bukan tidak mungkin, dua komponen narasi ini terlihat dari informasi yang disebarkan oleh Ukraina dan Zelensky – mulai dari korban sipil hingga kritik terhadap Rusia yang dianggap sewenang-wenang. Lantas, mengapa efek underdog ini menjadi krusial bagi Zelensky?

Bisa jadi, ini disebabkan oleh ketimpangan kekuatan militer antara Rusia dan Ukraina. Bila Zelensky memainkan kartu yang sama dengan Putin, sudah jelas dirinya akan jauh lebih lemah.

Mungkin, untuk saat ini, peperangan informasi adalah strategi terbaik yang bisa diambil oleh Zelensky – mengingat negara-negara Barat dan AS tampak tidak ingin terlibat lebih jauh dalam konflik itu. Lagipula, dalam kesempitan seperti ini, strategi terbaik yang bisa digunakan adalah menjalankan hal terbaik yang bisa dilakukan. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Ini Jurus Rahasia Trump “Perkasakan” Amerika? 

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump berniat mendirikan sovereign wealth fund (SWF). Keputusan ini dinilai jadi keputusan yang sangat besar dan berdampak ke seluruh dunia, mengapa demikian? 

Prabowo dan The Intra-Elite Enemy

Masalah penataan distribusi gas LPG 3 kilogram menjadi sorotan terbaru publik pada pemerintahan Prabowo.

Prabowo Ditantang Memecat PNS?

Diskursus efisiensi anggaran negara turut mengarah pada peringkasan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gaungnya telah lama terdengar. Ihwal yang tak kunjung terealisasi dan berubah menjadi semacam “mitos”. Beberapa sampel di negara lain seperti Argentina, Amerika Serikat, hingga Singapura kiranya dapat menjadi refleksi. Lalu, mampukah Presiden Prabowo mendobrak mitos tersebut?

Menuju Senja PKS?

Hidayat Nur Wahid (HNW) dinilai tidak sensitif terhadap penggunaan transportasi umum. Seperti Ja Rule, PKS terancam kehilangan relevansi?

Mampukah Prabowo Make Indonesia Great Again? 

Konsep Make America Great Again (MAGA) ala Donald Trump beresonansi dengan dorongan adanya keperluan konsep Make Indonesia Great Again (MIGA). Mampukah ambisi ini dijalankan? 

Amerika Sudah “Ditamatkan” Tiongkok? 

Tiongkok semakin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa menyaingi Amerika Serikat (AS). Kini, kompetisi bagi AS bahkan datang di sektor yang didominasinya, yakni dunia artificial intelligence. Lantas, mungkinkah ini awal dari kejayaan Tiongkok yang menjadi nyata? 

AHY dan Jokowi’s Bamboo Trap?

Saling lempar tanggung jawab atas polemik pagar bambu laut di pesisir Kabupaten Tangerang memunculkan satu diskursus menarik mengenai head-to-head langsung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, diskursus itu menambah probabilitas eksistensi ranjau politik Jokowi terkait dengan pengaruh pasca presidensinya. Mengapa itu bisa terjadi?

Trump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Prabowo dan PM Anwar Ibrahim bertemu kembali di Kuala Lumpur, Malaysia. Mungkinkah Prabowo dan Anwar kini sedang ‘bersaing’ satu sama lain?

More Stories

Menuju Senja PKS?

Hidayat Nur Wahid (HNW) dinilai tidak sensitif terhadap penggunaan transportasi umum. Seperti Ja Rule, PKS terancam kehilangan relevansi?

Trump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Prabowo dan PM Anwar Ibrahim bertemu kembali di Kuala Lumpur, Malaysia. Mungkinkah Prabowo dan Anwar kini sedang ‘bersaing’ satu sama lain?

Prabowo, Trump, dan Sigma-isme

Presiden AS Donald Trump disebut berjasa untuk mengembalikan TikTok agar tersedia kembali di negeri Paman Sam. Mungkinkah ini sigma-isme?