Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Megawati akhirnya tampil satu panggung dengan Prabowo dan Gibran di peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 — sebuah momen langka yang tak bisa dianggap remeh. Apakah ini pertanda awal dari stabilitas politik baru di Indonesia?
Upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Senin, 2 Juni 2025, menyajikan sebuah pemandangan politik yang unik. Di antara para tokoh yang hadir, kehadiran Megawati Soekarnoputri mencuri perhatian publik dan pengamat politik. Ini bukan semata soal seremoni kenegaraan, tapi lebih dari itu: ini adalah pertama kalinya Megawati tampil bersama Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam satu acara resmi setelah kompetisi politik Pilpres 2024 yang penuh tensi.
Megawati, yang duduk sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, berdiri di belakang Prabowo dan di depan Gibran saat upacara berlangsung. Ketiganya sempat berbincang hangat sebelum upacara dimulai, bahkan setelah acara pun Megawati diantar langsung ke mobilnya oleh Presiden Prabowo — sebuah gestur simbolik yang tentu tidak bisa dianggap sepele.
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya gestur etiket kenegaraan. Namun bagi yang jeli membaca arah angin politik nasional, ini bisa menjadi indikasi akan terjadinya pergeseran penting. PDIP, partai Megawati, selama ini digadang-gadang sebagai satu-satunya partai besar yang akan mengambil sikap oposisi. Maka muncul pertanyaan mendasar: apakah kehadiran Megawati di momen ini hanya bentuk penghormatan institusional, ataukah sebuah pertanda bahwa dinamika oposisi sedang melunak?
Lebih lanjut, seberapa signifikan sebetulnya gestur kehadiran Megawati ini dalam lanskap politik nasional pasca-Pilpres? Apakah ini adalah sinyal awal menuju rekonsiliasi? Atau justru strategi diam-diam yang menyimpan makna lebih dalam?

Megawati, Kunci Stabilitas Politik?
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Megawati Soekarnoputri merupakan salah satu pilar terakhir dalam stabilitas politik nasional saat ini. Dalam konteks pasca-Pilpres 2024, PDIP menjadi satu-satunya partai besar yang secara terbuka memiliki potensi untuk mengambil jalur oposisi, sementara partai-partai lain telah merapat ke kubu pemerintahan Prabowo-Gibran.
Stabilitas politik dalam sistem demokrasi elektoral seperti Indonesia bukan hanya penting secara normatif, tapi juga secara fungsional. Dalam teori pembangunan politik klasik seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, stabilitas institusional menjadi prasyarat utama bagi konsolidasi demokrasi. Ketika lembaga-lembaga politik mapan mampu menjaga relasi yang konstruktif dengan kekuasaan eksekutif, maka negara tidak hanya akan terhindar dari konflik politik terbuka, tetapi juga akan lebih mampu menarik investasi, menjaga keberlanjutan kebijakan, dan menciptakan iklim birokrasi yang efektif.
Di sinilah arti penting Megawati dan PDIP menjadi menonjol. Sebagai kubu yang hingga kini terus menyuarakan akan berada di luar pemerintahan, keberadaan satu kekuatan penyeimbang menjadi sangat vital — baik untuk menjaga check and balance maupun untuk memastikan bahwa proses demokrasi tidak kehilangan semangat deliberatifnya. Namun, lebih menariknya, kehadiran Megawati dalam upacara Hari Lahir Pancasila justru menunjukkan adanya kemungkinan bahwa stabilitas itu bisa dibangun tanpa harus masuk dalam konflik oposisi-pemerintah yang keras.
Dalam pemikiran politik kontemporer, hal ini bisa dikaitkan dengan teori koeksistensi politik yang dikembangkan oleh Giovanni Sartori. Dalam sistem multipartai seperti Indonesia, stabilitas tidak selalu harus datang dari oposisi yang vokal, tetapi bisa juga melalui koeksistensi fungsional — di mana kekuatan oposisi tetap menjaga jarak, namun tidak serta-merta memusuhi semua langkah pemerintahan. Ini adalah strategi yang sangat mungkin tengah dijalankan Megawati, yang selama ini dikenal sebagai pihak yang begitu memegang teguh prinsip politiknya.
Dari sudut pandang hubungan politik-ekonomi, kestabilan ini juga dapat dimaknai sebagai sinyal positif bagi para pelaku pasar. Investor — baik dalam negeri maupun asing — tentu lebih nyaman beroperasi di lingkungan yang tidak dipenuhi oleh konflik elite yang destruktif. Ketika para tokoh besar seperti Megawati menunjukkan gestur kooperatif, itu adalah bentuk confidence booster bagi banyak sektor.
Artinya, kehadiran Megawati bukan hanya sekadar simbol, tetapi bisa dibaca sebagai pernyataan sikap: bahwa PDIP, sekalipun masih kerap kritis, bersedia menjaga harmoni politik nasional. Hal ini tentu bisa memperkuat posisi pemerintah dalam menjalankan agenda-agenda strategis jangka panjang seperti pemantapan Danantara, ketahanan pangan, dan transformasi digital. Dalam konteks ini, Megawati adalah jembatan — antara masa lalu, masa kini, dan masa depan politik Indonesia.

Makna Gestur dan Humbleness Megawati?
Jika kehadiran Megawati dalam upacara Hari Lahir Pancasila 2025 adalah pertanda awal dari stabilitas politik yang lebih kokoh di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran, maka ini adalah langkah besar — baik bagi Indonesia, maupun bagi Megawati sendiri.
Sebab, Megawati selama ini bukan dikenal sebagai politisi yang mudah melunak. Dalam sejarah politiknya, ia sering menunjukkan sikap yang keras terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan.
Track record politik Megawati penuh dengan gestur tegas — dari pemecatan kader partai, keputusan untuk menarik dukungan terhadap kebijakan tertentu, hingga sikap diamnya yang sering kali lebih lantang dari kata-kata. Maka ketika ia hadir di dekat tokoh yang dalam konteks Pilpres sebelumnya bisa dianggap sebagai rival, muncul tafsir lain: apakah ini adalah tanda dari political humbleness?
Dalam teori politik, humbleness bukan berarti menyerah. Dalam banyak kasus, ia justru merupakan bentuk kekuatan yang matang. Political humbleness adalah kemampuan untuk mengesampingkan ego personal dan partai demi kepentingan yang lebih besar: keutuhan sistem politik dan harmoni sosial. Jika benar bahwa Megawati memilih jalur ini, maka itu adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai statesmanship — kualitas kepemimpinan yang melampaui kepentingan pragmatis sesaat.
Tentu, semua ini masih harus diuji oleh waktu. Tapi jika upacara Hari Lahir Pancasila kemarin adalah panggung awal bagi terbentuknya relasi baru antara Megawati dan pemerintah, maka bangsa ini patut bernafas sedikit lebih lega.
Politik Indonesia sedang menunjukkan wajah yang lebih dewasa. Dan dalam wajah itu, Megawati kembali memainkan peran pentingnya — bukan sebagai penantang, tapi sebagai penjaga keseimbangan. (D74)