Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Sri Mulyani seolah bagai legenda hidup yang tak tergoyahkan di posisi Menteri Keuangan RI. Namun, suatu saat, suksesi pasti terjadi dan gelagat untuk tetap tangguh dengan atau tanpa Sri Mulyani kiranya sedang diupayakan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Benarkah demikian?
Dalam dunia birokrasi dan tata kelola anggaran negara pasca-reformasi, nama Sri Mulyani Indrawati menjulang sebagai simbol teknokrasi yang kredibel, profesional, dan relatif imparsial.
Kiprahnya melintasi berbagai rezim, dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga dua periode Presiden Joko Widodo. Eksistensinya sebagai Menteri Keuangan dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bukan hanya mencerminkan keberlanjutan, tetapi juga kompromi tertentu.
Di satu sisi, penunjukan ini menandakan pengakuan terhadap rekam jejak dan kredibilitas Sri Mulyani sebagai simbol stabilitas fiskal. Di sisi lain, situasi ini sekaligus menempatkan dirinya dalam posisi yang semakin kompleks seiring berjalannya waktu, terutama setelah beberapa pos penting di Kementerian Keuangan diisi oleh figur-figur baru yang lebih secara personal dipercaya Presiden Prabowo.
Penunjukan Bimo Wijayanto sebagai Dirjen Pajak dan Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai adalah dua indikator penting dari arah konsolidasi birokrasi keuangan yang mulai bergeser dari tangan teknokrat ke tangan aktor-aktor politik birokratis. Tentu, dengan tidak serta-merta melihatnya dalam konotasi negatif.
Lebih dari enam bulan masa pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan, Sri Mulyani kini berada dalam persimpangan yang genting, yakni mempertahankan disiplin fiskal dan rasionalitas anggaran sambil menghadapi tekanan politik untuk merealisasikan janji besar nan luhur, seperti program makan bergizi gratis nasional, subsidi di bidang pertanian dan pangan, hingga belanja infrastruktur pertahanan.
Maka pertanyaannya bukan sekadar apakah ini gelagat akhir tangan dingin Sri Mulyani, tetapi apakah ia akan meninggalkan warisan sebagai menteri teknokrat yang tetap bertahan di tengah gelombang politik populisme fiskal serta bagaimana penerusnya akan bekerja?
Pelan-Pelan Goyah?
Krisis fiskal secara struktural belum, dan tidak diharapkan terjadi. Namun, tantangan dan peringatan dini telah bermunculan. Target penerimaan pajak tahun 2024tak tercapai, bahkan ketika kebutuhan belanja negara semakin meningkat.
Dalam konteks ini, posisi Sri Mulyani kiranya jadi sorotan, antara loyalitas terhadap prinsip-prinsip kebijakan fiskal yang konservatif dan tuntutan politis pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membiayai program-program yang hakikatnya juga demi kepentingan bangsa.
Salah satu indikator tekanan ini adalah isu anyar mengenai pembatalan program diskon tarif listrik PLN untuk masyarakat, yang awalnya dijanjikan sebagai stimulus daya beli.
Dana tersebut dialihkan ke skema subsidi langsung yang dianggap lebih efisien. Di saat bersamaan, pemangkasan uang saku rapat ASN, penghapusan paket data, serta honor pengelola keuangan dan lain-lain kiranya menunjukkan upaya keras Menkeu untuk menjaga efisiensi. Namun langkah-langkah itu juga menimbulkan ketegangan, baik dari sisi birokrasi maupun politik.
Dalam kerangka fiscal sociology, anggaran bukan sekadar instrumen teknis, tetapi medan pertarungan kekuasaan. Yang terjadi di Kemenkeu saat ini agaknya mencerminkan pergeseran dari yang tak hanya tax state ke arah spending state yang mau tidak mau harus lebih terkalkulasi dengan baik, sebuah ciri khas dari pemerintahan yang hendak memperluas legitimasi melalui redistribusi sumber daya negara.
Tantangan bagi Sri Mulyani adalah memastikan bahwa belanja negara tetap terkontrol tanpa menimbulkan defisit kredibilitas fiskal, baik di mata publik maupun lembaga pemeringkat internasional.
Masalahnya, resistensi teknokratik terhadap ekspansi fiskal seringkali menjadi sasaran delegitimasi politik. Dalam hal ini, Sri Mulyani bisa saja tak lagi atau tak selamanya dilihat bukan sebagai solusi yang relevan dalam konteks kebijakan keuangan negara. Apalagi, dengan arsitektur birokrasi yang begitu dinamis dan pelan-pelan berubah.
Lantas, bagaimana masa depan Sri Mulyani?

Meninggalkan Jejak atau Tersingkir Perlahan?
Tidak ada jabatan kekuasaan yang abadi, termasuk kursi Menteri Keuangan. Namun pertanyaan yang lebih relevan adalah dalam konteks konsolidasi politik yang tengah berlangsung, apakah Sri Mulyani akan keluar sebagai guardian of fiscal discipline, atau hanya menjadi transitional figure dalam masa penataan ulang politik fiskal?
Secara politik, gejala “depresiasi” kepercayaan terhadap dirinya mungkin sudah mulai terasa. Pergantian di posisi strategis Kemenkeu bukan hanya soal kompetensi, tapi juga era baru kontrol dan ketegasan atas alur informasi dan kebijakan.
Hal ini agaknya sejalan dengan konsep bureaucratic layering dalam studi political economy, yaitu ketika kekuasaan baru tidak mengganti institusi lama secara frontal, tetapi secara bertahap “merekayasa” ulang lapisan-lapisannya untuk menghasilkan kebijakan yang berbeda sesuai dengan visi kebijakan negara.
Dalam kondisi ini dan jika benar-benar terjadi, posisi Sri Mulyani bisa diibaratkan seperti caretaker minister: tetap menjabat, tapi sebagian kewenangannya secara tak kasat mataberkurang.
Namun di sisi lain, perannya di kancah internasional tetap vital. Jaringan dan kredibilitasnya di Bank Dunia dan komunitas keuangan global masih menjadi aset berharga bagi Indonesia, terutama untuk menjaga stabilitas pembiayaan dan rating utang.
Bisa jadi, skenario transisi dari Sri Mulyani akan terjadi bukan dengan penggantian langsung, melainkan dengan pelan-pelan memindahkan fungsi-fungsi strategisnya kepada aktor lain di dalam kabinet atau birokrasi fiskal.
Warisan Sri Mulyani pun kiranya akan ditentukan oleh dua hal, yakni keberhasilannya menjaga fondasi fiskal tetap sehat di pemerintahan Prabowo, serta kemampuannya mempengaruhi pembentukan kerangka kebijakan fiskal jangka menengah yang realistis.
Jika berhasil dalam dua hal ini, maka namanya akan tetap lekat sebagai arsitek fiskal Indonesia modern, bahkan jika kelak ia harus pergi secara politis.
Bagaimanapun, Sri Mulyani bukan hanya teknokrat, tapi juga simbol dari gagasan tentang tata kelola ekonomi yang rasional, efisien, dan terukur pasca Reformasi.
Mungkin ini adalah gejala catatan akhir dari kiprah panjang Sri Mulyani sebagai bendahara negara. Namun bisa juga, justru ini adalah babak baru, dari teknokrat murni menjadi negosiator dalam kekuasaan politik.
Satu hal yang pasti, arah ekonomi Indonesia ke depan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana warisan rasionalitas fiskal Sri Mulyani mampu bertahan di tengah gelombang populisme dan konsolidasi politik yang terus menguat, tak salah, namun titik keseimbangannya akan sangat krusial. (J61)