BerandaHeadlineMa’ruf Jilid 2, Nasaruddin Umar Cawapres Ganjar?

Ma’ruf Jilid 2, Nasaruddin Umar Cawapres Ganjar?

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar disebut-sebut masuk radar sebagai cawapres Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Apakah ini akan mengulang cerita Ma’ruf Amin di Pilpres 2019?


PinterPolitik.com

“There is no harm in repeating a good thing.” – Plato

Dinamika politik menjelang Pemilu 2024 semakin memanas sejak deklarasi Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Mereka berdua resmi dideklarasikan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Nasional Demokrat (NasDem). Tidak hanya nama capres, diskursus juga dipadati dengan pembahasan soal nama-nama potensial untuk dijadikan sebagai calon wakil presiden.

Calon wakil presiden jelas memegang posisi krusial bagi koalisi partai dalam memenangkan pilpres. Hal ini dikarenakan figur cawapres akan mengisi celah suara yang tidak bisa dijangkau capres. Selain itu, cawapres kerap diambil dari tokoh yang familiar ataupun bagian dari kelompok religious, terutama Nahdlatul Ulama (NU).

Dengan pakem nasionalis-religius yang masih menjadi favorit menjelang pilpres, kombinasi tersebut tengah menjadi jantung pembahasan. Akhir-akhir ini Imam Masjid Besar Istiqlal Nasaruddin Umar masuk radar untuk menjadi cawapres Ganjar. Hal ini diungkapkan oleh Romahurmuziy, di mana Romi mengklaim bahwa Nasaruddin memenuhi semua kriteria untuk mendampingi Ganjar Pranowo.

Sebagai imam Masjid Istiqlal dan ‘ulama moderat, tidak heran apabila Nasaruddin sedang “dirayu” Partai Persatuan Pembangunan untuk menjadi cawapres Ganjar. Nasaruddin dinilai dapat menjadi magnet bagi mayoritas kaum Nahdilyin untuk memilih Ganjar. Nasaruddin dinilai akan mengokohkan basis pendukung Ganjar dari Nahdlatul Ulama.

Lantas, apakah Nasaruddin Umar akan mengulang cerita Ma’ruf Amin di Pilpres 2019?

cawapres ganjar pasti nu

Pertautan Kembali Ulama dan Politik

Ulama sebagai tokoh agama terkemuka masih menjadi favorit untuk menjadi pemimpin negara. Hal ini tidak bisa dinafikan dari komposisi masyarakat Indonesia yang kental akan nilai-nilai agama.

Sebagaimana pernyataan Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java, ulama menjadi patron yang diperhitungkan dalam tatanan masyarakat dikarenakan ulama lebih berpengetahuan perihal agama.

Baca juga :  Saatnya Anies Menyerang Balik?

Pengetahuan inilah yang memberikan otoritas bagi ulama dalam mempengaruhi perilaku masyarakat, baik itu memberikan fatwa atau bahkan merekomendasikan suatu calon. Pada konteks Indonesia, otoritas dari ulama tetap berpengaruh besar dalam mengubah arah politik bangsa. Hal ini tidak lepas dari tingginya penghormatan masyarakat kepada ulama dikarenakan dipandang mampu memberikan solusi kehidupan kepada umat.

Selain itu, tindakan ulama diklaim akan membawa keselamatan bagi masyarakat, sehingga masuknya ulama dalam politik akan memperkuat otoritasnya sebagai tokoh spiritual. Hal inilah yang disebut sebagai religious authority, di mana otoritas ulama berasal dari legitimasi akan pengetahuan dan karisma mereka. Legitimasi ini kemudian membuka akses untuk berkiprah dalam politik, termasuk menjadi pemimpin politik maupun mobilisasi massa.

M. Alkaf dalam artikelnya The Authority of ‘Ulama toward Politics menyebutkan bahwa besarnya pengaruh ulama dalam politik tidak bisa dilepaskan dari statusnya sebagai tokoh spiritual. Status ini tidak jarang dimanfaatkan untuk mendapatkan akses lebih luas dalam meniti karier politiknya dan bersamaan dengan status tersebut, maka pengaruhnya akan lebih kuat di mata masyarakat.

Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai Wapres periode 2019-2024 menjadi contoh bagaimana seorang ulama besar terpilih sebagai orang nomor dua Indonesia. Selain karena statusnya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), banyak pihak menyebut Ma’ruf dipilih untuk mengamankan suara Nahdliyin.

Hal yang sama juga dinilai akan berlaku apabila Nasaruddin Umar terpilih sebagai cawapres Ganjar. Selain merupakan pentolan MUI dan imam masjid terbesar di Indonesia, kiprah dan pandangan agama Nasaruddin bisa dikatakan seimbang dengan Ma’ruf Amin.

Berbagai pihak melihat bahwa situasi Ganjar hari cukup mirip dengan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Meskipun tidak seekstrem Jokowi, Ganjar juga membutuhkan wakil yang religius, serta kuat di Jawa Timur atau Nahdlatul Ulama.

Baca juga :  Ganjar dan Prabowo Harus Mundur?

Lantas, katakanlah benar Nasaruddin terpilih sebagai cawapres Ganjar dan kemudian menang di Pilpres 2024, apakah kiprah Nasaruddin akan lebih baik dibandingkan pendahulunya, Ma’ruf Amin?

imam besar istiqlal jadi cawapres ganjar

Mengulang Cerita?

Dominasi presiden dalam kepemimpinan nasional praktis menenggelamkan peran wapres. Alih-alih menjadi dwitunggal layaknya Soekarno-Hatta, Wapres seolah ditakdiran menjadi “figuran” untuk mencegah adanya matahari kembar. Alhasil, perebutan posisi wapres pada gilirannya berbanding terbalik dengan performanya dalam kabinet.

Hal itu banyak disorot pada posisi Ma’ruf Amin saat ini, di mana wapres tidak didesain powerful secara politik. Kendati sebelum Pilpres 2019 posisi Ma’ruf sangat diperhitungkan, namun setelah menjadi Wapres, nilai politiknya tidak lagi sebesar dahulu.

Michael Nelson dalam tulisannya The Curse of the Vice Presidencymenyebutkan bahwa wakil presiden memang sudah “dikutuk” untuk tetap diam karena hukum itu sendiri yang menghendakinya.

Sistem presidensial menitikberatkan presiden sebagai “tokoh utama” yang serba bisa dalam menakhodai negara, dan wakil presiden seolah hanya berfungsi ketika presiden tidak ada.

Kendati demikian, apa yang terjadi pada Ma’ruf ataupun wakil presiden lainnya sebenarnya adalah lumrah.

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Wakil Presiden Memang Seharusnya “Ban Serep”?, telah dijelaskan bahwa secara konstitusional wakil presiden memang sudah seharusnya di bawah bayang-bayang presiden. Dalam bahasa kasarnya, wapres memang adalah ban serep.

Pada kasus Jusuf Kalla (JK) yang dinilai begitu powerful, itu sebenarnya adalah anomali. JK bukan berpengaruh karena posisinya sebagai wapres, melainkan pengaruh politik personalnya. Itu bukan karena posisi Wapres tiba-tiba menguat, melainkan karena besarnya pengaruh personal JK.

Pada kasus Nasaruddin Umar, jika nantinya garis tangan menetapkannya sebagai wakil presiden, ada dua opsi yang sekiranya tersedia. Pertama, jika mengikuti konstitusi, memang sudah seharusnya Nasaruddin di bawah bayang-bayang Ganjar.

Kedua, jika ingin menonjol, Nasaruddin dapat meniru JK dengan membangun kekuatan dan jejaring politiknya. (D90)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Pilpres 2024 Hampir Pasti Ganjar vs Prabowo?

Salah satu pendiri CSIS Jusuf Wanandi menyebut Pilpres 2024 akan diisi oleh dua paslon. Dengan PDIP secara terang-terangan menginginkan dua paslon, apakah pernyataan Jusuf...

Melihat Gibran dari “Sendoknya”

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dinilai buat panik PDIP usai bertemu dengan Prabowo Subianto. Apakah ini berkat "sendok" Gibran?

Sakti, Rahasia Tiga Periode Erdoğan?

Di tengah kritikan dan krisis yang terjadi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Turki, Recep Tayyip Erdoğan kembali terpilih untuk ketiga kalinya sebagai Presiden. Erdoğan berhasil mengalahkan Kemal Kılıçdaroğlu yang...

“Fans Putin”, Komoditas Politik Baru?

Perang Rusia-Ukraina tampaknya telah meningkatkan popularitas Presiden Rusia Vladimir Putin di Indonesia. Banyaknya “fans Putin” di Indonesia seolah menjadi komoditas politik baru  saat keberpihakan...

Siapa Untung Di Balik Proporsional Tertutup?

Perdebatan mengenai penggunaan sistem proporsional tertutup kembali meruncing. Hal ini diperkuat dengan dugaan kebocoran pergantian sistem pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila proporsional tertutup...

Pasir Laut, Senjata Pamungkas Jokowi?

Selain dianggap menguntungkan Singapura, izin ekspor pasir laut Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di...

Prabowo-Habib Rizieq Pasti Reuni?

“Perdamaian” capres 2024 Prabowo Subianto kepada ceruk kelompok Islam konservatif seolah mulai tampak melalui kehadirannya di haul Habib Munzir Al Musawa pekan lalu. Lantas,...

Kenapa Populisme Politik Sulit Dihilangkan?

Populisme selalu menjadi aib politik yang berulang kali digunakan oleh para politisi dalam pemilihan umum (pemilu). Kenapa hal ini tidak bisa kita hindari?  PinterPolitik.com  Pemilihan Presiden...

More Stories

Siapa Untung Di Balik Proporsional Tertutup?

Perdebatan mengenai penggunaan sistem proporsional tertutup kembali meruncing. Hal ini diperkuat dengan dugaan kebocoran pergantian sistem pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila proporsional tertutup...

Perempuan Tidak Ditakdirkan Masuk Politik?

Pengesahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 menuai pertanyaan akan komitmen KPU dalam mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di politik. PKPU ini...

Kekuatan di Balik Partai Socmed (@PartaiSocmed)

Sorotan kepada anak pejabat kembali terjadi dengan pemberitaan mengenai monopoli bisnis di Lembaga Pemasyarakatan. Berita itu viral dan dibuat lebih detail oleh akun Twitter...