HomeNalar PolitikMa’ruf Amin, Sang Ekonom Putih

Ma’ruf Amin, Sang Ekonom Putih

Kecil Besar

“Political communication… encompasses the entire marketing process, from preliminary market study to testing and targeting”. – Philippe J. Maarek


Pinterpolitik.com 

[dropcap]B[/dropcap]anyak pihak menilai KH Ma’ruf Amin tak memiliki kemampuan mumpuni dalam bidang ekonomi. Beberapa pemberitaan menyebut kemampuan Ma’ruf kalah dibandingkan dengan pesaingnya, Sandiaga Uno. Semua orang tahu Sandiaga merupakan pengusaha sukses di republik ini.

Selama ini, orang-orang memang fokus pada sosok Ma’ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama. Tak banyak yang tahu bahwa Ma’ruf Amin juga merupakan seorang ekonom.

KH Ma’ruf Amin menyabet gelar profesor atau guru besar Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Selain itu, Ma’ruf Amin adalah salah satu sosok yang ikut membidani lahirnya bank-bank syariah di Indonesia. Ia pernah menjadi anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah di Bank Indonesia.

Dengan sepak terjang dalam dunia ekonomi tersebut, apakah Ma’ruf Amin sosok yang tepat mendampingi Jokowi untuk priode kedua? Lalu, bagaimana sang ulama memposisikan dirinya sebagai ekonom di hadapan konstituennya, serta apakah ekonomi syariah mampu menjawab isu ekonomi Indonesia yang belakangan sering ditimpakan ke Jokowi?

Profesor Ekonomi Syariah

Sepak terjang KH Ma’ruf Amin dalam kontestasi pemilihan persiden kali ini sering diasosiasikan dengan jabatan politis yang melekat pada dirinya. Publik lebih mengenal ia sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Pengurus Besar NU, terlebih keterlibatannya saat “menjegal” mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait penodaan agama.

Meskipun demikian, jika ditarik lebih jauh, Ma’ruf Amin sebenarnya sudah malang melintang dalam bidang ekonomi. Ia merupakan Lulusan S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Kholdun, Jakarta tahun 1967. Ia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa pada bidang Hukum Ekonomi Syariah dari Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012.

Ma’ruf nyatanya memang tidak hanya dikenal dalam bidang keagamaan Islam. Dalam hal perbankan misalnya, Ma’ruf juga ikut terlibat dalam mengemban berbagai jabatan sebagai dewan pengawas syariah di berbagai bank dan asuransi syariah. Di antaranya Bank Muammalat, Bank BNI Syariah, dan Bank Mega Syariah. Ma’ruf juga turut berperan penting dalam pembentukan perbankan syariah di Indonesia.

Lamanya ia berkecimpung dalam dunia politik dan ekonomi, turut serta membentuk pemikirannya dalam perspektif ekonomi, utamanya ekonomi syariah. Pemikirannya itu sempat disampaikan pada saat pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah di UIN Malang, Jawa Timur pada Mei 2017.

Ma'ruf Amin, Sang Ekonom Putih

Dalam pandangannya, Ma’ruf menyoroti pengaruh fatwa MUI – organisasi yang diketuainya – terkait hukum bunga perbankan yang dianggap riba yang kemudian menyuburkan sektor ekonomi syariah. Fatwa itu juga mengakibatkan pemerintah menerbitkan beberapa peraturan seperti Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (2008) dan Undang-Undang Perbankan Syariah (2008).

Ma’ruf Amin juga menyambut baik usaha pemerintah yang memulai pengembangan ekonomi syariah sebagai bagian dari peningkatkan ekonomi nasional. Di luar instrumen keuangan syariah, Ma’ruf juga masih berharap dengan pengembangan sektor ekonomi syariah lainnya, misalnya pada sektor bisnis syariah dan pariwisata syariah.

Baca juga :  Gen Z is Going Corrupt?

Selain itu, Ma’ruf menyoroti pendekatan ekonomi yang bottom-up. Artinya basis ekonomi ditopang oleh masyrakat (umat), sehingga tidak dimonopoli oleh segelintir konglomerat. Jika hal itu bisa dilakukan, dalam pandangan Ma’ruf, maka Indonesia bisa menjadi pemain kunci dalam mengembangkan ekonomi syariah dalam dunia internasional.

Politikal Marketing, Strategi Kampanye

Banyak yang memprediksi jika gelaran Pilpres 2019 tidak akan jauh berbeda rasanya dibanding Pilkada DKI Jakarta 2017. Politik identitas masih akan dimainkan oleh kedua kubu. Argumentasi sementara itu yang kemudian membuat Jokowi memilih Ma’ruf sebagai wakilnya.

Sementara lawannya, Prabowo Subianto kemudian memilih Sandiaga Uno, seorang pengusaha sukses sebagai wakilnya. Hal ini dianggap bisa menambal Prabowo dalam urusan ekonomi, sekaligus digunakan untuk melemahkan posisi Jokowi dalam konteks ekonomi – hal yang belakangan menjadi sasaran kritik banyak pihak. Maka, tak heran jika kampanye berbasis isu ekonomi ini menjadi salah satu fokus Prabowo.

Seolah tak tinggal diam dengan artikulasi politik yang diwacanakan oleh kubu Prabowo, koalisi partai Jokowi lantas  mencoba menjual citra Ma’ruf Amin sebagai orang yang ahli dalam bidang ekonomi. Mereka menyediakan platform sang kiai dengan mengurai kiprahnya dalam bidang ekonomi.

Jika diperhatikan, respons kubu Jokowi dengan menampilkan citra ekonom pada seorang Ma’ruf Amin bisa dimengerti sebagai marketing politik (political marketing). Dominic Wring dalam Journal of Marketing Management menyebutkan bahwa marketing politik adalah upaya partai politik atau kontestan yang menggunakan wacana yang berkembang di publik untuk menawarkan dan mempromosikan “produk-produk” kampanye yang bisa memuaskan konstituen dan pada akhirnya membuat diri atau partainya terpilih.

Strategi politik ini digunakan untuk mengamankan konstituennya yang selama ini masih menyangsikan kemampuan Jokowi-Ma’ruf sebagai pasangan yang mumpuni dalam bidang ekonomi. Dalam hal ini, strategi mempromosikan Ma’ruf sebagai tokoh ekonom syariah bisa menggiring konstituennya yang selama ini ada di zona abu-abu atau bahkan di kubu oposisi untuk menjatuhkan pilihannya kepada kubu Jokowi.

Dalam konteks komunikasi politik, narasi yang dibangun oleh kubu Jokowi melalui tim pemenangannya tersebut tentu saja efektif guna membangun jembatan politik pada masa seperti saat ini. Dengan menggeser citra Ma’ruf dari ulama menjadi ekonom, maka ia yang selama ini hanya dijadikan sebagai simbol agama saja akan mampu mengubah persepsi publik.

Baca juga :  Jokowi & Kutukan Sumber Daya Alam

Ekonomi Syariah, Jawaban Ekonomi Jokowi?

Keahlian Ma’ruf di bidang ekonomi syariah tentu saja menjadi nilai positif tersendiri. Pertanyaannya kemudian adalah apakah model ekonomi yang demikian mampu menjawab tantangan ekonomi Jokowi?

Faktanya, ekonomi syariah atau ekonomi halal merupakan sebuah arus perekonomian baru yang berpotensi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi global. Potensi tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, semakin meningkatnnya pertumbuhan populasi muslim dunia yang diperkirakan akan mencapai 27,5 persen dari total populasi dunia pada tahun 2030.

Konsep Ekonomi syariah kini memang berkembang pesat di dunia internasional. Perkembangan ini nampak pada peningkatan volume produk halal global yang pada tahun 2015 mampu mencapai US$ 3,5 triliun (Rp 51 ribu triliun) dan diperkirakan akan terus tumbuh mencapai US$ 6,3 triliun (Rp 91 ribu triliun) pada 2021.

Selain itu, ekonomi syariah bukan konsep eksklusif untuk umat Islam saja, tetapi konsep inklusif yang secara aktif melibatkan seluruh masyarakat dalam roda perekonomian. Hal ini memicu berbagai negara di dunia untuk berlomba memanfaatkan peluang yang ada dan jadi pemain utama di industri halal global. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada negara dengan penduduk mayoritas muslim, tapi juga di negara lain seperti Inggris, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan dan Thailand.

Indonesia sendiri memiliki potensi besar sebagai pemain kunci dalam ekonomi global. Saat ini, Indonesia masih menjadi importir produk makanan industri halal terbesar keempat di dunia, dan jadi pasar produk wisata, obat, kosmetik halal dan fashion syariah global. Jika masih bergantung pada impor, maka akan memperlebar defisit transaksi berjalan dan menekan posisi neraca pembayaran.

Untuk memperbaiki defisit neraca pembayaran, pemerintah tentu saja perlu meningkatkan ekspor, utamanya dalam sektor produk halal. Jika melihat data dari Comtrade tahun 2017, peran ekspor produk halal Indonesia mencapai 21 persen dari total ekspor secara keseluruhan. Walaupun besaran peran tersebut masih relatif kecil, namun perkembangan ekspor produk halal Indonesia mengalami peningkatan sebesar 19 persen dari tahun 2016.

Melihat data-data di atas, ekonomi syariah memiliki prospek yang cerah ke depannya. Tentu saja hal ini bisa menguntungkan Ma’ruf Amin secara politik sebagai ahli dalam bidang tersebut. Keahliannya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kemajuan ekonomi nasional, sekaligus “jualan” kampanye.

Persoalannya adalah apakah model ekonomi yang demikian dapat diterima oleh publik? Lalu, strategi kampanye seperti apa yang akan digunakan kubu Jokowi untuk “menjual” isu tersebut? Menarik untuk ditunggu. (A37)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

The Mahjong Game: Trump vs Xi

Mungkinkah AS di bawah Trump kini mulai meninggalkan papan "catur" dan mulai mengasah strategi "mahjong-nya" untuk melawan Xi Jinping?

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

Filosofi Kopi Prabowo Subianto?

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan kebiasaannya meminum kopi hitam. Apa sebenarnya filosofi kopi ala Prabowo?

Prabowo’s International Political Dance

Prabowo bisa dibilang menjadi salah satu presiden yang paling aktif dalam politik internasional. Ini kontras dengan presiden sebelumnya, Jokowi, yang tak begitu getol dalam panggung internasional kecuali jika berhubungan dengan masalah ekonomi.

King Indo Linguistic Flex

Bahasa Indonesia agaknya makin mendominasi ruang digital negara lain, khususnya Malaysia, dari TikTok hingga ruang kelas. Fenomena ini tampaknya bukan sekadar soal bahasa, tapi ekspansi soft power Indonesia di Asia Tenggara. Apakah ini adalah gejala menuju lahirnya “King Indo Digital Empire”?

The Gibran’s Gambit?

Penugasan Wakil Presiden Gibran dalam percepatan pembangunan Papua membuka ruang analisis baru dalam dinamika kepemimpinan nasional. Di balik mandat kelembagaan ini, tersirat peluang pembentukan citra politik yang lebih otonom dan strategis.

More Stories

Unikop Sandi Menantang Unicorn

Di tengah perbincangan tentang unicorn, Sandi melawannya dengan konsep Unikop, unit koperasi yang memiliki valuasi di atas Rp 1 triliun. Bisakah ia mewujudkannya? PinterPolitik.com  Dalam sebuah...

Emak-Emak Rumour-Mongering Jokowi?

Viralnya video emak-emak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi mendiskreditkan Prabowo. Strategi rumour-mongering itu juga dinilai merugikan paslon nomor urut 02 tersebut. PinterPolitik.com Aristhopanes – seorang...

Di Balik Tirai PDIP-Partai Asing

Pertemuan antara PDIP dengan Partai Konservatif Inggris dan Partai Liberal Australia membuat penafsiran tertentu, apakah ada motif politik Pilpres? PinterPolitik.com  Ternyata partai politik tidak hanya bermain...