Jelang Pilpres 2019, dukungan Pemuda Pancasila terhadap sang petahana menunjukkan bahwa ia cukup andal memanfaatkan layanan politics of protection racket
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]erseragam loreng-loreng, memakai baret dan mengenakan combat boots, namun bukan TNI. Kira-kira begitulah gambaran beberapa organisasi paramiliter di Indonesia. Mulai dari Banser yang merupakan organisasi paramiliter milik ormas Nahdlatul Ulama (NU), hingga Pemuda Pancasila yang didirikan oleh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dan kini digawangi oleh Japto Soerjosoemarso.
Jika ditelisik sejarahnya, kelompok paramiliter ini memang salah satu aktor penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah menjadi aktor dalam membantu menumpas gerakan 30 September di tahun 1960-an.
Dukungan Pemuda Pancasila ke Jokowi cukup penting untuk mengimbangi kekuatan FPI di kubu Prabowo Share on XSeiring dengan berkembangnya demokrasi dan reformasi, wajah ormas paramiliter menjadi lebih identik dengan gerakan yang memiliki kekuatan basis massa militan dan terstruktur dengan baik.
Menurut kamus Oxford, secara harfiah, paramiliter sendiri berarti kekuatan semi-militer yang struktur organisasi, taktik, pelatihan, subkultur dan (seringkali) fungsinya serupa dengan militer profesional, namun tidak dimasukkan sebagai bagian dari angkatan bersenjata formal suatu negara.
Salah satu kelompok paramiliter yang paling eksis hingga hari ini adalah Pemuda Pancasila.
Pada hari Minggu kemarin, Pemuda Pancasila secara resmi mendeklarasikan diri mendukung Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019.
Setelah sebelumnya para petinggi ormas itu bertemu dengan Presiden Jokowi di istana beberapa waktu lalu, kini secara resmi organisasi berseragam oranye loreng-loreng ini akan membantu pemenangan sang petahana dengan menjadi bagian dari kelompok relawan.
Oleh karena itu, tentu menarik untuk melihat kiprah Pemuda Pancasila dalam konteks politik tanah air, mengingat eksistensinya yang telah ada sejak tahun 1959.
Apalagi ormas tersebut memiliki pengaruh signifikan dalam konteks sosial dan politik di Indonesia, baik secara organisasisional maupun dari sisi basis massanya. Terlebih ada sosok seperti Japto Soerjosoemarso dan La Nyalla Mattaliti, dua nama yang punya rekam jejak yang cukup menarik perhatian.
Lalu bagaimanakah memaknai deklarasi dukungan Pemuda Pancasila terhadap Jokowi ini dalam konteks mobilisasi masa jelang Pilpres 2019 kali ini?
Protection Racket
Ian Wilson dari Murdoch University dalam bukunya yang berjudul Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru mengungkap sejumlah praktik yang memanfaatkan kekuatan-kekuatan koersif semi-formal di Indonesia dalam melanggengkan kekuasaan politik seseorang. Ia menyebutnya dengan politics of protection racket.
Secara teoritis, protection racket sendiri merupakan jasa keamanan yang biasanya dijalankan oleh sekelompok organisasi yang memiliki anggota dengan daya koersif, salah satunya adalah organisasi paramiliter, untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sedangkan politics of protection rackets sendiri merupakan hubungan timbal balik antara para pemegang kekuasaan politik dalam mengakomodasi kekuatan-kekuatan yang berupa organisasi-organisasi vigilante untuk tujuan-tujuan politiknya.
Acara deklarasi Pemuda Pancasila dukung @jokowi & @KHMarufAmin_ rencananya akan dihadiri 15 ribu relawan PP. Wow.. Fantastis!! #PemudaPancasilaMenangkan01 pic.twitter.com/oxbnfIBGrf
— Dede Budhyarto (@kangdede78) March 3, 2019
Dalam konteks ini, Wilson mencontohkan bagaimana Orde Baru mengakomodir kekuatan semi formal ini untuk mengawal kepentingan rezim mengawal doktrin asas tunggal pancasila.
Dalam konteks Orde Baru, Wilson menyebut nama-nama ormas seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga (PPM) dan Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) yang menurutnya digunakan sebagai alat untuk menegakkan tertib sosial versi negara dan melanggengkan kekuasaan rezim, salah satunya “kewenangan” untuk menggebuk para pengkritik rezim dengan mengatasnamakan Pancasila.
Hal ini juga ditulis oleh Professor Loren Ryter dari Cornell University Ithaca dalam salah satu tulisannya yang membahas secara spesifik kiprah Pemuda Pancasila di era Orde Baru.
Di era itu, kekuatan mereka tidak lagi terpusat pada sosok Soeharto sebagai peguasa, namun telah menyebar menjadi kekuatan-kekuatan politik yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Seiring dengan perkembangan zaman, organisasi-organisasi protection racket ini berhasil menjadi perantara antara politik informal jalanan dengan politik formal parlemen.
Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana organiasasi-organisasi itu memanfaatkan posisi mereka untuk meningkatkan daya tawar dan bagaimana dunia politik formal memanfaatkan “layanan” mereka.
Misalnya saja Front Pembela Islam (FPI) yang oleh beberapa penulis disebut dikapitalisasi pihak-pihak tertentu dalam konteks demonstrasi 212 pada tahun 2016 lalu. Marcus Mietzner dan kawan-kawan dalam sebuah tulisannya di jurnal terbitan Brill Publisher juga membenarkan bahwa adanya gerakan kelompok Islam konservatf lewat Aksi 212 tidak terlepas dari adanya kepentingan ekonomi politik di baliknya.
Secara sederhana, hal tersebut dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik secara politik yang didapatkan oleh para kelompok ini dengan penguasa. Salah satunya melalui jalan mobilisasi masa. Hal ini juga menunjukkan bahwa – jika menggunakan kaca mata Wilson dan para penulis tersebut – memang ada perebutan dukungan politik dari ormas-ormas tersebut, termasuk Pemuda Pancasila. Persoalannya adalah seberapa besar dampak dukungan tersebut mempengaruhi hasil akhir kontestasi?
Pemuda Pancasila, Emerging Force Jokowi
Dalam konteks politik kekinian, deklarasi Pemuda Pancasila terhadap Jokowi bisa jadi dimaknai sebagai upaya meraih dukungan yang sebesar-besarnya dari kelompok manapun.
Secara spesifik, Pemuda Pancasila memang menjadi salah satu kekuatan ormas paramiliter yang cukup berpengaruh di negeri ini. Eksistensinya telah hadir sejak tahun 50-an, di mana awalnya dibentuk untuk ikut membantu menumpas PKI.
Seiring perkembangan zaman, Pemuda Pancasila bisa dikatakan sebagai organisasi paramiliter yang selalu beradaptasi dan berafiliasi dengan rezim kekuasaan. Secara historis, perannya dalam memainkan mobilisasi massa juga tak bisa dianggap remeh. Oleh karenanya, sebagai sumber daya politik, kehadirannya memang cukup penting.
Kubu Jokowi-Ma’ruf kini boleh berbangga atas dukungan Pemuda Pancasila yang secara resmi mendeklarasikan diri sebagai relawan.
Namun, jika ditarik ke belakang, Pemuda Pancasila sebetulnya sempat menyatakan dukungan kepada Prabowo. Pada Pilpres 2014 lalu, Pemuda Pancasila bersama dengan FPI dan sejumlah Forum Betawi mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta.
Jokowi gets the Pemuda Pancasila seal of approval https://t.co/NphRyVEP8V via @TirtoID
— Ian Wilson (@iwilson69) March 3, 2019
Lalu, mengapa kini Pemuda Pancasila akhirnya memilih balik badan mendukung Jokowi? Sepertinya motif ekonomi politik memang tak bisa dilepaskan dalam konteks ini. Mengingat menurut Harold Lasswell bahwa politik adalah persoalan who get what, when and how. Tapi tak ada yang tahu pasti tentang hal itu.
Berpalingnya Pemuda Pancasila ke Jokowi ini disinyalir karena hubungan yang kurang harmonis antara Pemuda Pancasila dan Prabowo yang oleh beberapa pihak bahkan disebut-sebut telah terjadi jauh sebelum sekarang.
Kerenggangan hubungan Prabowo dengan Pemuda Pancasila juga sangat mungkin terjadi pasca persoalan yang menimpa Ketua Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti terkait mahar politik dari Prabowo sebesar Rp 40 miliar kala ia akan maju menjadi calon gubernur di Pilkada Jatim 2018.
Kedekatan politik Jokowi dengan ormas tersebut juga terlihat ketika pada Oktober 2017, ia hadir ke Musyawarah Besar (Mubes) Pemuda Pancasila dan mengakui kedekatan dirinya dengan Japto. Jokowi juga kembali menyebutkan hal yang sama dalam acara deklarasi dukungan sehari yang lalu dan menyinggung kedekatannya dengan Japto sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Oleh karenanya, adalah salah satu keberhasilan Jokowi jika mampu merangkul ormas tersebut, di mana ia bisa mengkapitalisasi Pemuda Pancasila untuk kepentingan mendulang suara pada Pilpres 2019.
Pemuda Pancasila bisa menjadi salah satu mesin politik yang menjanjikan bagi Jokowi. Dengan karakter sebagai ormas paramiliter yang memiliki basis militan serta anggota yang menurut Loren Ryter berjumlah 10 ribu lebih dan tersebar diseluruh Indonesia, kehadiran Pemuda Pancasila mungkin saja akan krusial dalam Pilpres kali ini.
Hal ini juga terindikasi dari pernyataan Japto yang mengarahkan seluruh relawan Pemuda Pancasila untuk berkampanye door-to-door untuk mengajak konstituen memilih Jokowi.
Pada akhirnya, akomodasi politik ala Jokowi ini tentu bisa dinilai dari berbagai sudut pandang, entah positif maupun negatif.
Yang jelas, sebagai seorang politisi, penting bagi Jokowi untuk mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya, termasuk dari ormas seperti Pemuda Pancasila. Sebab, politik itu seperti perang, dan tak ada yang adil di dalamnya. (M39)