HomeNalar PolitikKritik Bahasa Sunda, Arteria Diskriminatif?

Kritik Bahasa Sunda, Arteria Diskriminatif?

Pernyataan Arteria Dahlan yang meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot Kajati yang menggunakan bahasa Sunda dalam rapat menuai kritik. Ramai-ramai tokoh masyarakat asal Sunda meminta agar Arteria meminta maaf atas pernyataannya. Lantas, mungkinkah kritik yang diajukan oleh Arteria itu bernuansa diskriminatif?


PinterPolitik.com

Lagi-lagi Arteria Dahlan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, memberikan pernyataan yang kontroversial. Dalam rapat kerja bersama Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin di ruang rapat Komisi III DPR, Arteria diberikan kesempatan berbicara sekitar kurang lebih lima belas menit.

Ia memberikan pujian kepada Jaksa Agung yang telah berprestasi mereformasi lembaga Kejaksaan. Pujian yang diberikan terkait bagaimana sistem meritokrasi yang telah berjalan hingga pejabat di Kejaksaan saat ini lebih profesional.

Dari sekian banyak pernyataan Arteria di rapat kerja tersebut, salah satunya menuai kontroversi. Yaitu, saat dia meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang berbicara menggunakan bahasa Sunda dalam sebuah rapat.

Tidak spesifik menyebut Kajati yang dimaksud, tapi, menurutnya, dalam memimpin rapat seorang Kajati haruslah menggunakan bahasa Indonesia agar tak terjadi salah persepsi dari orang yang mendengarnya.

Pernyataan Arteria ini pun mendapat kritik dari sejumlah pihak, salah satunya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Kang Emil, sapaan akrabnya, mendorong Arteria untuk meminta maaf ke masyarakat Sunda.

Merespons hal itu, Arteria tak bergeming. Ia justru mempersilahkan masyarakat yang tak terima atas ucapannya melaporkan dia ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.

Merespons hal tersebut, budayawan Sunda, Budi Setiawan Garda Pandawa alias Budi Dalton akan melaporkan Arteria ke MKD DPR RI. Menurutnya, persoalan Arteria berkaitan dengan etika, sehingga cukup dilaporkan ke MKD nantinya.

Menurut berbagai phak, pernyataan Arteria tentang bahasa Sunda yang tidak boleh digunakan pada sebuah forum resmi, terkesan diskriminatif. Seolah menggambarkan bahwa bahasa dalam kehidupan masyarakat mempunyai kelas-kelas tertentu.

Lantas, seperti apa melihat kelas-kelas bahasa tersebut?

Baca juga: Drama Arteria, Superioritas Pejabat Publik?

Meretas Kelas-kelas Bahasa

Jika kita runut dalam lintasan sejarahnya, bahasa  sebagai alat komunikasi manusia dalam sistem masyarakat, mengalami berbagai evolusi. Bermula dari bahasa yang sangat sederhana, misalkan seperti bahasa isyarat, yang kita kenal sebagai teori jestural, yaitu teori yang menerangkan bahwa bahasa manusia berkembang dari gestur yang digunakan sebagai komunikasi sederhana.

Ada pula teori vokalisasi, yang melihat bahwa evolusi bahasa manusia muncul karena perbedaan suara tinggi dan rendah yang khas. Dari sinilah muncul bahwa bahasa secara alamiah juga membentuk kelas-kelas yang berbeda.

Baca juga :  Operasi Rahasia Menarik PKB-PKS ke Koalisi Prabowo?

Kelas-kelas bahasa di masyarakat juga tumbuh secara alamiah, pembagian kerja dalam masyarakat membuat mereka hidup pada lingkungan yang terbagi. Dari fakta sosiologis seperti ini, masyarakat akhirnya memproduksi bahasa yang berbeda satu dengan yang lain.

Antropolog Edward T. Hall dalam bukunya The Silent Language, mengatakan bahwa dalam sistem budaya dan komunikasi di mana konteks pesan sangat penting, bahasa akan berpengaruh pada tindakan suatu masyarakat tertentu. Hall membagi belahan kelas bahasa pada dua kategori, yaitu bahasa dalam konteks tinggi dan konteks rendah.

Pertama, konteks tinggi yaitu bahasa muncul pada budaya masyarakat yang biasanya mengedepankan relasi dan kolektivitas. Hall mengidentifikasi budaya konteks tinggi sebagai budaya di mana harmoni dan kesejahteraan kelompok lebih disukai daripada pencapaian individu. Komunikasi yang muncul biasanya lebih implisit.

Kedua, dalam konteks rendah, di mana bahasa muncul dalam bentuk komunikasi yang lebih eksplisit, langsung, dan terperinci karena individu tidak diharapkan memiliki pengetahuan tentang sejarah atau latar belakang satu sama lain, dan komunikasi tidak harus dibentuk oleh hubungan lama antara pembicara.

Refleksi budaya tinggi dan budaya rendah terlihat pada bahasa. Bahasa Indonesia misalkan, diasosiasikan sebagai budaya tinggi dan bahasa daerah sebaliknya. Seolah mempunyai jarak, komunikasi dalam masyarakat juga seolah berhadapan dengan kelas-kelas bahasa.

Sehingga, cara kerja persepsi-persepsi tersebut tak ubahnya seperti stereotipe. Hal ini yang kemudian melahirkan distingsi atau jarak sosial. Kritik Arteria terhadap bahasa Sunda yang digunakan pada forum-forum resmi seolah berkelindan dengan konsep yang disinggung di atas.

Pierre Bourdieu dalam bukunya Arena Reproduksi Kultural; Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, mengatakan dikotomi budaya tinggi dan budaya rendah diproduksi oleh modal simbol entitas individu atau kolektif dalam perspektif habitus atau kebiasaan.

Contohnya, kalangan pejabat dengan modal sosial berupa kapital dan pendidikan, tak sengaja menyukai dan menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Lambat laun hal tersebut melahirkan persepsi bahasa nasional adalah bahasa yang baik.

Begitu pula sebaliknya, kalangan masyarakat kelas bawah yang gemar menggunakan bahasa daerah, lambat laun memunculkan persepsi bahasa daerah adalah bahasa pengikat yang digunakan sehari-hari, sehingga dianggap baik dalam habitus mereka.

Hal ini menyimpulkan bahwa bahasa pada akhirnya berakar pada kebiasaan penggunanya. Kelas-kelas bahasa terlahir secara natural dalam masyarakat, bukan berarti dengan kenyataan itu, kita mengafirmasi perbedaan didasari karena kelas-kelas bahasa.

Well, muncul pertanyaan, bagaimana  kita memahami penggunaan bahasa Indonesia yang seharusnya?

Baca juga :  Cak Imin Akan Dikudeta dari PKB? 

Baca juga: Arteria Gali Lubang PDIP Sendiri?

Menemukan Kembali Identitas Bahasa

Kenyataan sejarah tentang bahasa Indonesia bermula dari Sumpah Pemuda tahun 1928. Sebuah peristiwa yang menghadirkan para pemuda dari berbagai daerah untuk berkonsensus tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, meskipun demikian, tidak serta merta berarti bahwa bahasa daerah harus ditinggalkan.

Setelah bangsa Indonesia berhasil lepas dari belenggu penjajahan dengan diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahasa Indonesia memiliki peran yang lebih luas sebagai bahasa resmi negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia menjadi bahasa formal yang digunakan dalam urusan pemerintahan.

Keberadaan sebuah bahasa lokal atau bahasa daerah sangat erat dengan eksistensi suku bangsa yang melahirkan dan menggunakan bahasa tersebut. Bahasa menjadi unsur pendukung utama tradisi dan adat istiadat.

Bahkan, seringkali Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan berkunjung di setiap daerah, menggunakan beberapa kalimat bahasa daerah setempat untuk menarik perhatian sekaligus mencairkan suasana agar lebih bersifat kekeluargaan. Hal yang sama juga diperlihatkan pejabat lain, seperti menteri dan kepala daerah.

Baca juga: Arteria Dahlan ‘Suka’ Main Ancam?

Seperti yang diketahui secara umum, bahwa bahasa daerah adalah unsur pembentuk budaya daerah dan sekaligus budaya nasional. Apabila satu per satu bahasa pendukung budaya nasional musnah, maka lambat laun pilar penyangga budaya nasional pun akan roboh dan hal ini berarti kebudayaan nasional juga mengalami ancaman yang sangat serius.

Sehingga, sikap kritis Arteria terhadap bahasa Sunda terkesan diskriminatif dan keliru, karena penting sekali kita untuk merawat bahasa daerah, dari manapun bahasa itu. Tidak boleh sekali-kali kita bersikap tidak adil terhadap berbagai bahasa daerah di Indonesia karena dari bahasa itulah muncul peradaban yang beragam dan menjadi kekayaan bangsa kita.

Akhirnya, permintaan maaf Arteria yang telah disampaikannya, menunjukkan tindakan yang bijak dari seorang pejabat publik. Harapannya, masyarakat  Sunda menerima permintaan maafnya. Seperti yang kita tahu, masyarakat Sunda mempunyai konsep “silih asih” yang mempunyai makna tingkah laku atau sikap individu memiliki rasa belas kasihan, tenggang rasa, dan simpati.

Itu tercermin dalam ungkapan “ka cai kudu saleuwi ka darat kudu selebak”, yang  artinya “ke air jadi satu sungai, ke darat jadi satu sawah”, bermakna bahwa kebersamaan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan. (I76)

Baca juga: Arteria Kader “War Junkie” PDIP?


spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...