HomeHeadlineKejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Bahlil Lahadalia menghadapi tantangan dalam Pilkada 2024, di mana dua kader Golkar, Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany, kalah dari kompetitor utama. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil?


PinterPolitik.com

“Will I be remembered as a good king?” – Viserys Targaryen, House of the Dragon (2022-sekarang)

Pergantian pemimpin sering kali menjadi momen krusial yang menentukan masa depan sebuah organisasi atau kekuasaan. Dalam serial House of the Dragon, wafatnya Raja Viserys membuka jalan bagi kekacauan karena suksesi yang tidak solid. 

Penobatan Aegon sebagai raja dilakukan secara tergesa-gesa tanpa konsensus menyeluruh, mengesampingkan Rhaenyra yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai pewaris. Hasilnya, keluarga Targaryen terpecah, dan kerajaan terseret dalam perang saudara yang menghancurkan, Dance of the Dragons. Konflik ini adalah contoh nyata bahwa pemimpin tanpa legitimasi dan kompetensi hanya akan membawa kehancuran.

Kisah Targaryen ini menjadi cermin bagi dinamika politik Indonesia, khususnya dalam konteks Partai Golkar. Setelah mengalami pergantian kepemimpinan dari Airlangga Hartarto ke Bahlil Lahadalia, Golkar menghadapi tantangan berat dalam Pilkada 2024. Salah satu contohnya adalah pencalonan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta. 

Meski memiliki popularitas tinggi, strategi politik dan manuver Golkar terbukti tidak cukup solid untuk memenangkan suara mayoritas. Kekalahan di putaran awal ini menandai kemunduran besar bagi partai yang selama ini dikenal sebagai salah satu pilar utama politik Indonesia.

Mengapa kegagalan Golkar dalam Pilkada 2024 disebabkan oleh kepemimpinan baru yang belum sepenuhnya mendapat legitimasi internal? Mungkinkah suksesi kepemimpinan Golkar belum mampu menjawab kebutuhan politik saat ini, atau justru menjadi sumber masalah baru bagi partai?

Airlangga, Viserys-nya Golkar?

Kepemimpinan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar dari 2017 hingga 2024 menandai periode stabilitas dan produktivitas dalam sejarah partai. Di bawah arahannya, Golkar berhasil meningkatkan perolehan suara secara signifikan pada Pemilu 2024, mencerminkan efektivitas strategi politik yang diterapkan. 

Baca juga :  Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Keberhasilan ini menunjukkan kemampuan Airlangga dalam membaca dinamika politik nasional dan menggerakkan mesin partai secara optimal. Pengamat politik R. Wijaya Dg Mapasomba dari Universitas Nasional (Unas) menilai bahwa soliditas internal yang terjaga dengan baik menjadi kunci keberhasilan Golkar dalam Pemilu 2024. 

Airlangga mampu menciptakan harmoni di antara berbagai faksi dalam partai, menghindari konflik yang sebelumnya menjadi tantangan bagi Golkar. Selain itu, upayanya dalam memodernisasi mesin partai, termasuk pemanfaatan teknologi dan data, meningkatkan daya saing Golkar dalam kontestasi politik.

Kepemimpinan yang efektif seperti ini sejalan dengan temuan dalam artikel “Party Leadership and Party Institutionalisation: Three Phases of Development” oleh Robert Harmel dan Lars Svåsand. Harmel dan Svåsand menekankan pentingnya kepemimpinan yang adaptif dalam proses institusionalisasi partai, yang meliputi identifikasi, organisasi, dan stabilisasi. Airlangga tampaknya berhasil menerapkan prinsip-prinsip ini selama masa jabatannya.

Namun, transisi kepemimpinan ke Bahlil Lahadalia menghadirkan tantangan baru. Apakah Bahlil mampu mempertahankan soliditas yang telah dibangun oleh Airlangga? Bagaimana strategi kepemimpinannya dalam melanjutkan tren positif Golkar, khususnya pada Pilkada 2024?

Bahlil, Winter is Coming?

Kepemimpinan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Partai Golkar menghadapi tantangan signifikan dalam Pilkada 2024. Dua kader unggulan, Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Banten, mengalami kekalahan dari kompetitor mereka. 

Kekalahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas Bahlil dalam mengoperasikan mesin partai. Salah satu faktor yang disorot adalah kesulitan dana kampanye yang dialami Ridwan Kamil, yang menghambat upaya kampanye di tahap awal.

Dalam konteks ini, tulisan Leaders, Factions and the Determinants of Electoral Success oleh Benoît S.Y. Crutzen dan Sabine Flamand menyoroti pentingnya kepemimpinan yang efektif dan kohesi internal partai dalam mencapai kesuksesan elektoral. 

Baca juga :  Prabowo & Drama Pinggir Jurang 2025?

Crutzen dan Flamand menekankan bahwa pemimpin partai harus mampu mengelola faksi internal dan memastikan dukungan yang solid untuk memaksimalkan peluang kemenangan dalam pemilu. Kegagalan dalam menyediakan sumber daya yang diperlukan dapat menghambat efektivitas kampanye dan merusak citra partai di mata pemilih.

Kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany mencerminkan tantangan yang dihadapi Golkar dalam mempertahankan relevansi politiknya di bawah kepemimpinan baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan Bahlil dalam memobilisasi dukungan dan sumber daya yang diperlukan untuk memenangkan kontestasi politik. 

Kegagalan ini juga menggarisbawahi pentingnya perencanaan strategis dan koordinasi yang efektif dalam kampanye politik. Tanpa strategi yang jelas dan dukungan yang kuat dari struktur partai, kandidat akan kesulitan bersaing dengan lawan yang lebih terorganisir dan didanai dengan baik.

Kekalahan dalam Pilkada 2024 dapat dilihat sebagai cerminan dari kelemahan struktural dalam Partai Golkar yang perlu segera diatasi. Untuk mengembalikan kejayaan partai, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi kampanye dan manajemen internal partai. Hanya dengan demikian, Golkar dapat kembali menjadi kekuatan dominan dalam politik Indonesia. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Inayah Wahid, “Rhaenyra” of Trah Gus Dur?

Bukan Alissa, Yenny, maupun Anita, sosok Inayah Wahid justru yang paling mirip Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Mengapa demikian?

Ambang Batas MK: Anies “Ancam” Jokowi?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hilangkan kewajiban ambang batas presiden (PT). kesempatan Anies untuk “ancam” pengaruh Jokowi?