HomeNalar PolitikJokowi "Tidak Berdaya" Lawan Hoaks?

Jokowi “Tidak Berdaya” Lawan Hoaks?

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyuarakan pemberitaan di era modern perlu lebih bertanggung jawab. Ia pun menyebut tengah mempersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) Media Sustainability demi mewujudkan ekosistem berita yang berkeadilan dan bertanggung jawab. Akan tetapi, mungkinkah hal itu diwujudkan?


“You can’t legislate against stupidity” – Jesse Ventura, politisi Amerika Serikat

PinterPolitik.com

Puluhan tahun yang lalu, mayoritas orang mungkin memandang masa depan sebagai dunia yang penuh dengan kemajuan teknologi, kebahagiaan, dan kemudahan hidup.

Well, walau memang teknologi yang ada saat ini jauh lebih maju dibanding 20 tahun lalu, tidak sepenuhnya hasil perkembangan zaman sesuai dengan ekspektasi optimis yang dibayangkan oleh para nenek moyang kita. Era yang serba canggih ini sekarang justru menunjukkan beberapa sisi kelam yang tidak pernah dirasakan manusia sebelumnya.

Perkembangan dalam jurnalisme dan media sosial, contohnya, tidak dipungkiri bahwa belakangan ini sepertinya semakin banyak orang yang menilai berita-berita yang kita baca setiap hari di internet semakin “tidak bisa dipercaya”.

Di grup-grup WhatsApp yang selalu dibuka orang setiap hari saja sangat wajar bila ada yang membagikan tautan ke sebuah artikel hoaks di internet. Selain artikel-artikel berita hoaks tadi, banyak dari kita juga yang mungkin dihadapkan dengan sebuah artikel berita faktual, namun memiliki narasi yang terkesan provokatif.

Yap, fenomena-fenomena semacam itu bukanlah sebuah permasalahan kecil, terdapat banyak orang yang menjadi korban dari informasi-informasi tidak tepat yang berkeliaran di internet.

Hal itu pun menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat memberikan sambutan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Kota Medan yang disiarkan secara daring tanggal 9 Februari lalu, Jokowi mengatakan dengan tegas bahwa masalah utama pemberitaan saat ini adalah berita yang kurang bertanggung jawab.

Tidak hanya pernyataan belaka, Jokowi juga sebut kini pihaknya tengah menggodok Peraturan Presiden (Perpres) Media Sustainability atau keberlanjutan media, dengan tujuan agar dapat menciptakan pers yang lebih berkeadilan dan bertanggung jawab atas informasi yang dibagikannya.

Sebagai warga negara yang terus berharap kita semua bisa menjunjung sekaligus mempertahankan perdamaian di negeri ini, tentu wajar bila kita setuju dengan apa yang dikatakan Jokowi. Mungkin, sebagian dari kalian juga berpikiran bahwa pemberitaan saat ini memang harus dibatasi.

Akan tetapi, pertanyaannya adalah mungkinkah tujuan tersebut dapat diwujudkan?

image 46

Regulasi Tidak Selesaikan Masalah?

Persoalan kebebasan jurnalistik saat ini tidak hanya menjadi tantangan bagi Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia, khususnya, negara dengan sistem demokrasi.

Baca juga :  Jokowi Tak Bisa Sapu Kemiskinan Ini Alasannya Menurut Peraih Nobel!

Dipayan Ghosh dalam tulisannya Are We Entering a New Era of Social Media Regulation?, di laman Harvard Business Review (HBR), menyebutkan bahwa saat ini memang semakin banyak orang yang ingin membatasi proses penyebaran informasi dari kampanye-kampanye kontroversial.

Namun, seberapa besar pun keluhannya, hal seperti itu tidak bisa dengan mudah diberlakukan, karena selain berlawanan dengan prinsip kebebasan berpendapat di ruang publik, secara teknis, regulasi juga semakin tidak berdaya melawan kemajuan teknologi.

Kalaupun memang ada satu kanal di internet, entah itu portal berita atau seorang influencer yang akhirnya diblokir dan dilarang untuk posting konten-konten “hoax-nya”, penyebaran berita konspirasi liar dan dorongan untuk melakukan provokasi tetap tidak akan teratasi.

Ghosh menyebutkan ada tiga poin kenapa pengetatan regulasi terhadap jurnalisme dan media sosial tidak akan menyelesaikan permasalahan ini.

Pertama, pada masa lalu kemampuan penyebaran berita dalam media tradisional ditentukan oleh bandwidth yang terbatas, mereka juga dihadapi batasan jam tayang dan kuota cetak yang terbatas untuk media cetak. Akan tetapi, untuk portal berita modern, yang terjadi adalah sebaliknya, mereka memiliki bandwidth tak terbatas, dengan jutaan akun yang masing-masing dapat sharing berita dan membantu menargetkan audiens yang jauh lebih luas.

Kedua, konten dalam media tradisional perlu melalui proses editorial yang sedemikian ketat dan rumit, sebuah sudut pandang dalam satu artikel saja harus menyesuaikan sudut pandang yang berlaku dalam suatu ruangan redaksi.

Akan tetapi, realita yang terjadi sekarang dalam pemberitaan modern adalah proses editorial yang begitu minim. Dengan prinsip mengejar kecepatan berita, tidak jarang artikel yang ditulis para jurnalis di lapangan tidak melalui proses pengecekan ulang, sehingga menyampaikan pesan yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh narasumbernya.

Ketiga, kalau di masa lampau para konsumen berita memiliki kemampuan untuk kapan membeli artikel berita, sekaligus juga memilih sudut pandangnya, di era yang serba modern ini, kita tidak lagi memiliki hak seperti itu. Kalian bisa sadari sendiri bagaimana setiap kali kita membuka media sosial seperti Instagram, secara tidak sukarela kita juga kerap “dipaksa” melihat sebuah posting-an berita yang berseliweran di sekitar feed media sosial kita.

Terkhusus hal ini, kita bisa salahkan mereka yang mengeksploitasi cara kerja Big Data dan algoritme, seperti yang pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Klaim Big Data Luhut Perlu Diuji.

Lantas, jika kenyataan media dan portal berita sekarang seperti itu, bagaimana seharusnya langkah yang lebih tepat untuk meresponsnya?

Baca juga :  Perang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati
image 47

Self-Regulate, Solusi Putus Asa?

Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita perlu merefleksikan kutipan di awal tulisan ini, yang diambil dari Jesse Ventura: “Anda tidak bisa mengatur kebodohan”.

Sam Bocetta dalam tulisannya Should (Can) Fake News Be Regulated? menilai bahwa saat ini kita sedang hidup dalam sebuah era di mana semakin banyak negara di dunia yang tergoda terjun dalam sistem yang otoriter demi menangkal liarnya informasi di media massa.

Sebagai contoh, di Uni Eropa (UE) sendiri, yakni sebuah masyarakat yang orang-orangnya selalu mencap diri mereka sebagai pilar demokrasi modern, kini memiliki aturan internet dan media massa yang bersifat Orwellianisme, melalui General Data Protection Regulation (GDPR).

Dari perspektif pemerintah, kita bisa mewajarkan bahwa peraturan terhadap media yang ketat adalah pilihan yang begitu menggiurkan, tapi jika keputusan untuk meregulasi media secara total akhirnya memang dipilih, jelas hal itu akan mendapat kecaman yang begitu besar, baik dari publik domestik, maupun internasional.

Dari perspektif penyedia platform, aturan untuk membatasi konten sendiri bisa saja dilakukan oleh Google atau Facebook. Akan tetapi, Bocetta menilai bahwa hal seperti ini pun pada akhirnya akan mendapatkan keluhan besar dari para konsumennya karena dengan adanya pembatasan, maka konsekuensinya adalah akan ada portal berita tertentu yang juga terdiskriminasi dengan adanya pemblokiran.

Dari sisi pemberitaan, cukup mustahil juga sebenarnya untuk terus memberikan informasi yang sifatnya netral dan terlepas dari bias. Noam Chomsky dalam bukunya Manufacturing Consent menyebutkan bahwa, tanpa bersifat munafik, media pada dasarnya ada untuk menanamkan dan mempertahankan agenda ekonomi, sosial, dan politik kelompok istimewa yang mendominasi masyarakat.

Para kantor berita melayani tujuan ini melalui banyak cara, seperti melalui pemilihan topik, distribusi artikel headline, pembingkaian isu, penyaringan informasi, penekanan dan intonasi berita, dan dengan memberikan batasan-batasan tertentu untuk sebuah perdebatan politik agar tidak “melukai” kepentingan para orang yang berkuasa di balik mereka.

Oleh karena itu, persoalan tentang “pemberitaan yang bertanggung jawab” dan ekosistem berita yang bebas bias sebenarnya adalah sebuah mimpi yang mungkin mustahil untuk terwujudkan. Apa yang disampaikan Jokowi tentang hal itu sebenarnya memang adalah sesuatu yang baik, tapi jujur saja, terlalu sulit untuk direalisasikan secara utuh.

Selama menunggu perkembangan zaman, ada baiknya kita masing-masing menerapkan prinsip self-regulate. Dunia digital adalah sebuah hutan rimba yang begitu berbahaya, dan di lingkungan seperti itu, satu-satunya cara agar bisa survive adalah dengan menjaga diri kita sendiri. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?