HomeNalar PolitikJokowi Mengejar Kaum Terpelajar

Jokowi Mengejar Kaum Terpelajar

Dukungan para alumni sekolah dan kampus kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf semakin marak dan bertambah besar. Sikap politik dari kelompok yang sering disebut kaum terpelajar ini diharapkan memperkuat citra Jokowi. Namun, sebenarnya apa makna dari dukungan tersebut?


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016, Slavoj Zizek – seorang intelektual, filsuf, dan pemikir politik beraliran marxis asal Slovenia – menyatakan diri mendukung Donald Trump. Endorsement dari filsuf kontemporer itu meski mendapatkan kritikan, namun tidak sedikit juga mengubah pandangan orang-orang terhadap Trump karena asosiasi identitas Zizek dengan lingkungan pendidikan.

Nyatanya, persoalan dukungan dari kaum terpelajar ini tidak hanya dilakukan oleh Zizek semata. Hal itu turut terjadi di Indonesia dengan kadar dan bentuk yang berbeda, misalnya terkait dukungan politik dari alumni-alumni sekolah dan kampus kepada pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.

Pasangan calon (paslon) 01 itu tercatat telah mendapatkan dukungan dari puluhan kelompok alumni kampus dan sekolah yang terorganisir di berbagai wilayah.  Beberapa di antaranya adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Diponegoro.

Selain itu, Jokowi-Ma’ruf juga mendapatkan dukungan dari kalangan alumni 375 SMA se-Jakarta. Tak hanya itu, mereka juga mendapatkan dukungan dari alumni SMA Pangudi Luhur Jakarta yang adalah almamater calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno.

Gelombang dukungan dari kelompok terpelajar ini – karena membawa embel institusi sekolah di belakangnya – kepada Jokowi-Ma’ruf mendapat sorotan dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka mencibir, seolah dukungan tersebut tidak memiliki nilai yang berarti.

Terlepas dari cibiran tersebut, lantas seperti apa makna dari dukungan kelompok terpelajar tersebut?

Keberpihakan Kaum Terpelajar?

Pada Pilpres 2014 lalu, publik disuguhkan pada fenomena lahirnya kelompok relawan politik untuk memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Relawan politik dalam konteks dinamika politik Indonesia dapat dikategorikan sebagai new social movement yang dihuni oleh kelas menengah yang umumnya terpelajar dan melek politik.

Hal ini dikuatkan dengan adanya inisiatif dan prinsip sukarela dari kelompok-kelompok tersebut untuk mendeklarasikan diri mendukung kandidat tertentu. Kelompok relawan politik itu mengorganisasikan diri sendiri, baik dengan sistem kemandirian (self-help) maupun dengan sokongan pihak lain. Nina Eliasoph dalam The Politics of Volunteering menyebutkan bahwa relawan terbukti meningkatkan partisipasi publik.

Dalam kadar tertentu adanya sikap politik dari kelompok terpelajar dengan mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf dalam kelompok-kelompok alumni ini mirip dengan fenomena relawan politik pada 2014.

Yang menjadi pembeda adalah mengenai tujuan keterlibatan dan sikap politik yang diambil oleh dua entitas tersebut. Pada 2014 deklarasi dukungan adalah akumulasi kekecewaan terhadap partai politiki, sementara saat ini fokusnya bergeser pada upaya menguatkan citra politik Jokowi dan sekedar menggalang massa. 

Bagaiamanpun, peran kaum terpelajar dalm politik elektoral menjadi perhatian dan memiliki posisi penting terkait dengan pembentukan opini publik. Mereka bisa membuat opini yang tidak biasa dalam rangka mempengaruhi momentum pembuatan keputusan, di mana mereka dapat menggoyang pilihan orang banyak dengan pandangan yang berbeda.

Baca juga :  Flashback Bittersweet Memories Jokowi-PDIP

Sehingga, dukung-mendukung secara terbuka oleh alumni sekolahan bisa dikatakan menjadi hal positif bagi kandidat. Argumentasi ini sejalan dengan pendapat Joshua Dyck, seorang Associated Professor dari Universitas Massachusetts yang menyebutkan bahwa kelompok ini bisa menjadi influencer dalam rangka menggiring opini publik.

Pengemasan strategi politik lewat dukungan kaum terpelajar bisa mendapatkan perhatian karena kaum tersebut dipersepsikan sebagai kelompok terdidik. Hal ini juga akan semakin kuat berdampak jika eksposur pemberitaannya menampilkan efek dramatis.

Sikap dukung-mendukung yang terakumulasi dari kaum terpelajar juga bisa berfungsi sebagai reinforcement atau penguatan kembali. Dukungan dari kelompok ini bisa membuat orang yang sudah membuat komitmen dukungan politik pada kandidat menjadi lebih berkomitmen lagi, atau bahkan menggoyang dukungan politik dari pendukung pihak lawan.

Sebagai strategi politik, menjual sebuah brand yang sudah terkenal di kalangan publik seperti sekolah-sekolah populer juga menjadi perhatian dalam kampanye politik akhir-akhir ini.

Strategi ini juga dapat ditemukan dalam kampanye Donald Trump dan Hillary Clinton saat Pilpres AS 2016 lalu. Trump mungkin menjadi yang kurang diuntungkan sebab banyak kalangan terpelajar yang sebal dengan gaya kampanyenya.

Meskipun begitu, kelompok-kelompok tersebut juga nyatanya ada yang mendukung presiden dengan jargon “Make America Great Again” itu. Alasannya adalah karena kelompok-kelompok yang umumnya berasal dari kaum konservatif itu menyukai kekuatan kampanye Trump, serta hasrat dan semangat yang bergelora terkait dengan kelompok elite atau kekuasaan (establishment).

Trump memenangkan suara dari kalangan masyarakat kulit putih dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, sementara Hillary hanya meraih dukungan 25 persen. Salah satu alasan kelompok terpelajar ini mendukung Trump adalah karena identitas.

Joshua Dyck juga menyebutkan bahwa perasaan terkait dengan persamaan identitas yang menjadi jargon politiknya membuat kaum terpelajar ini menjatuhkan pilihannya terhadap kandidat asal Partai Republik tersebut.

Dalam kadar tertentu, dukungan tersebut membentuk opini publik dan memengaruhi elektabilitas Trump, sesuatu yang mungkin saja terjadi pada Jokowi dalam konteks Pilpres kali ini.

Mengacu pada pendapat dari kelompok terpelajar yang tergabung dalam alumni-alumni sekolah memang mereka memiliki kesamaan identitas yang sejalan dengan kampanye politik Jokowi. Misalnya saja terkait narasi memerangi hoaks yang sering disebut digunakan oleh kubu Prabowo-Sandi dalam berkampanye.

Sementara itu, suara kelompok terpelajar ini dalam kadar tertentu bisa membentuk opini publik, sehingga mempersepsikan citra Jokowi secara lebih positif di hadapan masyarakat umum.

Konteks tersebut tentu sangat penting, mengingat berdasarkan hasil survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Januari 2019, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di kalangan terpelajar hanya 37,7 persen. Angka ini kalah jika dibandingkan yang dimiliki pesaing mereka, Prabowo-Sandiaga. Paslon nomor urut 02 itu tercatat memiliki tingkat keterpilihan sebesar 44,2 persen dari kelompok terpelajar.

Jika dibandingkan hasil survei Agustus 2018, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di kelompok ini menurun 2,7 persen.

Hal senada juga tercermin dari hasil survei Celebes Research Center pada Januari 2019. Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di tingkat tamatan perguruan tinggi hanya mencapai angka 41,8 persen. Sementara, Prabowo-Sandiaga memperoleh dukungan sebesar 44 persen.

Baca juga :  Operasi Bawah Tanah Jokowi

Memang belum terlihat apakah dukungan mengatasnamakan sekolah tersebut bisa menaikkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf yang disebut lemah di kalangan terpelajar atau tidak. Yang jelas, semakin besarnya alumni-alumni sekolah yang menyatakan dukungan kepada mereka bisa bermakna positif dan akan mengubah persepsi publik.

Terpelajar Tidak Kritis Lagi?

Kau terpelajar, bersetialah pada kata hati. Kalimat itu begitu populer di kalangan penikmat karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang akrab disapa Pram itu bermaksud untuk mengingatkan pada kelompok-kelompok terdidik dan terpelajar untuk berlaku adil dan bijak dalam menentukan sebuah sikap atau pilihan. Hal tersebut berkaitan dengan status sosial beserta atribut lain yang menyertainya.

Pesan tersebut memiliki relevansi dengan konteks saat ini. Dukungan alumni-alumni sekolah yang disebut sebagai kaum terpelajar itu meski sah dalam pandangan politik, namun tidak bisa serta-merta dijadikan alat ukur terhadap dukungan kaum intelektual – yang umumnya identik dengan kelompok cendekiawan, pendidik, penulis, atau mereka-mereka yang berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan – secara keseluruhan. Sebab, dukungan ini masih menyisakan persoalan karena pada titik tertentu bisa dikritik tidak sesuai antara sifat idealis dengan sikap politik yang cenderung partisan.

Ciri sikap kaum terpelajar bernalar baik ialah obyektif, adil, dan hati-hati. Sikap dan perilakunya didasari fakta, bukan informasi tidak bertuan, atau terlalu memiliki inklinasi politik tanpa adanya koreksi terhadap apa yang didukungnya.

Kaum terpelajar tentu harus mengedepankan akal sehat (common sense). Dalam pengertian praktis, konsep ini mengandaikan pertimbangan yang seksama dengan mengandalkan akal budi (reason), serta penghargaan pada fakta-fakta dalam mencari kebenaran.

Cap kaum terpelajar yang mendukung Jokowi masih harus diuji jangan hanya menjadi justifikasi kekuatan politik semata. Share on X

Konsep ini tidak ada urusannya dengan posisi politik. Oleh karena itu, mengatasnamakan kelompok terpelajar untuk mendukung kepada Jokowi Ma’ruf boleh jadi hanya akan menjadi sensasi belaka demi meraih massa. Sebab, dukungan tersebut boleh jadi tidak berdasarkan basis akademis dan sikap kritis – hal yang sempat pula dikritisi oleh pengamat politik, Rocky Gerung.

Secara simbolis, dukungan tersebut hanya menjadi aksi gagah-gagahan yang tidak berdasarkan sikap ilmiah.

Di sisi lain, hal ini tentu pada akhirnya tidak akan menguntungkan masyarakat secara umum. Sebab, kaum terpelajar yang dimaksud tidak memberikan sumbangsih – katakanlah seperti input – melainkan hanya menjadi justifikasi kekuatan politik.

Bagi Jokowi, strategi politik ini tentu menguntungkan, tetapi bagi kelompok-kelompok yang kritis, hal ini tentu menjadi kemunduran. Yang jelas, petahana telah memetakan secara jelas di titik mana elektabilitasnya lemah dan sedang dalam proses untuk memperbaikinya.

Lalu, seberapa besar dampak dukungan itu mempengaruhi elektabilitas Jokowi-Ma’ruf? Mari menanti survei-survei selanjutnya. (A37)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

Inayah Wahid, “Rhaenyra” of Trah Gus Dur?

Bukan Alissa, Yenny, maupun Anita, sosok Inayah Wahid justru yang paling mirip Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Mengapa demikian?

More Stories

Unikop Sandi Menantang Unicorn

Di tengah perbincangan tentang unicorn, Sandi melawannya dengan konsep Unikop, unit koperasi yang memiliki valuasi di atas Rp 1 triliun. Bisakah ia mewujudkannya? PinterPolitik.com  Dalam sebuah...

Emak-Emak Rumour-Mongering Jokowi?

Viralnya video emak-emak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi mendiskreditkan Prabowo. Strategi rumour-mongering itu juga dinilai merugikan paslon nomor urut 02 tersebut. PinterPolitik.com Aristhopanes – seorang...

Di Balik Tirai PDIP-Partai Asing

Pertemuan antara PDIP dengan Partai Konservatif Inggris dan Partai Liberal Australia membuat penafsiran tertentu, apakah ada motif politik Pilpres? PinterPolitik.com  Ternyata partai politik tidak hanya bermain...